Kamis, 06 Mei 2021

Azyumardi: Perempuan dan Terorisme (4)

Perempuan dan Terorisme (4)

Oleh: Azyumardi Azra

 

Peningkatan keterlibatan perempuan Indonesia dalam ekstremisme, kekerasan, dan terorisme menimbulkan keprihatinan.

 

Para pembaca kolom Resonansi tentang ‘Perempuan dan Terorisme’ (1-3) yang viral di media sosial (medsos) selain prihatin, juga heran mengapa perempuan Indonesia terjerumus ke dalam pemikiran dan praksis kekerasan, yang tak pernah ada presedennya dalam sejarah Indonesia.

 

Selain itu, ada nada kritis mempersoalkan resonansi-resonansi yang dianggap gagal memahami para perempuan yang terlibat aksi kekerasan dan terorisme.

 

Menurut mereka, perempuan tersebut ‘desperate’—dalam keadaan terdesak, putus asa, tidak menemukan jalan lain. Benarkah dan bolehkah orang yang beriman kepada Allah SWT bersikap ‘desperate’?

 

Bolehkah karena ‘desperate’, melakukan kekerasan, bahkan membawa bom yang membunuh diri sendiri dan orang lain?

 

AF, perempuan seniwati, aktivis, dan penulis terkemuka di sebuah grup medsos menulis: “Sebagai perempuan, saya merasa prihatin dan sedih. Perempuan di sini seperti tertular penyakit ‘jagoan’ dan ‘heroisme’ lelaki. Kalau saya melihatnya bukan sebagai hero, malah sebagai korban”.

 

Menurut AF, kalau perempuan yang ‘desperate’ karena penganiayaan, pembunuhan, atau pemerkosaan lain lagi alasannya, “Saya pun akan melawan jika diperlakukan demikian. Tapi dalam kasus ‘cuci otak’ atas nama agama demi kepentingan kelompok tertentu...kan lain lagi. Sebagai perempuan, saya pasti tak mau dimanipulasi demi agenda politik sekelompok orang”.

 

Banyak pembaca dan komentator di medsos yang belum bisa paham dan mengerti sepenuhnya alasan dan faktor, yang membuat perempuan Indonesia tertarik ikut paham radikal.

 

Mengapa mereka semangat sekali melakukan kekerasan, pergi ke ISIS, dan akhirnya ada perempuan muda yang meledakkan diri beserta suami dan putrinya yang masih kecil?

 

Penulis Resonansi ini pernah berbincang dengan seorang ibu (usia sekitar 45 tahun), yang bersama putranya (usia sekitar 20-an tahun) pergi ke wilayah ISIS di Suriah.

 

Dia beruntung bisa kembali ke Indonesia, sebelum Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan lebih ketat: tidak menerima veteran ISIS, dan hanya selektif menerima perempuan dan anak-anak.

 

Ibu tadi bercerita bagaimana gambaran serbamuluk, romantik dan idealistik yang dicangkokkan ke dalam pikirannya di Tanah Air, sangat jauh dari kenyataan ketika dia dan putranya sampai di wilayah ISIS.

 

Apa yang dia lihat dan alami sangat bertentangan dengan gambaran menyesatkan itu, juga dengan ajaran, nilai Islam, dan tradisi religio-kultural Indonesia. Mengalami kepedihan, ibu dan putranya beruntung bisa kembali ke Tanah Air.

 

Mereka berdua mengabdikan diri dalam kegiatan kontra-terorisme; penguatan perdamaian dan harmoni umat beragama dan bangsa.

 

Banyak mantan napiter, aktivis ISIS, dan sel terorisme di Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki, apakah yang pernah pergi ke wilayah ISIS atau dipenjarakan yang kemudian insaf dan bergerak dalam upaya perdamaian dan pencegahan kekerasan.

 

Saya sering bertemu dengan mereka dalam forum diskusi dan seminar tentang subjek ini. Jadi, keadaan tidak selalu gelap. Mereka yang insaf ini memberi harapan dunia lebih baik; kekerasan dan terorisme yang kian berkurang—jika tidak bisa dilenyapkan semua.

 

Sebagai retrospeksi, dapat disimak pula pendapat Prof Meutia Hatta yang memberi izin kepada penulis untuk dikutip dalam kolom ini: “Saya gembira [dengan kolom] yang mengangkat perhatian kita pada kaum perempuan yang direkrut jadi teroris”.

 

Menurut Meutia Hatta, guru besar antropologi UI yang pernah menjabat menteri pemberdayaan perempuan (2004-2009) dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2010-2014), masyarakat awam sering beranggapan teroris perempuan yang direkrut semua perempuan baik-baik, yang kemudian kena brainwashing.

 

“Yang saya amati sejak beberapa tahun lalu, mereka mempunyai alasan atau penyebab berbeda-beda; ada yang semula tidak religius; ada yang karena prinsip; ada yang percaya bahwa itu bukti berbakti pada suami; ada yang ingin mengekspresikan diri untuk mendapat penghargaan; ada yang karena merasa tertekan secara politik dan patriarki,” tulis Prof Meutia.

 

Lies Marcus, aktivis perempuan dan pendiri Rumah KitaB, berpendapat agar proyek countering violent extremism (CVE) yang sangat maskulin agar juga diarahkan pada perempuan yang selama ini diabaikan.

 

“Selain itu, perlu penguatan dakwah pada perempuan untuk menjaga kewarasan beragama. Organisasi dakwah harus mengurus dakwah dengan benar; tidak hanya menyampaikan ajaran normatif, tetapi juga berusaha menciptakan kesetaraan di antara perempuan dan laki-laki, dan memperbaiki keadaan ekonomi orang banyak”. []

 

REPUBLIKA, 29 April 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar