Manusia merupakan makhluk sosial. Dalam kesehariannya, ia senantiasa membutuhkan bantuan dan uluran tangan dari orang lain. Untuk itulah, syariat menekankan pentingnya membina kerukunan (irfaq) antarsesama. Batasan yang ditetapkan oleh syara’ adalah jika tolong-menolong maka hendaknya dalam perbuatan kebajikan dan ketakwaan, bukan dalam perbuatan dosa dan permusuhan.
Larangan tolong-menolong dalam hal permusuhan, secara tidak langsung merupakan perintah untuk bersilaturahim. Sebuah kaidah ushuliyah menyebutkan:
النهي بالشيء أمر بضده
“Larangan melakukan sesuatu adalah perintah kebalikannya.”
Sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berisi perintah slaturahmi di antaranya sebagai berikut:
من أحب أن يبسط له في رزقه، وأن ينسأ له في أجله فليصل رحمه
“Barang siapa mencintai untuk diluaskan rezekinya, dan ditunda ajalnya (panjang umur), maka hendaknya ia menyambung tali silaturahim.”
Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mendefinisikan maksud dari silaturahim dalam Islam, yaitu:
ليس الواصل بالمكافي ولكن الواصل الذي إذا قطعت رحمه وصلها
“Tiada yang disebut penyambung silaturahim itu adalah orang yang memenuhi kebutuhan orang lain. Akan tetapi yang dimaksud penyambung silaturahim adalah apabila suatu hubungan itu putus, maka ia merajutnya kembali” (HR al-Bukhari: 5532)
Kemudian, ancaman bagi pemutus silaturahim disampaikan dalam Sabda Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
لا يدخل الجنة قاطع رحم
"Tiada masuk surga, orang yang memutus tali silaturahim.”
Berangkat dari landasan ini maka para ulama menyatakan bahwa hukum menyambung silaturahim adalah sebagai sesuatu yang wajib.
Lalu bagaimana ketika seseorang dituntut menjaga jarak, mengurangi pertemuan fisik, lantaran, misalnya, pandemi Covid-19 sebagaimana mayoritas penduduk bumi ini alami saat ini? Apakah silaturahim berkurang maknanya?
Batasan-batasan Silaturahim
Jika mencermati beberapa dalil nash di atas maka kita bisa menarik suatu kesimpulan, bahwa intisari dari diperintahkannya silaturahim pada dasarnya adalah untuk menghindar dari permusuhan. Bukti dari tujuan utama ini adalah karena adanya larangan untuk berbuat perpecahan. Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala menguatkan perintah tersebut dengan bunyi firman-Nya:
واعتصموا بحبل الله جميعا ولاتفرقوا
“Berpegangteguhlah kalian dengan tali Allah (agama) seluruhnya, dan jangnlah kalian saling bercerai berai.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 2)
Dengan demikian, dalil larangan yang berlaku untuk ‘udwan menduduki derajat yang umum. Sementara itu, dalil larangn yang berlaku agar menghindari tafarruq (perpecahan) adalah yang menempati derajat khusus (khash). Mengapa? Sebab salah satu indikator dari sikap permusuhan adalah diawali dari perpecahan.
Dalam konteks silaturahim, perpecahan ini memiliki beberapa indikator (qarinah) yang bersifat manshush (tersurat di dalam nash), yaitu: tidak bertegur sapa (tabaghudl), saling hasud (tahasud), saling menggunjing (tajassus), saling ghibah, dengan karakteristik dhahir yang ditengarai oleh keterpisahan diri yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Sudah pasti, indikator ini masih diperkuat oleh ketiadaan saling komunikasi, ikatan saling berwasiat, tolong-menolong, dan sejenisnya. Indikator ini juga merupakan indikator yang manshush dan banyak kita temui dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta pendapat-pendapat para ulama.
Toleransi Syariat dalam Silaturahim
Manusia adalah makhluk yang daif. Tubuhnya tidak bisa selalu ada di satu tempat, di mana di tempat lain, kehadirannya juga dibutuhkan. Untuk itulah, manusia diberikan ruang toleransi untuk menutupi kelemahan tersebut (rukhshah).
Untuk menutup berbagai celah tersebut, umat Islam memiliki pedoman umum yang diakui oleh syara’, yaitu: ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh (Sesuatu yang tidak bisa dilakukan sebagaimana idealnya, maka jangan ditinggal seluruhnya). Pembatas yang menyebabkan ketidakidealan ini, dikenal dengan istilah urusan dlarury (keterdesakan).
Jika keterdesakan itu hanya karena faktor jarak yang memisahkan, maka setidaknya bisa dilakukan dengan pendekatan yang mengurangi efek dari jarak tersebut (muqtadla al-hal). Di dalam akad muamalah, pendekatan yang bisa mengurangi efek jarak ini ada beberapa macam, antara lain: melalui peran wakil, peran murasalah, dan sejenisnya. Dewasa ini, ada alat telekomunikasi,
seumpama handphone, aplikasi pesan singkat, dan media sosial. Seluruhnya ini, merupakan sarana pendekatan untuk mengurangi efek karena jarak. Alhasil, penggunaan alat komunikasi dapat menduduki maqam penyambung silaturahim karena dipisahkan oleh jarak atau bahkan komunikasi. Komunikasi juga merupakan bagian dari rukun silaturahim, sebagaimana layaknya shighah akad. Ruang toleransi akibat tidak bisa berkomunikasi secara langsung dengan tatap muka, bisa didekati dengan komunikasi yang bersifat maushuf fi al-dzimmah (bisa disifati dan bisa dipegang). Namun, ada satu hal yang harus dicatat adalah bahwa setiap apa yang diutarakan dalam ruang komunikasi ini, meniscayakan harus bisanya dipertanggungjawabkan secara syariat. Allah memberikan batasan, bahwa hendaknya tutur kata senantiasa disampaikan dengan jalan yang baik (husna). Adapun media, merupakan yang menduduki maqam sarana yang menggantikan peran murasalah (saling berkirim surat).
Alhasil, silaturahim tidak senantiasa harus dengan tatap muka. Memang bahwa adanya perintah silaturahim, pada dasarnya menunjukkan makna wajib. Akan tetapi, Islam juga memberikan penegasan bahwa karena faktor adanya berat (masyaqqah), sulit (‘asir), sakit (maradl), ketakutan (khauf), seluruhnya adalah termasuk illat yang mu’tabar dan tertuang dalam banyak nushush al-syariah sehingga bisa menarik adanya keringanan dan kemurahan dalam menjalankan sebagaimana idealitasnya.
Di dalam sebuah maqalah disampaikan, bahwa Allah subhanahu wata’ala lebih menyukai kepada hamba-Nya yang mengambil rukhshah-Nya, dibanding mempersulit atau membahayakan diri karena ego idealismenya. Secara langsung, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Bertakwalah kalian kepada Allah, semampu kalian!”
Salah satu ciri ketakwaan kepada Allah adalah menjalankan perintah wajib. Namun, Allah memberikan toleransi dengan ma istitatha’tum (semampu kalian). Itu semua adalah bagian dari sifat Maha Pemurahnya Allah. Mengambil kemurahan adalah bagian dari tanda bersyukur.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean
Tidak ada komentar:
Posting Komentar