Kamis, 20 Mei 2021

(Hikmah of the Day) Kurdiyyah binti ‘Amr, Pelayan Wali yang Menjadi Wali

Namanya adalah Kurdiyyah binti ‘Amr. Masa kelahiran dan kematiannya tidak diketahui. Menurut Imam Abdurrahman al-Sulami, Kurdiyyah berasal dari Basrah (sekarang Irak) atau Ahwaz (sekarang Iran). Ia mengatakan:

 

وكانت من أهل البصرة أو الأهواز

 

“Kurdiyyah berasal dari Bashrah atau al-Ahwaz” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 395).

 

Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk melayani seorang sufi besar wanita di zamannya, Sya’wanah al-Ubullah. Untuk lebih mengenal tokoh ini, bisa dibaca di tulisan NU Online lainnya, “Sya’wanah al-Ubullah, Sufi Perempuan yang Selalu Menangis untuk Allah.” Imam al-Sulami menulis dalam kitabnya:

 

وكانت تخدم شعوانة

 

“Ia mengabdi (atau melayani) Sya’wanah” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 395).

 

Melayani seorang ulama atau wali meninggalkan kesan berbeda dari sekadar melayani orang kaya atau pejabat. Pengabdiannya tidak didasarkan pada nilai dan angka, tapi pada bakti yang perlahan-lahan mendidik ketulusannya. Pijak landasan inilah yang membuatnya tercerahkan. Ia mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa, interaksi dan pergaulannya dengan Sya’wanah. Ia menyerap banyak hal, mengambil banyak sisi, dan memahami banyak persoalan.

 

Tentu, hal ini mungkin terjadi karena keluarbiasaan Sya’wanah. Ia menampilkan dirinya apa adanya, tanpa menambah citra agar terlihat baik atau menghias diri agar terlihat pantas. Ia hanya berperilaku sebagaimana hati menggerakkannya. Karena pencitraan perilaku tidak akan mudah menyentuh hati secara tetap. Jikapun ia berhasil menyentuh, sentuhannya akan menetap sesaat saja.

 

Melihat perubahan yang terjadi di diri Kurdiyyah, seseorang bertanya kepadanya. Katanya:

 

ما الذي أصابك من بركات خدمة شعوانة؟ قالت: ما أحببت الدنيا منذ خدمتها، ولا اهتممت لرزقي، ولا عظم في عيني أحد من أرباب الدنيا لطمع لي فيه، وما استقصرت أحدا من المسلمين قط

 

Terjemah bebas: “Apa yang mengenaimu dari berkah melayani Sya’wanah?” Kurdiyyah menjawab: “Aku tidak (lagi) mencintai dunia semenjak melayaninya; aku tidak (lagi) menaruh perhatian pada rezekiku; pandanganku tidak (lagi) kagum terhadap seseorang dari para penguasa dunia karena ketamakanku padanya; aku tidak pernah (lagi) memandang rendah seorang pun dari kaum muslimin” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 395)

 

Kurdiyyah berubah menjadi pribadi yang lebih baik setelah berkhidmah kepada Sya’wanah. Ia tidak lagi mencintai dunia berlebihan; ia tidak lagi mengkhawatirkan rezekinya hari ini atau esok; ia tidak lagi silau atas kekayaan atau kekuasaan orang lain, dan ia tidak lagi memandang rendah orang lain.

 

Mungkin pandangan Kurdiyyah tidak dapat dimengerti oleh kebanyakan orang. Karena mencintai dunia, mengkhawatirkan rezeki, memiliki ambisi adalah hal yang wajar. Namun, bagi orang seperti Kurdiyyah, tidak mencintai dunia, membuat ringan hatinya.

 

Ia bisa berbagi dengan siapa saja tanpa merasa berat. Ia akan menyerahkan segala yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkan tanpa berpikir panjang, seperti yang dilakukan banyak sufi lainnya. Dunia, harta benda dan ambisi hanya berada di tangannya, tidak di hatinya. Begitupun dengan memandang rendah. Orang yang gemar memandang rendah akan terjebak dalam subjektivitas yang tidak adil. Sebab, pandangannya akan berbasis pada atribut-atribut tertentu. Misalnya, jika orang itu miskin, ia pasti buruk; jika orang itu bodoh, ia pasti tidak beradab, dan lain sebagainya.

 

Cara pandang seperti ini membuat sekat di pikiran manusia. Karena itu, Kurdiyyah mengatakan, “ia tidak pernah lagi memandang rendah muslim lainnya,” karena atribut-atribut negatif tertentu. Ia membebaskan pandangannya karena sejatinya mereka adalah makhluk ciptaan-Nya. Memandang rendah mereka, sama saja dengan memandang rendah Penciptanya.

 

Jadi, jangan salah artikan ucapannya sebagai diam tanpa usaha, tapi pandanglah ucapannya sebagai pasrah tanpa tanya dan usaha tanpa keluh. Artinya, ia tetap berusaha dengan halal untuk meraih sesuatu, tapi itu bukan tujuan. Tujuannya adalah untuk menggapai ridha Allah, dan bagaimana ia bisa memanfaatkan apa yang telah dicapai dan dihasilkannya. Lalu dapat dengan adil memperlakukan manusia, tanpa memandang mereka dengan tatapan merendahkan. Untuk itu dibutuhkan hati yang lapang dan dermawan, agar tidak mudah teralihkan oleh bisikan duniawi sehingga urung berbagi. Wallahu a’lam bish-shawwab. []

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar