Selasa, 25 Mei 2021

AHY: Kualitas Pendidikan dan Masa Depan Bangsa

Kualitas Pendidikan dan Masa Depan Bangsa

Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono


BARU saja kita merayakan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei lalu. Di bulan yang sama, kita juga akan memperingati Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei mendatang. Dua momentum peringatan itu memiliki makna besar dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia. Sebab, kualitas pendidikan merupakan pilar utama bagi hadirnya kebangkitan nasional karena pendidikan merupakan alat penentu kualitas dan daya saing sumber daya manusia suatu bangsa.


Sejak awal Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara (1889-1959) dan juga filsuf pendidikan asal Brasil, Paulo Freire (1921-1997) menegaskan bahwa inti dari kerja-kerja pendidikan adalah membangkitkan semangat pembebasan. Bukan hanya pembebasan masyarakat dari buta huruf (illiteracy) dan penindasan kolonial, tetapi juga pembebasan dari berbagai macam diskriminasi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial yang semakin dalam.


Namun, setidaknya sudah dua kali peringatan Hari Pendidikan dan Hari Kebangkitan Nasional terakhir ini, kita dihadapkan pada situasi pandemi Covid-19 yang berdampak sangat serius terhadap kerja-kerja pendidikan nasional. Sejak awal pandemi ini menyebar, Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres telah mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 berpotensi memunculkan bencana pendidikan dan generasi (generational and educational catastrophe) di tingkat global. Ancaman itu tidak lepas dari kewajiban menjalankan protokol kesehatan secara ketat dengan menjaga jarak dan menghindari kerumunan, yang berimplikasi pada transformasi dan revolusi dunia pendidikan dari yang semula berbasis offline, kemudian berubah menjadi online.


Akibatnya, berbagai macam masalah pendidikan muncul akibat dari pelaksanaan pembelajaran jarak jauh berbasis online ini. Pertama, menurunnya kualitas pembelajaran. Sebab,kelas online tetap tidak bisa menggantikan kualitas pembelajaran tatap muka (PTM) di ruang kelas yang menyediakan ruang interaksi lebih leluasa bagi guru dan siswa. Masalah ini ditambah oleh fakta masih terbatasnya perangkat komunikasi dan jaringan internet para siswa di sejumlah daerah sehingga membuat proses transfer pengetahuan (transfer of knowledge) menjadi terkendala. Akibatnya, pembelajaran daring memunculkan risiko hilangnya pengalaman belajar (learning loss) di kalangan siswa dan juga mahasiswa.


Kedua, meningkatnya angka putus sekolah. Meskipun hal ini bukan masalah baru dalam dunia pendidikan nasional, tetapi situasi pandemi Covid-19 seolah memperburuk situasi ini. Hal itu dikonfirmasi oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2021) yang mencatat adanya tren kenaikan angka putus sekolah di masa pandemi, baik dengan alasan menikah dini, terpaksa bekerja untuk meringankan beban ekonomi keluarga, hingga akibat proses belajar mengajar yang dirasa kurang optimal. Jika berkepanjangan, kondisi ini tentu mengancam masa depan generasi bangsa.


Ketiga, terbatasnya ruang sosialisasi dan interaksi sosial para siswa dan mahasiswa. Hal ini tentu berdampak, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap proses perkembangan psikologi anak. Sebab, interaksi langsung antarsiswa di lingkungan sekolah menjadi media latihan yang efektif bagi para siswa untuk membentuk dan mematangkan karakter, integritas, membangun rasa empati dan solidaritas sosial dan juga menata kemampuan kepemimpinan para siswa. Kondisi ini patut kita cermati bersama karena proses pendidikan sejatinya tidak hanya berorientasi pada peningkatan pengetahuan kognitif semata, tetapi juga harus mampu membangun mental, karakter, integritas, dan cara pandang para siswa dalam melihat dunia. Artinya, jika siswa kehilangan kesempatan untuk mengasah mental dan karakter mereka, maka proses pendidikan hanya akan menghasilkan produk generasi yang kosong dan hampa makna.


Tiga persoalan dasar pendidikan itu dikonfirmasi oleh banyak orang tua yang saya jumpai di berbagai kesempatan. Selama hampir 1,5 tahun terakhir, kita para orang tua juga ikut berjuang bersama untuk menjaga dan mempertahankan kualitas pendidikan kita. Hampir setiap hari kita ikut mendampingi, mencoba menjelaskan, atau bahkan harus ikut belajar ulang untuk mengingat-ingat sejumlah materi pelajaran lama yang sudah terpendam dalam memori para orang tua. Semua itu kita ikhtiarkan untuk mengawal kualitas pendidikan anak-anak kita.


Ke depan, tentu kita berharap situasi pandemi terus membaik, seiring dengan proses vaksinasi massal yang terus digalakkan pemerintah. Jika situasi pandemi membaik, maka opsi pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas bisa dipertimbangkan kembali. Namun, harus dengan tetap mempertimbangkan kesiapan sarana-prasarana kesehatan dan opsi kemampuan mitigasi risiko pandemi di lingkungan sekolah masing-masing.


Tentu kita harus belajar dari apa yang terjadi di Eropa (Jerman, Belanda), Amerika Latin (Chili dan Brasil) dan sejumlah negara Asia (India, Filipina, dan juga Malaysia), di mana telah muncul gelombang kedua atau bahkan gelombang ketiga (the second and third wave of pandemic Covid-19) yang mengganas di sana. Bahkan, belajar dari tragedi di India belakangan ini, tentu kita tidak ingin pembukaan sekolah justru berujung pada terciptanya kluster-kluster baru pandemi yang mengancam keselamatan para siswa di Tanah Air.


Dengan mempertimbangkan tren penyebaran pandemi yang masih fluktuatif, kapasitas layanan kesehatan dan sumber daya tenaga kesehatan yang terbatas jumlahnya, maka kita harus mengantisipasi setiap potensi lonjakan penyebaran pandemi. Untuk itu, keputusan ini membutuhkan kehati-hatian ekstra dari masing-masing daerah agar upaya untuk menjaga kualitas pendidikan nasional tidak berujung bencana kemanusiaan dan menghadirkan tekanan ekonomi yang lebih dalam.


Agar risiko hilangnya pengalaman belajar (learning loss) tidak semakin dalam, maka semangat perjuangan untuk menjaga dan meningkatkan kuliatas pendidikan nasional kita harus terus kita jaga. Dalam situasi seperti ini, maka negara harus benar-benar hadir untuk mendorong lebih kuat segmen masyarakat kita yang membutuhkan langkah-langkah afirmasi, terutama mereka yang berada di masyarakat perdesaan, terpinggir, dan terbelakang.


Di sisi lain, kondisi ini juga membutuhkan komitmen besar seluruh stakeholders pendidikan, baik para pengajar, tenaga didik, maupun seluruh orang tua siswa. Upaya pendampingan semua pihak juga harus kita dorong untuk melakukan inovasi dan mengembangkan kreativitas proses pembelajaran agar materi ajar bisa lebih mudah dipahami oleh para siswa dengan segala keterbatasan yang ada. Di sejumlah daerah perdesaan, wilayah pinggiran dan terluar, problem ketimpangan akses dalam pembelajaran jarak jauh masih membutuhkan percepatan adaptasi dan akselerasi literasi digital serta teknologi bagi para stakeholders pendidikan kita. Karena itu, dibutuhkan good will dari para stakeholders pendidikan untuk bisa mengatasi gap tersebut. Sehingga, kreativitas para pendidik, peran orang tua dan siswa menjadi fundamental untuk meyakinkan kualitas dan mutu pendidikan dalam basis online tetap terjaga.


Selain itu, kita juga harus benar-benar memastikan agar transfer pengetahuan yang bersifat kognitif yang berorientasi pada ilmu (science) dan keterampilan (skill) untuk diimbangi dengan pembangunan karakter, mental, dan integritas generasi bangsa. Dengan menyeimbangkan upaya penguatan kapasitas intelektual dan pembangunan karakter siswa, maka proses pendidikan di tengah pandemi ini bisa tetap kita orientasikan untuk membangkitkan sumber daya manusia Indonesia yang lebih cerdas, berdaya saing, dan berintegritas.
[]

 

KORAN SINDO, 11 Mei 2021

Agus Harimurti Yudhoyono | Ketua Umum Partai Demokrat 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar