Islam mengatur segala lini kehidupan umat Muslim sampai aspek yang terkecil sekalipun. Salah satu dari hal ini adalah aturan Islam tentang etika yang dilakukan kala seorang Muslim mengalami mimpi dalam tidurnya.
Seperti yang telah dipahami bahwa secara umum mimpi seseorang diklasifikasikan pada dua macam, yakni mimpi yang baik dan mimpi yang buruk. Kedua jenis mimpi ini memiliki aturan yang sunnah dilakukan bagi orang yang mengalaminya.
Dalam merespons mimpi yang buruk, setidaknya terdapat berbagai hal yang sunnah dilakukan bagi seorang Muslim. Anjuran ketika seseorang mengalami mimpi yang buruk terangkum dalam kumpulan hadits berikut:
الرُّؤْيَا الحَسَنَةُ مِنَ اللَّهِ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يُحِبُّ فَلاَ يُحَدِّثْ بِهِ إِلَّا مَنْ يُحِبُّ، وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ، وَلْيَتْفِلْ ثَلاَثًا، وَلاَ يُحَدِّثْ بِهَا أَحَدًا، فَإِنَّهَا لَنْ تَضُرَّهُ
“Mimpi baik itu dari Allah. Jika kalian mimpi sesuatu yang kalian sukai, maka jangan kalian ceritakan kecuali pada orang yang juga ikut menyukai mimpi tersebut. Jika kalian mimpi sesuatu yang tak kalian suka, maka memohonlah perlindungan pada Allah atas keburukan mimpi tersebut dan dari keburukan setan, meludahlah tiga kali dan jangan kalian ceritakan pada siapa pun, maka mimpi buruk itu tidak akan membahayakan pada kalian” (HR al-Bukhari).
إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ الرُّؤْيَا يَكْرَهُهَا، فَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ ثَلَاثًا وَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ ثَلَاثًا، وَلْيَتَحَوَّلْ عَنْ جَنْبِهِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ
“Ketika kalian melihat mimpi yang tak kalian suka maka meludahlah dari arah kiri kalian tiga kali dan memohonlah perlindungan pada Allah dari setan tiga kali, dan hendaklah kalian berpindah dari posisi tidur yang semula ia lakukan” (HR Muslim).
الرُّؤْيَا ثَلاَثٌ: حَدِيثُ النَّفْسِ، وَتَخْوِيفُ الشَّيْطَانِ، وَبُشْرَى مِنَ اللَّهِ، فَمَنْ رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلاَ يَقُصَّهُ عَلَى أَحَدٍ وَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ
“Mimpi ada tiga. Kata hati, mimpi mengkhawatirkan yang datang dari setan dan kabar bahagia dari Allah. Barang siapa yang bermimpi sesuatu yang tak disukai, maka jangan ceritakan pada siapa pun, berdiri lalu shalatlah!” (HR al-Bukhari).
Dari ketiga hadits di atas setidaknya terdapat lima anjuran yang sunnah dilakukan bagi orang yang mengalami mimpi buruk.
1. Meludah tiga kali ke arah kiri.
2. Memohon perlindungan pada Allah dari keburukan mimpi yang ia alami.
3. Memohon perlindungan kepada Allah dari setan dengan melafalkan A‘ûdzu Billâhi minasy-syaithânir-rajîm (aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).
4.
5. . yang mengalami mimpi buruk. Berpindah dari tempat tidur yang semula ia tempati.
6. Melakukan shalat.
Hikmah dari dianjurkannya lima hal ketika mengalami mimpi buruk ini secara ringkas dijelaskan oleh ahli hadits terkemuka, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami:
وَقَدْ ذَكَرَ الْعُلَمَاءُ حِكْمَةَ هَذِهِ الْأُمُورِ فَأَمَّا الِاسْتِعَاذَةُ بِاللهِ مِنْ شَرِّهَا فَوَاضِحٌ وَهِيَ مَشْرُوعَةٌ عِنْدَ كُلِّ أَمْرٍ يُكْرَهُ وَأَمَّا الِاسْتِعَاذَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ فَلِمَا وَقَعَ فِي بَعْضِ طُرُقِ الْحَدِيثِ أَنَّهَا مِنْهُ وَأَنَّهُ يُخَيِّلُ بِهَا لِقَصْدِ تَحْزِينِ الْآدَمِيِّ وَالتَّهْوِيلِ عَلَيْهِ كَمَا تَقَدَّمَ وَأَمَّا التَّفْلُ فَقَالَ عِيَاضٌ أَمَرَ بِهِ طَرْدًا لِلشَّيْطَانِ الَّذِي حَضَرَ الرُّؤْيَا الْمَكْرُوهَةَ تَحْقِيرًا لَهُ وَاسْتِقْذَارًا وَخُصَّتْ بِهِ الْيَسَارُ لِأَنَّهَا مَحَلُّ الْأَقْذَارِ وَنَحْوِهَا قُلْتُ وَالتَّثْلِيثُ لِلتَّأْكِيدِ - وَأَمَّا الصَّلَاةُ فَلِمَا فِيهَا مِنَ التَّوَجُّهِ إِلَى اللَّهِ وَاللَّجَإِ إِلَيْهِ وَلِأَن فِي التَّحَرُّم بِهَا عِصْمَةٌ مِنَ الْأَسْوَاءِ وَبِهَا تَكْمُلُ الرَّغْبَةُ وَتَصِحُّ الطَّلَبَةُ لِقُرْبِ الْمُصَلِّي مِنْ رَبِّهِ عِنْدَ سُجُودِهِ وَأَمَّا التَّحَوُّلُ فَلِلتَّفَاؤُلِ بِتَحَوُّلِ تِلْكَ الْحَالِ الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا
“Para ulama menyebutkan hikmah dari berbagai hal di atas. Memohon perlindungan dari Allah atas keburukan mimpi sudah amat jelas. Hal demikian disyariatkan ketika menghadapi setiap hal yang tidak disukai. Sedangkan memohon perlindungan dari Allah karena seperti yang terdapat dalam berbagai riwayat hadits bahwa mimpi buruk itu dari setan. Ia mengkhayalkan pada seseorang karena bertujuan menyusahkan anak Adam dan menakut-nakuti mereka. Sedangkan meludah, dalam hal ini, Syekh ‘Iyad berkata: “Diperintahkannya hal tersebut dengan tujuan untuk menolak setan yang hadir pada mimpi yang tidak disukai itu untuk menghina dan menganggap kotor dia. Alasan dianjurkan meludah pada arah kiri, sebab kiri merupakan tempat kotoran dan hal yang sejenis”. Aku (Ibnu Hajar) berkata, “(Meludah) dilakukan tiga kali untuk menguatkan hal tersebut.” “Adapun dianjurkannya shalat karena di dalamnya terdapat wujud menghadap pada Allah dan kembali pada Allah. Dan juga sebab di dalam takbiratul ihram terdapat bentuk penjagaan dari berbagai hal buruk, dan dengan melaksanakan shalat terkandung kesempurnaan dalam mengharap (Kebaikan) dan menjadi benar wujud permohonan (pada Allah) karena dekatnya orang yang shalat dengan Tuhan-nya ketika sujud. Adapun berpindah posisi dari tempat tidur karena bertujuan tafa’ul (mengharap kebaikan) dengan berpindahnya keadaan yang sedang dialaminya” (Syekh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz 12, hal. 371).
Selain itu, Syekh Ibnu Hajar al-‘Asqalani juga menganjurkan membaca Ayat Kursi dalam shalat. Al-Baqarah ayat 255 ini diyakini merupakan ayat yang ampuh dalam menghalau hal-hal buruk. Sedangkan dalam merespons mimpi yang baik, Islam juga menganjurkan untuk melakukan berbagai hal yang terangkum dalam dua hadits berikut:
الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ مِنَ اللَّهِ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يُحِبُّ فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ، وَلَا يُحَدِّثْ بِهَا إِلَّا مَنْ يُحِبُّ
“Mimpi baik itu dari Allah, jika kalian bermimpi sesuatu yang kalian suka maka memujilah pada Allah dan jangan kalian ceritakan mimpi itu kecuali pada orang yang juga menyukainya” (HR Ad-Darimi).
الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ مِنَ اللهِ، وَالرُّؤْيَا السَّوْءُ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَمَنْ رَأَى رُؤْيَا فَكَرِهَ مِنْهَا شَيْئًا فَلْيَنْفُثْ عَنْ يَسَارِهِ، وَلْيَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، لَا تَضُرُّهُ وَلَا يُخْبِرْ بِهَا أَحَدًا، فَإِنْ رَأَى رُؤْيَا حَسَنَةً، فَلْيُبْشِرْ وَلَا يُخْبِرْ إِلَّا مَنْ يُحِبُّ
“Mimpi baik itu dari Allah dan mimpi buruk itu dari setan. Barangsiapa yang bermimpi buruk, maka meludahlah ke arah kiri dan memohonlah perlindungan pada Allah dari setan, maka mimpi itu tidak akan membahayakannya dan jangan ceritakan (mimpi itu) pada siapa pun. Jika kalian bermimpi baik, maka berbahagialah dan jangan ceritakan kecuali pada orang yang juga turut menyukainya” (HR Muslim)
Dari dua hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang bermimpi baik, maka ia dianjurkan untuk melakukan tiga hal.
1. Memuji kepada Allah dengan mengucapkan Alhamdulillah.
2. Merasa bahagia atas mimpi tersebut.
3. Tidak menceritakan mimpi itu kecuali pada orang yang juga menyukainya.
Dalam kitab Mirqah al-Mafatih, Syekh ‘Ali bin Muhammad al-Qari menafsirkan redaksi “Orang yang juga menyukainya” dengan terkhusus pada para ulama’, orang-orang shalih dan para kerabat. (Syekh ‘Ali bin Muhammad al-Qari, Mirqah al-Mafatih, juz 7, hal. 2917).
Sehingga hendaknya orang yang telah mengalami mimpi yang baik, agar tidak menceritakan mimpinya kecuali pada orang yang masuk dalam bagian salah satu ketiga sifat tersebut. Sebab dikhawatirkan mimpi yang dialaminya—jika diceritakan pada orang yang salah—justru akan menimbulkan fitnah serta rasa iri dengki yang malah akan membahayakan dirinnya sendiri.
Dapat disimpulkan, hendaknya seseorang yang mengalami mimpi buruk untuk melakukan lima hal yang telah disebutkan di atas. Menurut Imam Nawawi, Allah menjadikan lima hal tersebut sebagai sebab selamatnya seseorang atas hal buruk yang merupakan implikasi dari mimpi yang dialaminya, seperti halnya Allah menjadikan sedekah sebagai sebab terjaganya harta yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan ketika seseorang bermimpi sesuatu yang baik dan disukainya, maka hendaknya ia melakukan tiga anjuran yang telah disebutkan di atas, hal tersebut tak lain agar mimpi itu betul-betul terjadi dan mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengalaminya. (Syekh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, Juz 12, Hal. 371). Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Dewan Komisi Fatwa MUI Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar