Ranah Minang, ABS-SBK-AM-SM, dan Kebanggan Semu (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sudah menjadi sunnatullah, manusia mencintai tanah kelahirannya. Tidak jarang cinta itu dalam sekali, sekalipun sudah berpisah lama dengannya, terutama bagi mereka yang pernah hidup sampai usia belia di tempat itu.
Warisan pribasa nenek moyang suku Melayu yang berbunyi “Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri awak, masih lebih baik jua negeri awak” belum sepenuhnya terkuras digerus zaman. Gaungan pesannya masih dirasakan cukup kuat.
Artinya, betapa pun hidup senang dan mewah di negeri orang, kenangan indah terhadap tanah kelahiran sekalipun tersuruk lagi miskin tetap hidup dan punya daya pikat tersendiri. Setidak-tidaknya begitulah perasaan saya terhadap nagari tersuruk Sumpur Kudus di lingkaran Bukit Barisan, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam Minangkabau.
Saya belajar agama sampai tingkat sekolah menengah pertama masih di bumi Minang.
Jika pun saya kadang bersikap kritikal terhadap realitas sosial keagamaan di ranah yang memang bangga dengan adat-lembaganya itu, hendaklah dibaca dalam perspektif kecintaan dan kerinduan yang mendalam itu. Filosofi ABS-SBK-AM-SM (Adat Bersendi Syarak-Syarak Bersendi Kitabullah-Adat Memakai-Syarak Mengata) secara teoretik adalah pedoman hidup manusia Minang.
Sebuah Minang yang telah menerima nilai-nilai luhur keislaman semenjak agama itu menjadi arus utama di sana. Setidak-tidaknya, demikianlah secara teori yang memang didukung oleh fakta sejarah yang kuat.
Bagi para pembaca yang kurang akrab dengan filosofi suku Minang itu, baiklah saya jelaskan sepintas apa yang dimaksud. ABS-SBK mengandung arti bahwa adat Minang mestilah bersendikan agama Islam dan agama Islam berpedoman kepada Alquran. AM-SM berarti adat yang jadi pedoman harian hidup suku Minang tidak boleh melanggar perintah atau larangan agama Islam.
Dengan demikian, agama telah mengunci prilaku manusia Minang agar selamat dunia-akhirat, agar tidak menerabas batas-batas yang telah disepakati turun temurun.
Rumusan filosofi yang demikian padat itu mengajarkan bahwa antara prilaku manusia Minang dan agama tidak boleh pecah kongsi, sekalipun dalam menghadapi perubahan sosial adat harus lentur, tidak boleh kaku. Apa yang dikenal dalam pribasa kuno “Tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan” ternyata sudah melapuk dimakan perputaran zaman.
Hamka suatu ketika mengatakan bahwa adat itu bukanlah batu yang antiperubahan. Tentu yang dimaksud adalah perubahan yang membawa kemajuan dan kemaslahatan. Bukan asal berubah.
Saat Hamka baru berusia 12 tahun, ayahnya menceraikan ibunya karena tekanan adat persukuan yang kejam. Hamka menulis: “Pihak suku ibunya tegak di tanah kalah. Suku ayahnya tegak di tanah menang. Karena pada hakekatnya, hal ini adalah pertentangan di antara dua suku.” (lih. Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, Jakarta, Gema Insani, 2018, hlm 42- 43).
Seorang Haji Rasul (DR Abdul Karim Amrullah) yang perkasa tidak berdaya menghadapi tekanan adat matrilineal yang lapuk itu. Akibat perceraian ini, jiwa bocah Hamka menjadi goncang. Jika Hamka mengeritik adat Minang dengan keras, dapat difahami, karena dia adalah korban dari sistem adat yang tidak manusiawi itu.
Sebenarnya bukan hanya kekakuan adat yang harus dipersoalkan, tafsiran dan pemikiran terhadap agama juga jangan sampai membatu. Pemahaman terhadap wahyu pasti berkembang dan berubah sejalan dengan evolusi yang mempengaruhi struktur otak manusia. Home sapiens (si bijak dalam definisi AJ Toynbee) yang satu ini tidak pernah puas dalam mencari dan mencari.
Itulah manusia yang pernah menaklukkan malaikat dalam memahami alam semesta. “Tunduklah kepada Adam,” perintah Tuhan kepada malaikat, “maka tunduklah malaikat, kecuali iblis yang menolak dan angkuh.” (Lih. Alquran surat al-Baqarah ayat 34).
Manusia Minang adalah bagian dari homo sapiens yang selalu mencari tanpa henti itu. Wawasan kesemestaan manusia Minang tercermin dalam ungkapan “Alam Terkembang Jadi Guru.” Demikian cermatnya manusia Minang itu merumuskan kepribadian kolektifnya dengan kemasan-kemasan bahasa yang singkat, padat, dan padu. Siapa yang tidak bangga dengan semua warisan ini.
Tetapi mengapa ungkapan “Kebanggaan Semu” masih ditambahkan juga di ujung judul artikel ini? Apa yang terjadi dengan Minang modern? Bukankah filosofi ABS-SBK-AM-SM sudah menghunjam dalam di Ranah Minang sejak lama? Justru, di sinilah masalah yang merisaukan itu perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh oleh manusia Minang, baik yang tinggal di ranah, mau pun yang hidup di rantau.
Jika saya turut menyoroti sisi-sisi negatif mentalitas Minang modern, bukan berarti etnisitas yang lain tentu jauh lebih baik. Tetapi biarlah anggota suku itu yang membincangkannya, seperti WS Rendra mengeritik budaya Jawa dan Ajip Rosidi membedah budaya Sunda.
Semua suku yang bertebaran di Nusantara ini kaya dengan kearifan lokal masing-masing, tetapi pasti tidak bebas dari titik-titik lemah yang perlu diperbaiki dan dibenahi bersama. Dalam membaca fenomena sosial sebuah masyarakat tertentu, para sastrawan dan budayawan mungkin punya penglihatan tersendiri yang perlu disimak.
Karena saya menulis tentang Ranah Minang, maka budayawan dan sastrawan yang dirujuk berasal dari daerah ini. Ada yang sudah wafat, tetapi yang berusia lebih muda juga dikutip dan dibicarakan. []
REPUBLIKA, 13 April 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar