Kualitas Pendidikan dan Masa Depan Bangsa
Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono
BARU saja
kita merayakan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei lalu. Di bulan yang sama,
kita juga akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei mendatang.
Dua momentum peringatan itu memiliki makna besar dalam sejarah perkembangan
bangsa Indonesia. Sebab, kualitas pendidikan merupakan pilar utama bagi
hadirnya kebangkitan nasional karena pendidikan merupakan alat penentu kualitas
dan daya saing sumber daya manusia suatu bangsa.
Sejak awal Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara (1889-1959) dan juga
filsuf pendidikan asal Brasil, Paulo Freire (1921-1997) menegaskan bahwa inti
dari kerja-kerja pendidikan adalah membangkitkan semangat pembebasan. Bukan
hanya pembebasan masyarakat dari buta huruf (illiteracy)
dan penindasan kolonial, tetapi juga pembebasan dari berbagai macam
diskriminasi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial yang semakin dalam.
Namun, setidaknya sudah dua kali peringatan Hari Pendidikan dan Hari
Kebangkitan Nasional terakhir ini, kita dihadapkan pada situasi pandemi
Covid-19 yang berdampak sangat serius terhadap kerja-kerja pendidikan nasional.
Sejak awal pandemi ini menyebar, Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB) Antonio Guterres telah mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 berpotensi
memunculkan bencana pendidikan dan generasi (generational
and educational catastrophe) di tingkat global. Ancaman itu tidak
lepas dari kewajiban menjalankan protokol kesehatan secara ketat dengan menjaga
jarak dan menghindari kerumunan, yang berimplikasi pada transformasi dan
revolusi dunia pendidikan dari yang semula berbasis offline, kemudian berubah menjadi online.
Akibatnya, berbagai macam masalah pendidikan muncul akibat dari pelaksanaan
pembelajaran jarak jauh berbasis online
ini. Pertama, menurunnya kualitas pembelajaran. Sebab,kelas online tetap tidak bisa
menggantikan kualitas pembelajaran tatap muka (PTM) di ruang kelas yang
menyediakan ruang interaksi lebih leluasa bagi guru dan siswa. Masalah ini
ditambah oleh fakta masih terbatasnya perangkat komunikasi dan jaringan
internet para siswa di sejumlah daerah sehingga membuat proses transfer
pengetahuan (transfer of
knowledge) menjadi terkendala. Akibatnya, pembelajaran daring
memunculkan risiko hilangnya pengalaman belajar (learning loss) di kalangan siswa dan juga
mahasiswa.
Kedua, meningkatnya angka putus sekolah. Meskipun hal ini bukan masalah baru
dalam dunia pendidikan nasional, tetapi situasi pandemi Covid-19 seolah
memperburuk situasi ini. Hal itu dikonfirmasi oleh Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI, 2021) yang mencatat adanya tren kenaikan angka putus sekolah
di masa pandemi, baik dengan alasan menikah dini, terpaksa bekerja untuk
meringankan beban ekonomi keluarga, hingga akibat proses belajar mengajar yang
dirasa kurang optimal. Jika berkepanjangan, kondisi ini tentu mengancam masa
depan generasi bangsa.
Ketiga, terbatasnya ruang sosialisasi dan interaksi sosial para siswa dan
mahasiswa. Hal ini tentu berdampak, baik langsung maupun tidak langsung,
terhadap proses perkembangan psikologi anak. Sebab, interaksi langsung
antarsiswa di lingkungan sekolah menjadi media latihan yang efektif bagi para
siswa untuk membentuk dan mematangkan karakter, integritas, membangun rasa
empati dan solidaritas sosial dan juga menata kemampuan kepemimpinan para
siswa. Kondisi ini patut kita cermati bersama karena proses pendidikan
sejatinya tidak hanya berorientasi pada peningkatan pengetahuan kognitif
semata, tetapi juga harus mampu membangun mental, karakter, integritas, dan
cara pandang para siswa dalam melihat dunia. Artinya, jika siswa kehilangan
kesempatan untuk mengasah mental dan karakter mereka, maka proses pendidikan
hanya akan menghasilkan produk generasi yang kosong dan hampa makna.
Tiga persoalan dasar pendidikan itu dikonfirmasi oleh banyak orang tua yang
saya jumpai di berbagai kesempatan. Selama hampir 1,5 tahun terakhir, kita para
orang tua juga ikut berjuang bersama untuk menjaga dan mempertahankan kualitas
pendidikan kita. Hampir setiap hari kita ikut mendampingi, mencoba menjelaskan,
atau bahkan harus ikut belajar ulang untuk mengingat-ingat sejumlah materi pelajaran
lama yang sudah terpendam dalam memori para orang tua. Semua itu kita
ikhtiarkan untuk mengawal kualitas pendidikan anak-anak kita.
Ke depan, tentu kita berharap situasi pandemi terus membaik, seiring dengan
proses vaksinasi massal yang terus digalakkan pemerintah. Jika situasi pandemi
membaik, maka opsi pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas bisa dipertimbangkan
kembali. Namun, harus dengan tetap mempertimbangkan kesiapan sarana-prasarana
kesehatan dan opsi kemampuan mitigasi risiko pandemi di lingkungan sekolah
masing-masing.
Tentu kita harus belajar dari apa yang terjadi di Eropa (Jerman, Belanda),
Amerika Latin (Chili dan Brasil) dan sejumlah negara Asia (India, Filipina, dan
juga Malaysia), di mana telah muncul gelombang kedua atau bahkan gelombang
ketiga (the second and third
wave of pandemic Covid-19) yang mengganas di sana. Bahkan, belajar
dari tragedi di India belakangan ini, tentu kita tidak ingin pembukaan sekolah
justru berujung pada terciptanya kluster-kluster baru pandemi yang mengancam
keselamatan para siswa di Tanah Air.
Dengan mempertimbangkan tren penyebaran pandemi yang masih fluktuatif,
kapasitas layanan kesehatan dan sumber daya tenaga kesehatan yang terbatas
jumlahnya, maka kita harus mengantisipasi setiap potensi lonjakan penyebaran
pandemi. Untuk itu, keputusan ini membutuhkan kehati-hatian ekstra dari
masing-masing daerah agar upaya untuk menjaga kualitas pendidikan nasional
tidak berujung bencana kemanusiaan dan menghadirkan tekanan ekonomi yang lebih
dalam.
Agar risiko hilangnya pengalaman belajar (learning
loss) tidak semakin dalam, maka semangat perjuangan untuk menjaga
dan meningkatkan kuliatas pendidikan nasional kita harus terus kita jaga. Dalam
situasi seperti ini, maka negara harus benar-benar hadir untuk mendorong lebih
kuat segmen masyarakat kita yang membutuhkan langkah-langkah afirmasi, terutama
mereka yang berada di masyarakat perdesaan, terpinggir, dan terbelakang.
Di sisi lain, kondisi ini juga membutuhkan komitmen besar seluruh stakeholders pendidikan, baik
para pengajar, tenaga didik, maupun seluruh orang tua siswa. Upaya pendampingan
semua pihak juga harus kita dorong untuk melakukan inovasi dan mengembangkan
kreativitas proses pembelajaran agar materi ajar bisa lebih mudah dipahami oleh
para siswa dengan segala keterbatasan yang ada. Di sejumlah daerah perdesaan,
wilayah pinggiran dan terluar, problem ketimpangan akses dalam pembelajaran
jarak jauh masih membutuhkan percepatan adaptasi dan akselerasi literasi
digital serta teknologi bagi para stakeholders pendidikan kita. Karena itu,
dibutuhkan good will
dari para stakeholders pendidikan untuk bisa mengatasi gap tersebut. Sehingga,
kreativitas para pendidik, peran orang tua dan siswa menjadi fundamental untuk
meyakinkan kualitas dan mutu pendidikan dalam basis online tetap terjaga.
Selain itu, kita juga harus benar-benar memastikan agar transfer pengetahuan
yang bersifat kognitif yang berorientasi pada ilmu (science) dan keterampilan (skill) untuk diimbangi
dengan pembangunan karakter, mental, dan integritas generasi bangsa. Dengan
menyeimbangkan upaya penguatan kapasitas intelektual dan pembangunan karakter
siswa, maka proses pendidikan di tengah pandemi ini bisa tetap kita
orientasikan untuk membangkitkan sumber daya manusia Indonesia yang lebih
cerdas, berdaya saing, dan berintegritas. []
KORAN SINDO, 11 Mei 2021
Agus Harimurti Yudhoyono | Ketua Umum Partai Demokrat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar