Potensi dan daya manusia betapa pun besarnya memiliki keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan secara berlebihan ke arah tertentu, arah pemenuhan kebutuhan fa'ali (badani) misalnya, maka arah yang lain, seperti mental spiritual akan terabaikan. Di sinilah pengendalian diri diperlukan melalui ajaran yang ada di dalam ibadah puasa.
Esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa. Termasuk mengendalikan diri untuk tidak mengumbar ujaran kebencian, menyebarkan informasi-informasi tidak benar (hoaks), serta tidak menciptakan konten-konten kontroversial di berbagai platform media sosial.
Terkait prinsip pengendalian diri, Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (2000) menguraikan bahwa seseorang dapat bertanya mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat-umat terdahulu dan umat Islam hingga kini? Manusia memiliki kebebasan bertindak untuk memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan berhubungan seks.
Binatang, khususnya binatang-binatang tertentu tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga kebutuhan pokok itu, sehingga ada waktu atau musim berhubungan seks bagi mereka (binatang). Itulah hikmah Ilahi demi memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan atau menghindarkannya dari kebinasaan.
Manusia tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas lainnya dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
Mengendalikan diri dari hawa nafsu dan perbuatan dosa serta merugikan orang lain merupakan modal penting bagi setiap Muslim untuk memperoleh predikat takwa sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Quraish Shihab menjelaskan, takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah. Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya.
Sedangkan Dia (Allah) bersama manusia di mana pun manusia berada. Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.
Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam: Pertama, siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini.
Seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit", "Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas, dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.
Kedua, siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan lain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.
Takwa dapat terwujud dalam bentuk rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah SWT). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya sifat takwa timbul karena adanya Allah SWT.
Dengan demikian, yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah SWT setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah hadis.
Salah satu saluran untuk memperoleh predikat takwa ialah peristiwa malam lailatul qadar. Malam agung dan istimewa yang kebaikannya berlanjut dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Quraish Shihab, pertanda orang yang mendapatkan malam lailatul qadar ialah pertama, kebaikannya terus meningkat dalam kehidupan sehari-hari setelah Ramadhan. Kedua, hati dan perilakunya penuh dengan kedamaian dalam interaksinya dengan sesama makhluk Allah SWT. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar