Barangkali, sebagian kaum muslimin merasa tidak percaya diri dalam menjemput lailatul qadar (malam kemuliaan) yang digambarkan penuh dengan aneka hal yang tidak biasa dijumpai, atau sebentuk karamah. Disebut karamah, yaitu bagi sesiapa yang pada malam qadar ini tersingkapi alam malakut langit dan bumi, atau melihat pendar cahaya.
Barangkali juga, karena merasa minder, mereka undur diri dan memilih biasa-biasa saja dalam menjemput sepuluh terakhir Ramadan. Tarawih selepas Isya secara langsung, tetap dilaksanakan sembari dalam hati berujar, "Cukup gini aja dah."
Pertanyaannya, apakah memang mutlak dinyatakan bahwa yang disebut telah mencapai Lailatul Qadar itu harus mencapai atau merasakan perjumpaan sesuatu?
Ternyata beberapa ulama, misalnya Imam Ibn Jarir at Thabary (w. 310 H), dan Syekh Ibnul Araby (w. 543 H), sebagaimana dikutip al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany (w. 852 H) berpendapat bahwa mendapatkan Lailatul Qadar itu tidak harus merasakan dan menjumpai fenomena ajaib. Orang yang Qiyam Ramadan dan tidak merasakan sentuhan malaikat, misalnya, tetap memperoleh anugerah Lailatul Qadar, walaupun tidak sesempurna sesiapa yang merasakannya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany (Kitab Fathul Bary Syarah Shahih al-Bukhari, juz 5 halaman 231, cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah) menyebutkan perbedaan pendapat para ulama tentang apakah Lailatul Qadar itu mempunyai tanda pengenal atau tidak. Dengan catatan bahwa pada umumnya ulama menyatakan Lailatul Qadar itu memiliki tanda yang dapat dikenali.
Yang menyatakan bahwa lailatul Qadar itu mempunyai tanda pengenal menyebutkan beberapa tanda, yaitu, (1) terlihat segala sesuatu dalam keadaan bersujud, (2) pancaran cahaya di setiap tempat hingga pada tempat yang gelap, (3) terdengar ada salam atau komunikasi dari malaikat, (4) doa yang terkabulkan.
Para malaikat datang bergelombang dan mengucapkan salam kepada kaum muslimin yang taat, dari permulaan malam hingga terbitnya fajar shubuh. Bahkan Malaikat Jibril akan menyalami tiap kaum muslimin, tanpa ada yang ketinggalan.
Syekh Fakhruddin ar-Razy seorang ulama pakar tafsir yang wafat pada 606 Hijriah (Tafsir al-Kabir, juz 11, halaman 234, cetakan Dar Ihya Turats Arabi) menyebutkan tanda bahwa Jibril menyalami kalangan yang taat, yaitu kulit merinding, hati menjadi lembut, dan air mata menetes.
Sementara Imam Ibn Jarir At-Thabary menyatakan, "Keseluruhan tanda itu bukan sesuatu yang pasti terjadi, dan untuk disebut telah berhasil mencapai Lailatul Qadar itu tidak dipersyaratkan harus melihat dan mendengar sesuatu."
Lanjutannya, Imam at-Thabary menyatakan bahwa tanpa melihat tanda lailatul Qadar pun manusia yang beribadah di malam lailatul Qadar tetap memperoleh pahala keutamaan lailatul qadar.
Kiai Ahmad Asymuni Petok Kediri (w. 1442 H) dalam kitab "Tafsir al-Qadr" mengutip pernyataan berikut,
ويحصُل فضلُها لِمن أحْياها وإِنْ لم يشعُر بها، ونفْيُه محمولٌ على نفْي الكمالِ، ومَن صلّى العشاءَ في جماعةٍ فقدْ أخذَ حظَّه مِنها
Artinya, "Keutamaan Lailatul Qadar telah tergapai bagi sesiapa yang menghidupkannya, walaupun ia tidak merasakannya. Penegasian capaian itu diarahkan pada ketiadaan kesempurnaan pencapaian. Sesiapa yang shalat Isya berjamaah, maka sungguh ia telah memperoleh bagian (keutamaan) Lailatul Qadar."
Jadi, kaum muslimin yang belum atau tidak merasakan gejala alam, tetap saja harus semangat. Pokoknya kita tetap ikuti titah Rasulullah semampunya. Kita hidupkan dengan shalat, membaca Quran, dan banyak berzikir dan berdoa, terutama sebagaimana dalam riwayat dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
“Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jika aku menjumpai satu malam yang itu merupakan lailatul qadar, apa yang aku ucapkan?’
Nabi menjawab, “Ucapkanlah,
اللَّـهُـمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُـحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Artinya, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Pemaaf dan Pemurah maka maafkanlah diriku.”
Dengan melaksanakan shalat Tarawih, lebih-lebih dengan berjamaah, plus shalat Shubuh berjamaah, sudah terhitung terlimpahi keutamaan Lailatul Qadar, insya Allah. Syekh Muhammad Nawawi Banten yang wafat pada 1314 Hijriah (Kitab Nihayatuz Zain, Surabaya, al-Hidayah, halaman 198) ketika menyebutkan menghidupkan lailatul qadar menyebut ada ada tiga strata:
وَمَرَاتِبُ إِحْيَائِهَا ثَلَاثَةٌ عُلْيَا وَهِيَ إِحْيَاءُ لَيْلَتِهَا بِالصَّلَاةِ وَوُسْطَى وَهِيَ إِحَيَاءُ مُعْظَمِهَا بِالذِّكْرِ وَدُنْيَا وَهِيَ أَنْ يُصَلِّيَ الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ وَالصُّبْحِ فِي جَمَاعَةٍ
Artinya, “Tingkatan menghidupkan lailatul qadar ada tiga. Yang tertinggi adalah menghidupkan lailatul qadar dengan shalat. Sedang tingkatan yang sedang adalah menghidupkan lailatul qadar dengan zikir. Tingkatan terendah adalah menjalankan shalat Isya dan Subuh berjamaah."
Senada, tentang kaum muslimin yang beribadah pada lailatul qadar tapi belum merasai suatu fenomena khusus, Syekh Nawawi menyatakan,
ويَنال العامِل فضلَها وإِنْ لمْ يطلّع عليهَا عَلى المُعتمد
Artinya, "Yang beribadah pada malam lailatul qadar tetap memperoleh keutamaannya, walaupun tidak melihatnya, menurut pendapat yang muktamad."
So, tetap semangat menjemput Lailatul Qadar yang merupakan kekhususan umat Nabi Muhammad, terutama pada sepuluh akhir Ramadan, dan berbaik sangka kepada Allah, bahwa akan selalu ada anugerah terindah untuk kita yang berusaha senantiasa taat. []
Ustadz Yusuf Suharto, Pegiat Aswaja NU di Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar