Perempuan dan Terorisme (3)
Oleh: Azyumardi Azra
Jelas terjadi gejala peningkatan keterlibatan perempuan dalam organisasi, kelompok, dan sel terorisme di Indonesia sejak dasawarsa awal 2000.
Tidak mengherankan jika Sidney Jones, peneliti gerakan kekerasan di Indonesia, sudah lama mengingatkan tentang potensi dan kerawanan perempuan terlibat paham ekstrim serta aksi kekerasan dan teror.
Menurut catatan Institute for Policy Analysis and Conflict, pimpinan Sidney Jones, sepanjang 2004-2020, ada 39 perempuan berada dalam tahanan. Mereka telah, sedang, atau menjalani proses pengadilan.
Mereka ditangkap aparat Polri dan dibawa ke meja hijau karena dugaan keterlibatan dalam aksi terorisme atau terkait organisasi, kelompok, dan sel terorisme (IPAC, ‘Extremist Women behind Bars in Indonesia’, September 2020).
IPAC juga mencatat kenaikan jumlah perempuan Indonesia yang terkait terorisme sejak kemunculan ISIS di wilayah Irak dan Suriah pada 2014. Sebelum ada ISIS, hanya ada empat perempuan ekstremis yang dimasukkan aparat Polri ke dalam tahanan.
Namun, sepanjang 2014-2018 jumlah perempuan yang ditahan bertambah 35 orang. Mereka terduga atau terdakwa aksi kekerasan mendukung ISIS di 11 tempat di Indonesia.
Mempertimbangkan perkembangan domestik Indonesia, kerawanan keterlibatan perempuan dalam terorisme tampak bakal terus berlanjut. Kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya, dan agama di Tanah Air masih belum banyak berubah.
Bahkan dalam segi tertentu, dalam kacamata organisasi dan sel ekstremis dan teroris, bisa jadi kian memburuk yang memberikan dorongan tambahan bagi mereka untuk tetap bergerak.
Penangkapan banyak terduga teroris di berbagai tempat pada pascapengeboman di depan Katedral Makassar (28/3/2021) dan aksi //softgun// di depan Mabes Polri (31/3/21) yang melibatkan aktor perempuan, tampak belum bisa mengakhiri riwayat organisasi, kelompok, dan sel terorisme.
Seperti penangkapan banyak terduga terorisme di masa sebelumnya yang juga belum dapat mengakhiri riwayat terorisme di Indonesia. Aksi terorisme dan organisasi, kelompok, dan sel teroris di mancanegara surut.
Tidak ada kejadian besar terorisme dalam beberapa tahun terakhir di tingkat global. Selain itu, ISIS juga mengalami kemunduran signifikan sejak 2017. ISIS kini menguasai hanya sekitar 25 persen dari wilayah yang pernah dikuasainya pada masa jayanya.
Meski terorisme menyurut pada tingkat global, belum terlihat tanda meyakinkan terorisme bakal punah di Indonesia.
Gejala ini boleh jadi agak aneh tetapi ini mengindikasikan terjadinya ‘indigenisasi’ terorisme di Indonesia; mereka bisa bertahan dan tumbuh sendiri tanpa harus terkait langsung dengan gerakan terorisme mancanegara atau global.
Secara progresif, perempuan bersama laki-laki melakukan pengarusutamaan aksi kekerasan ke lingkungan lebih luas.
Pertama-tama sel inti kelompok kekerasan dan terorisme merekrut orang di lingkungan keluarga sendiri; istri, anak, atau sanak saudara yang lebih bisa dipercaya. Kemudian meningkat dengan membawa istri dan anak-anak mereka sendiri yang masih kecil ke dalam aksi kekerasan.
Potensi perempuan Muslimah Indonesia terlibat ormas, kelompok atau sel berorientasi pada kekerasan cukup besar. Argumen ini berdasar realitas sosiologi keagamaan Indonesia yang berbeda dengan negara lain.
Kaum perempuan Indonesia jauh lebih bebas. Mereka hidup dalam tradisi sosio-kultural, ekonomi dan keagamaan jauh lebih bebas dibandingkan Muslimah di Timur Tengah dan Asia Selatan. Perempuan Indonesia tidak mengalami domestifikasi seperti kaum perempuan di wilayah Muslim lain.
Muslimah Indonesia terlibat kehidupan sosial-budaya, politik, ekonomi, dan termasuk keagamaan. Mereka berperan penting sebagai guru dan dosen, hakim agama, qariah, ustazah, ulama, nyai pesantren, pedagang, dan seterusnya.
Bisa diasumsikan, kian luas ruang gerak perempuan, kian besar pula kemungkinan mereka terekrut.
Faktor selanjutnya, otoritas keagamaan suni Indonesia yang longgar dan terpencar. Keadaan ini memberi ruang besar bagi munculnya kepemimpinan ‘sempalan’ dengan berbagai corak pemahaman dan praksis keislaman, termasuk ekstremisme, radikalisme, dan terorisme.
Kelonggaran kepemimpinan itu dimanfaatkan organisasi, kelompok, dan sel terorisme menegaskan otoritasnya, termasuk khususnya atas individu dan kelompok perempuan. Untuk peningkatan peran perempuan, pemimpin terorisme memberikan ruang bergerak cukup luas pada perempuan.
Mengamati semua fenomena ini, upaya pencegahan terjerumusnya perempuan ke dalam terorisme mesti dimulai dari keluarga. Selanjutnya, lembaga pendidikan juga harus meningkatkan perannya. Pendekatan empati dalam pendidikan niscaya sangat perlu agar pencegahan berhasil. []
REPUBLIKA, 22 April 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar