Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, persatuan dan kesatuan warga negara adalah sebuah hal yang mutlak. Persatuan dan kesatuan ini sudah pasti merupakan dorongan faktor kesetiaan akan janji yang sudah pernah dilakukan dan tujuan yang ingin dicapai bersama, yaitu kemakmuran. Tanpa faktor pendorong ini, sulit rasanya untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan apalagi di tengah banyaknya pihak yang tidak menyadari akan bahaya pecah belahnya suatu bangsa dan negara.
Praktis sesuai dengan kondisi yang hampir sama karena adanya pemecah belah persatuan ini, di tengah situasi yang tidak menentu, Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran [3] ayat 103 mengisyaratkan agar senantiasa kaum muslimin dan warga Madinah waktu itu untuk bersatu menghadapinya dengan tetap berpedoman pada ikatan perjanjian yang pernah mereka lakukan (Piagam Madinah). Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara nation state, isyarat ini termasuk bisa diterapkan ke semua warga negara (muwathin), dengan rujukan utama senantiasa berpedoman pada ikatan perjanjian luhur bangsa ('urwati al-wutsqa). Dalam konteks Indonesia, ikatan luhur tersebut tertuang dalam sila-sila Pancasila. Allah SWT berfirman:
واعتصموا بحبل الله جميعا ولاتفرقوا
Artinya, “Berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan jangan bercerai berai!” (QS Ali Imran: 103).
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, ayat ini merupakan perintah agar senantiasa menjaga persatuan dan larangan untuk bercerai berai. Untuk mengkaji lebih jauh mengenai urgensi persatuan dan kesatuan sebagaimana disinggung dalam ayat ini, sejenak mari kita simak beberapa pendapat para ulama ahli tafsir yang sudah banyak memberikan penjelasan. Beberapa pendapat di antara mufassir itu, kita sajikan ulasannya sebagai berikut.
Pertama, menurut Abu Muhammad al-Husayn ibn Mas'ud ibn Muhammad al-Farra' al-Baghawi (w. 516 H) dengan Tafsir al-Baghawi-nya.
Di dalam kitab tafsirnya yang dikenal sebagai Tafsir al-Baghawi, juz 2, halaman 103, al-Baghawi (w. 516 H) menjelaskan mengenai urgensi persatuan sebagaimana tersirat dari Surat Ali Imran [3] ayat 103 di atas. Di dalam penafsirannya yang memgambil riwayat dari Ibnu Mas'ud, bahwa bersatu dan menjaga kekompakan (jamaah) merupakan perkara yang ditekankan oleh syariat. Ia menyatakan:
(واعتصموا بحبل الله جميعا) الحبل : السبب الذي [ يتوصل ] به إلى البغية وسمي الإيمان حبلا لأنه سبب يتوصل به إلى زوال الخوف واختلفوا في معناه هاهنا ، قال ابن عباس : معناه تمسكوا بدين الله ، وقال ابن مسعود : هو الجماعة ، وقال : عليكم بالجماعة فإنها حبل الله الذي أمر الله به ، وإن ما تكرهون في الجماعة والطاعة خير مما تحبون في الفرقة
Artinya, “(wa’tashimu bi habli al-lahi jami’an). Makna al-hablu (dalam ayat ini) adalah suatu sebab yang bisa mengantarkan pada tercapainya cita-cita. Iman dinisbatkan maknanya dengan tali karena iman merupakan sebab bagi tercapainya tujuan, yaitu hilangnya rasa takut/kekhawatiran. Para ulama tafsir bersilang pendapat mengenai maknanya dalam hal ini. Ibnu Abbas berkata: “berpegang teguhlah kalian kepada agama Allah”. Ibnu Mas’ud berkata: “al-habl itu adalah jama’ah. Lebih jauh ia menjelaskan: (seolah ayat bermakna) Wajib atas kalian berjamaah. Karena sesungguhnya jamaah merupakan tali Allah yang dengannya Allah menyampaikan perintah. Sesungguhnya sesuatu yang kalian benci bersama jama’ah dan ketaatan adalah lebih baik dibanding dengan sesuatu yang kalian benci dalam kondisi perpecahan/tercerai berai” (Abu Muhammad al-Husayn ibn Mas'ud ibn Muhammad al-Farra' al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, Tanpa Nama Kota: Dar al-Taybah, 1997, juz 2, halaman 103).
Kedua, menurut Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi (w. 671 H) atau yang dikenal sebagai Imam Syamsudin al-Qurthubi.
Sebagaimana al-Baghawi (w. 516 H), al-Qurthubi kurang lebih menyinggung pentingnya berada di dalam ikatan jamaah (persatuan) itu. Di dalam kitab tafsirnya, yang sering dikenal dengan nama Tafsir al-Qurthubi, Juz 4, halaman 159, ia menukil sebuah riwayat tafsir yang juga disandarkan periwayatannya pada Ibnu Mas’ud. Berikut penjelasannya.
عن عبد الله بن مسعود واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا قال : الجماعة ; روي عنه وعن غيره من وجوه ، والمعنى كله متقارب متداخل ; فإن الله تعالى يأمر بالألفة وينهى عن الفرقة فإن الفرقة هلكة والجماعة نجاة
Artinya, “Dari Abdullah ibn Mas’ud, ayat wa’tashimu bi habli al-lahi jami’an wa la tafarraqu. Menurut Ibnu Mas’ud: ayat ini bermakna jamaah. Makna senada diriwayatkan oleh Taqi ibn Mukhallid dari banyak jalur lain selain Ibn Mas’ud. Namun dari sisi makna, seluruhnya menunjukkan makna yang saling mendekati dan saling mendukung satu sama lain. [Substansinya ayat seolah menunjukkan, bahwa] sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan agar bersikap lunak/toleran (ulfah) dan melarang sikap cerai-berai/ perpecahan. Karena sikap suka perpecahan adalah condong pada kerusakan, sementara sikap berjamaah (bersatu) adalah condong pada keselamatan.” (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Riyadl: Dar al-’Alam al-Kutub, Tanpa Tahun, Juz 4, halaman 159)
Lebih lanjut, Syamsudin al-Qurthubi (w. 671 H), menukil sebuah ungkapan dari Ibn al-Mubarak sebagai berikut:
ورحم الله ابن المبارك حيث قال إن الجماعة حبل الله فاعتصموا منه بعروته الوثقى لمن دانا
Artinya, “Semoga Allah merahmati Ibn Mubarak yang berpendapat bahwa sesungguhnya jamaah itu adalah talinya Allah. Maka dari itu, berpeganglah kalian darinya dengan ikatan yang kokoh khususnya bagi orang yang mendekat.” (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Riyadl: Dar al-’Alam al-Kutub, Tanpa Tahun, Juz 4, halaman 159)
Sementara itu, ketika menafsiri ayat wa la tafarraqu, Syamsudin al-Qurthubi (w. 671 H), dengan penyandaran riwayat tafsir kepada Ibn Mas’ud rahimahullah, ia berkata:
عن ابن مسعود وغيره . ويجوز أن يكون معناه ولا تفرقوا متابعين للهوى والأغراض المختلفة ، وكونوا في دين الله إخوانا ; فيكون ذلك منعا لهم عن التقاطع والتدابر
Artinya, “Dari ibnu Mas’ud dan lainnya: Boleh jika penggalan ayat ini (wa la tafarraqu) dimaknai janganlah kalian tercerai berai karena mengikuti hawa nafsu atau perbedaan dalam tujuan/ maksud. Jadilah kalian di dalam agamanya Allah sebagai layaknya saudara! Dengan demikian makna ayat dengan kata lain merupakan bentuk larangan dari melakukan saling memutus silaturahmi dan saling membelakangi.” (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Riyadl: Dar al-’Alam al-Kutub, Tanpa Tahun, Juz 4, halaman 159)
Inti dari pendapat kedua ulama tafsir di atas, berdasarkan riwayat tafsir dari Ibnu Mas’ud yang juga didukung dari beberapa riwayat tafsir lainnya, adalah menunjukkan kesamaan, yaitu memandang pentingnya berada dalam ikatan jamaah (persatuan). Dengan persatuan, segala perkara yang rumit bisa diselesaikan. Akan tetapi tidak dengan kondisi perpecahan. Perpecahan merupakan sebab dari timbulnya kerusakan (halakah), sementara persatuan merupakan sebab dari keselamatan atau kemakmuran (najah).
Ketiga, menurut Muḥammad ibn Yûsuf bin 'Alî ibn Yûsuf ibn Hayyân an-Nifzî al-Barbarî Athîr al-Dîn Abû Ḥayyân al-Jayyânî al-Gharnâṭî al-Andalûsî (w. 744 H).
Penafsiran dari kedua mufassir di atas, mendapatkan dukungan dari Ibnu Hayyan (w. 744 H). Lebih lanjut ia menyajikan ayat lain yang senapas (munasabah) dengan Surat Ali Imran [3] ayat 103, yaitu Surat al-Anfal [8] ayat 46. Allah SWT berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya, “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian saling berbantah-bantahan yang menyebabkan gentar dan hilangnya kekuatan. Bersabarlah! Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Anfal [8] : 43).
Di dalam ayat ini mendapatkan Allah SWT seolah menjelaskan sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Hayyan al-Andalusy (w. 744 H) dalam kitab tafsirnya Bahru al-Muhith, bahwa perpecahan merupakan sebab dari kehancuran yang memudahkan kaum kolonial mampu menguasai suatu negara. Perpecahan mampu membangkitkan rasa gentar untuk menghadapi musuh kolonialis.
Dengan tegas Ibnu Hayyan (w. 744 H) menyampaikan:
لأنه يتسبب عن التنازع الفشل وهو الخور والجبن عن لقاء العدو وذهاب الدولة باستلاء العدو
Artinya, “Al-Fasylu timbul sebagai efek dari saling berbantah-bantahan. Istilah al-Fasylu menunjukkan arti sebagai rasa gentar dan lari dari menghadapi musuh yang menjadi sebab hilangnya suatu negara sebab dikuasai oleh kolonialis.” (Muḥammad ibn Yûsuf bin 'Alî ibn Yûsuf ibn Hayyân an-Nifzî al-Barbarî Athîr al-Dîn Abû Ḥayyân al-Jayyânî al-Gharnâṭî al-Andalûsî, Tafsir Bahru al-Muhith, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1422 H, Juz 4, halaman 499).
Keempat, menurut Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari (w. 1947 M).
Di dalam pidatonya yang kemudian diabadikan dalam Muqaddimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, Hadlratu al-Syeikh KH Hasyim Asy’ari menyampaikan sebuah fatwa yang sejalan dengan ketiga ulama tafsir di atas. Namun, pidato ini beliau sampaikan dengan konteks ke-Indonesiaan. Isi dari petikan pidato adalah sebagai berikut:
وَمِنَ الْمَعْلـُوْمِ اَنَّ النَّاسَ لاَبُدَّ لَهُمْ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ وَالْمُخَالَطَةِ ِلأَنَّ الْفَرْدَ الْوَاحِدَ لاَيُمْكِنُ اَنْ يَسْتَقِلَّ بِجَمِيْعِ حَاجَاتِهِ، فَهُوَمُضْظَرٌّبِحُكْمِ الضَّرُوْرَة اِلَى اْلاِجْتِمَاعِ الَّذِيْ يَجْلِبُ اِلَى اُمَّتِهِ الْخَيْرَ وَيَدْفَعُ عَنْهَا الشَّرَّ وَالضَّيْرَ.فَاْلإِتِّحَادُ وَارْتِبَاطُ الْقُلُوْبِ بِبَعْضِهَا وَتَضَافُرُهَا عَلَى اَمْرِ وَاحِدٍ وَاجْتِمَاعُهَاعَلَى كَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ أَهَمِّ اَسْبَابِ السَعَادَةِ وَاَقْوَى دَوَاعِى الْمَحَبَّةِ وَاْلمَوَدَّةِ. وَكَمْ ِبهِ عُمِّرَتِ البِلاَدُ وَسَادَتِ الْعِبَادُ وَانْتَشَرَ الْعِمْرَانُ وَتَقَدَّمَتِ اْلاَوْطَانُ وَاُسِّسَتِ الْمَمَالِكُ وسُهِّلَتِ المسَاَلِكُ وَكَثُرَ التَّوَاصُلُ اِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ فَوَائِدِ اْلاِتِّحَادِ الَّذِيْ هُوَاَعْظَمُ الْفَضَائِلِ وَأَمْتَنُ اْلاَسْبَابِ وَالْوَسَائِلِ
Artinya, “Telah menjadi sebuah keniscayaan bahwa manusia suka berkumpul (bersosial) dan berbaur dengan sesamanya, karena seorang individu tidak mungkin sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri. Kebutuhan untuk bersosial ini sudah layaknya merupakan keharusan yang tak terpungkirii, namun merupakan modal bagi umat menuju pada kebaikan, menolak segala bentuk keburukan dan mara bahaya. Oleh karena itu, kebersamaan dan ikatan batin satu sama lain, saling membantu dalam menyelesaikan satu kepentingan bersama, dan bersama-sama maju dalam satu komando adalah sebuah hal penting bagi terwujudnya kebahagiaan, serta menjadi faktor pendorong yang kuat bagi terbentuknya rasa cinta dan kasih sayang kepada sesama. Berapa banyak negara-negara berhasil mencapai kemakmurannya, masyarakat kecil menjadi penguasa-penguasa, pembangunan terlaksana, negara-negara menjadi maju, pemerintahan ditegakkan, dan jalan menuju kemakmuran bersama menjadi mudah, serta banyak tujuan pembangunan bisa diraih, adalah buah yang lahir dari faedahnya persatuan. Persatuan merupakan modal terbesar bagi umat. Persatuan juga merupakan sebab dan sekaligus sarana yang paling ampuh untuk mencapai itu semua” (Muhammad Hasyim Asy’ari, Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlati al-Ulama, termaktub di dalam al-Tibyan, Jombang: Maktabah al-Turats al-Islamy, tt.: 22).
Alhasil, menurut Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari, persatuan dan kesatuan merupakan sebab bagi tercapainya maksud. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, persatuan dan kesatuan menemukan urgensinya yaitu tercapainya banyak tujuan pembangunan dan pembangunan masyarakat. Lawan dari bersatu adalah bercerai berai. Sudah pasti dalam hal ini, ketercerai-beraian masyarakat merupakan sebab bagi terhambatnya pembangunan oleh negara bahkan sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Hayyan, keterbelahan masyarakat merupakan sebab hancurnya negara dan dengan mudahnya musuh masyarakat menguasai suatu negara. Wallahu a’lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah PWNU Jawa Timur *Disarikan dari buku Fikih Kebangsaan, karya HIMASAL (Himpunan Alumni Santri Lirboyo).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar