Selasa, 31 Agustus 2021

(Do'a of the Day) 23 Muharram 1443H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Rabbighfirlii wa li akhii wa adkhilnaa fii rahmatika wa anta arhamur raahimiin.

 

Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.

 

Juz 9, QS. Al A'raaf (7) ayat 151.

(Ngaji of the Day) Ini Rahasia Allah di Balik Jadwal Ibadah

Allah bukan tanpa tujuan dalam menentukan waktu ibadah wajib. Dengan pentntuan waktu ibadah wajib, Allah bertujuan untuk memberikan kemaslahatan dan manfaat bagi hamba-Nya. Dengan penetapan jadwal ibadah wajib yaitu shalat, puasa, zakat, atau haji, mereka diberi kesempatan untuk melakukannya dan dengan sempurna.

 

Masalah ini pernah disampaikan oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam berikut ini:

 

قيد الطاعات بأعيان الأوقات كي لا يمنعك عنها وجود التسويف ووسع عليك الوقت كي تبقى لك حصة الاختيار

 

Artinya, “Allah membatasi ibadah pada waktu-waktu tertentu agar sikap menunda-nunda tidak menghalangimu darinya. Ia juga meluaskan bagimu waktu ibadah agar kau tetap mempunyai andil untuk memilih.”

 

Syekh Syarqawi yang menjelaskan bahwa penentuan jadwal ibadah wajib dimaksudkan agar orang tidak lagi punya alasan menunda dengan mengatakan, “Aku akan shalat setelah urusanku selesai,” karena waktu ibadah sendiri terbatas.

 

قيد) الله (الطاعات) الواجبة عليك كالصلوات الخمس (بأعيان الأوقات) بأوقات معينة ولم يطلق وقتها (كي لا يمنعك عنها وجود التسويف) فإنه تعالى لو أطلقها ولم يعين لها أوقاتا لحملك التسويف على تركها فإنك تتكاسل وتقول حتى أفرغ من حاجتي أصلي لاتساع وقتها فربما مضى يومك أو ليلتك ولم تفعلها بخلاف تقييدها بأوقات معينة فإن ذلك يلجئك إلى تحصيلها ويحجزك عن تفويتها

 

Artinya, “(Allah membatasi ibadah) wajib, yaitu sembahyang lima waktu, dan ibadah wajib lainnya (pada waktu-waktu tertentu) dengan waktu yang sudah ditentukan. Allah tidak membebaskan waktu ibadah wajib itu (agar sikap menunda-nunda tidak menghalangimu darinya). Seandainya Allah membebaskan waktu ibadah dan tidak menentukan waktunya, niscaya penundaan menyebabkanmu lalai dari ibadah wajib tersebut. Kau merasa segan dan berkata, ‘Nanti, sampai selesai urusanku, baru aku shalat’ karena waktunya yang begitu luas. Boleh jadi siang dan malam berlalu sementara kau belum mengerjakan ibadah wajib tersebut. Lain halnya jika ibadah wajib itu ditentukan waktunya. Penentuan waktu itu yang menyebabkan kau untuk berusaha menunaikannya dan menghalangimu dari luputnya,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Indonesia, Al-Haramain: 2012 M], juz II, halaman 31).

 

Meski jadwal ibadah wajib itu ditentukan, Allah melapangkan waktu ibadah tersebut. Allah memberikan kelapangan waktu agar hamba-Nya memiliki pilihan untuk mengerjakan di awal atau di akhir waktu. Kecuali itu, kelapangan waktu sebuah ibadah wajib itu memungkinkan seseorang bukan sekadar melaksanakannya, tetapi juga menunaikan ibadah itu sebaik-baiknya. Dengan waktu yang memadai, seseorang dapat menyiapkan segala sesuatunya, berusaha membulatkan pikiran dan mengupayakan diri menjadi sadar sedang bersaman-Nya sebagaimana dikatakan Syekh Syarqawi berikut ini.

 

ووسع عليك الوقت) أي وسع أوقاتها عليك ولم يضيقها (كي تبقى لك حصة الاختيار) فيمكنك فعلها في أول وقتها أو وسطه أو آخره ولا تعد من المضيعين لها إذا أتيت بها في آخر وقتها مثلا ولتتمكن أيضا من الإتيان بها على الوجه الأكمل

 

Artinya, “(Allah juga meluaskan bagimu waktu ibadah), dalam arti Allah memanjangkan waktu ibadah wajib itu, tidak mempersempitnya (agar kau tetap mempunyai andil untuk memilih). Ini yang memungkinkanmu untuk mengerjakan ibadah wajib itu di awal waktu, di tengah, atau di akhir waktu. Kau tidak dianggap sebagai orang yang menyia-nyiakan ibadah ketika kau mengerjakannya di akhir waktu misalnya. Keluasan waktu juga memantapkanmu untuk mengerjakan ibadah wajib itu dengan jalan sempurna,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Indonesia, Al-Haramain: 2012 M], juz II, halaman 31).

 

Jadi, penentuan waktu ibadah wajib oleh Allah mengandung maslahat dan manfaat yang berpulang bukan kepada Allah, tetapi kepada hamba-Nya. Penentuan waktu ibadah wajib itu sendiri jangan diartikan sebagai sebuah kekejaman Allah, tetapi justru karena kasih dan sayang-Nya kepada para hamba-Nya. Wallahu a‘lam. []

 

Sumber: NU Online

Satrawi: Teladan KH Muhammad Syamsul Arifin Istikamah Menjaga Bangsa

Teladan KH Muhammad Syamsul Arifin Istikamah Menjaga Bangsa

Oleh: Hasibullah Satrawi

 

Kiai Muhammad Syamsul Arifin. Demikian nama lengkap salah satu ulama sepuh asal Madura yang meninggal pada 1 Juli lalu. Kiai Muhammad, demikian kami para santri biasa memanggilnya, merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan, Madura. Selain sebagai pengasuh pondok pesantren, Kiai Muhammad juga merupakan Wakil Ketua Majelis Syariah di salah satu partai politik.

 

Bagi para santri dan sebagian masyarakat, Kiai Muhammad tak ubahnya sumur kebaikan dan kebajikan yang senantiasa mengalir dan terus terbarukan (banyu, anyar). Para santri dan sebagian masyarakat senantiasa menimba ilmu keislaman, perjuangan kenegaraan, dan teladan kehidupan dari Kiai Muhammad.

 

Ada beberapa pesan dan keteladanan dari Kiai Muhammad yang senantiasa ditekankan kepada para santri atau pun masyarakat yang menemuinya. Pertama, sikap istiqamah. Secara sederhana, istikamah bisa dimaknai sebagai mulazamatul khair (menekuni kebaikan). Sikap istikamah tidak hanya diujarkan oleh Kiai Muhammad, melainkan juga dicontohkan hampir dalam semua lini kehidupan beliau.

 

Dalam kapasitasnya sebagai pengasuh, contohnya, Kiai Muhammad hampir tidak pernah meninggalkan jadwal mengajar kitab kuning setelah salat fardhu, seperti setelah shalat dhuhur, setelah shalat ashar dan setelah shalat maghrib. Walaupun pada waktu yang hampir bersamaan ada acara lain di luar pondok, tetapi Kiai Muhammad tetap mengutamakan dan mengupayakan agar bisa mulang (mengajar kitab) di waktu-waktu yang ada. Hingga para santri tetap mendapatkan pencerahan dari beliau.

 

Berdasarkan pengalaman penulis belajar di Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar (tahun 1990-an), Kiai Muhammad acap melakukan salat sunnah di tempat yang tetap (tidak berubah-berubah), baik sunnah qabliyah ataupun sunnah ba’diyah. Hal ini bisa dipahami bahwa Kiai Muhammad memberlakukan prinsip istikamah tidak hanya dalam hal-hal prinsip (mabda’iy), melainkan juga dalam hal-hal yang bersifat makaniy (tempat) dan zamany (waktu).

 

Kedua, berpolitik sebagai upaya untuk memperjuangkan kebaikan agama, bangsa, dan negara. Sebagaimana disampaikan di atas, Kiai Muhammad aktif di salah satu partai politik. Bahkan dahulu (waktu penulis di pondok), beliau juga datang ke acara-acara kampanye yang diadakan oleh partai. Namun demikian, kesibukan beliau dalam dunia politik tidak sampai mengorbankan jadwal-jadwal mengajar.

 

Hal tak kalah penting adalah Kiai Muhammad tidak menggunakan posisinya di dalam partai politik untuk hal-hal yang bersifat pragmatis ataupun kepentingan pribadi (jabatan, kekayaan, dan lainnya), melainkan untuk perjuangan yang bersifat dakwah.

 

Dalam konteks seperti ini, perjuangan politik Kiai Muhammad sangat unik. Di satu sisi, Kiai Muhammad tidak menjauhkan diri atau ‘uzlah dari partai politik laiknya orang-orang yang anti terhadap politik atau pun kekuasaan. Tetapi di sisi lain, Kiai Muhammad tidak terpengaruh ke dalam pragmatisme politik yang cenderung koruptif, kolusif, dan manipulatif.

 

Dengan kata lain, selama ini telah banyak orang atau pun tokoh yang memilih untuk menjauhkan diri dari dunia politik atau pun kekuasaan. Sebagaimana lebih banyak lagi orang atau pun tokoh yang memilih untuk terjun ke dalam politik atau pun kekuasaan. Tetapi sangat sedikit orang atau pun tokoh yang memilih terjun ke dunia politik dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip politik adiluhung yang belakangan mulai menjadi makhluk langka, seperti politik kerakyatan dan keumatan yang menjadikan kemaslahatan publik sebagai poros sekaligus tujuan gerakan. Inilah jalan sunyi politik yang dipilih dan dilalui oleh Kiai Muhammad Syamsul Arifin hampir sepanjang hayatnya.

 

Apa yang dikatakan oleh Jamal Al-Banna, adik kandung Hasan al-Banna, tidak terbukti dalam konteks pengalaman dan pilihan politik Kiai Muhammad, yaitu bahwa kekuasaan tak ubahnya api menyala (narun hamiyah) yang dapat membakar (si)apa pun yang menyentuhnya secara langsung (Al-Islam Dinun wa Ummah wa Laysa Dinan wa Dawlah, 2003: 129).

 

Pun demikian, pengalaman dan pilihan politik Kiai Muhammad tidak menimbulkan efek traumatis seperti yang dilukiskan Muhammad Abduh dalam pernyataannya yang sangat tersohor dengan mengutip salah satu Ayat Al-Quran (Qs. As-Saffat: 63-68) terkait makanan orang-orang ahli neraka yang dianalogikan dengan politik; politik tak ubahnya pohon yang tumbuh di dasar neraka, mayangnya seperti kepala-kepala syaitan dan seterusnya. Saking dalamnya trauma yang dialaminya, Abduh sampai berlindung dari semua huruf yang dapat dirangkai menjadi sebuah politik (siyasah) atau kalimat yang terdiri dari kata siyasah (kekuasaan).

 

Menariknya adalah, pilihan politik Kiai Muhammad juga tidak terlepas dari nilai utama yang sangat ditekankan oleh beliau, yaitu sikap istikamah. Sebagaimana dimaklumi, partai politik yang diikuti telah menjadi pilihan politik para pendahulu beliau, termasuk guru sekaligus bapak mertua beliau yang sangat terkenal perjuangannya di Madura dalam melawan para penjajah (KH Abdul Hamid Baqir). Maka sebagai generasi penerus, Kiai Muhammad tetap istikamah dengan pilihan partainya yang juga merupakan pilihan para pendahulunya.

 

Ketiga, sikap sabar. Kiai Muhammad dikenal sebagai sosok yang sabar. Sebagai contoh, selama beberapa tahun penulis belajar di Pondok Darul Ulum Banyuanyar, belum pernah sekalipun menyaksikan Kiai Muhammad marah karena menghadapi persoalan tertentu, bahkan persoalan yang sangat besar sekalipun. Hal terbesar yang biasanya terjadi ketika ada hal-hal yang kurang berkenan adalah Kiai Muhammad menjadi sakit.

 

Kesabaran nyaris sempurna seperti menjadi keteladanan Kiai Muhammad tentu bukan sekadar sikap bawaan. Karena sebagai bawaan, semua orang memiliki kadar kesabaran. Sebagaimana semua orang juga memiliki kadar emosi.

 

Dengan adanya ekspresi kesabaran yang terus menerus seperti dilakukan oleh Kiai Muhammad, maka hampir bisa dipastikan hal ini lahir dari ilmu pengetahuan yang sangat mendalam. Sebuah pengetahuan yang tak hanya bersandar pada upaya-upaya manusia semata (belajar), melainkan pengetahuan yang bersumber pada Dzat Maha Tahu sebagai pemberian dan anugerah-Nya. Di kalangan pesantren ilmu ini dikenal dengan istilah ladunniy atau dalam dunia tasawuf dikenal dengan istilah kasyf.

 

Pengetahuan inilah yang pada akhirnya membuat Kiai Muhammad mampu melakukan hal-hal besar secara nyaris sempurna, seperti kesabaran yang hampir tak pernah diselingi dengan sikap marah atau sikap istikamah yang hampir tak pernah diselingi dengan rasa lelah atau sikap inkonsisten lainnya.

 

Bangsa ini sangat membutuhkan tiga keteladanan dari Kiai Muhammad sebagaimana di atas, khususnya dalam menghadapi pandemi seperti sekarang. Betapa banyak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh dari keistikamahan sebagai kematangan pilihan, sikap, maupun kebijakan. Hingga terjadi perombakan suatu kebijakan dari satu pejabat/pemerintah ke pejabat/pemerintah yang lain.

 

Pun demikian dalam dunia politik. Sejauh ini dunia politik masih jauh dari cita-cita luhurnya; menjadikan kepentingan bangsa dan kemaslahatan publik di atas segalanya. Sebaliknya kerja-kerja politik acap dibajak oleh kepentingan pribadi maupun golongan. Politik pun acap menjadi media untuk “mengambil semua” daripada memberi untuk semua. Bahkan pada masa pandemi seperti sekarang, kepentingan yang bersifat politis atau ambisi yang bersifat pribadi dan golongan tak jarang mengalahkan hajat dan kepentingan masyarakat luas untuk terbebas dari wabah yang ada.

 

Pada akhirnya, kesabaran Pak Kiai Muhammad menjadi teladan yang sangat penting pada masa seperti sekarang. Kondisi berat dan serba terbatas akibat Covid-19 harus dipikul bersama-sama, daripada justru menimbulkan sikap saling menyalahkan dan terlebih lagi saling tak peduli. Melalui kesabaran dan kesadaran, masyarakat bisa bersama-sama menghadapi pandemi yang ada dengan protokol kesehatan sembari saling membantu dalam menghadapi dampak-dampak yang ditimbulkan oleh Covid-19.

 

Terima kasih Kiai Muhammad atas semua keteladananmu. Semoga semua amal kebaikan Ajunan (bahasa Madura, sapaan kehormatan) diterima Allah Swt. Semoga semua keteladanannya menjadi “air pembaruan dan kebijaksaan” bagi kita semua. Selamat jalan Kiai Muhammad, Kiai Istikamah dalam menjaga bangsa. []

 

KOMPAS, 29 Juli 2021

Hasibullah Satrawi | Alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

(Ngaji of the Day) Empat Tips Mudah Bangun Malam untuk Shalat Tahajud

Setiap orang mungkin memiliki cara, tips, dan persiapan yang berbeda untuk dapat mudah terjaga shalat tahajud pada malam dini hari. Tetapi berikut ini adalah tips yang disarankan oleh ulama agar kita mudah bangun untuk melakukan shalat tahajud.

 

Ulama menyebutkan empat hal yang dapat memudahkan kita untuk mengamalkan shalat tahajud. Syekh Zainuddin Al-Malibari menyebutkan empat hal tersebut dalam syairnya berikut ini:

 

ويعين تجديد الوضوء وذكركا * قبل الغروب مسبحا مستقبلا وعبادة بين العشاء ومغرب * ترك كلاما بعد ذلك غافلا

 

Artinya, “Akan menolong (untuk shalat tahajud) oleh pembaruan wudhu dan zikirmu * Sebelum magrib bertasbih dan menghadap kiblat // Ibadah antara isya dan maghrib * Meninggalkan ucapan setelah itu halnya lalai,” (Zainuddin Al-Malibari, Hidayatul Adzkiya ila Thariqil Auliya pada Syarah Kifayatul Atqiya, [Indonesia, Al-Haramain Jaya: tanpa tahun], halaman 101).

 

Sayyid Bakri dalam syarah atas syair ini melalui karyanya Kitab Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya menyebutkan faktor-faktor yang dapat memudahkan kita untuk melakukan shalat tahajud:

 

1. Memperbarui wudhu pada isya.

2. Berzikir sebelum matahari tenggelam dalam hal bertasbih atau beristighfar dan menghadap kiblat.

3. Mengisi waktu antara maghrib dan isya dengan ibadah seperti shalat, membaca Al-Qur’an, atau berzikir. Tetapi yang paling utama dari ketiganya adalah shalat.

4. Tidak berbicara setelah zikir tersebut karena bercakap-cakap pada saat itu dapat melenyapkan kelembutan cahaya yang masuk di dalam hati dan dapat menjauhkan dari bangun malam.

 

Sayyid Bakri menambahkan, hal lain yang dapat memudahkan kita bangun malam untuk mengamalkan shalat tahajud adalah duduk berzikir atau shalat sunnah hingga mengantuk.

 

Demikian disebutkan oleh Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Kifayatul Atqiya, (Indonesia, Al-Haramain Jaya: tanpa tahun), halaman 102.

 

Selain persiapan lahiriah, Sayyid Bakri menyebutkan persiapan batin yang harus dipenuhi dalam memudahkan kita bangun malam untuk melakukan shalat tahajud, yaitu membersihkan batin dari kedengkian, akidah bid’ah, dan kelebihan dalam memikirkan hal duniawi.

 

Persiapan batin lainnya adalah melatih diri untuk menumbuhkan kecintaan kepada Allah, kesenangan pada khalwat, dan kenikmatan bermunajat. (Sayyid Bakri: 102). Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

Buya Syafii: Dokter Indonesia, Oh Nasibmu

Dokter Indonesia, Oh Nasibmu

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Menurut keterangan Dr Mahesa Pranadipa Maikel dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sampai 17 Juli 2021, jumlah dokter yang wafat karena Covid-19 sudah mencapai angka 545 orang. Bila ditambah dengan tenaga kesehatan lainnya angka itu menjadi sekitar dua kali lipat.

 

Sungguh ini semua sangat mengerikan. Sangat melukai. Kita semua berkabung. Mereka yang wafat itu terdiri dari dokter umum dan dokter spesialis. Untuk mencetak seorang dokter spesialis setelah tamat SMA, perlu waktu sampai 15 tahun.

 

Saya sudah lama menangis dalam hati mengingat nasib dokter ini, tetapi jumlah korbannya dari hari ke hari malah semakin bertambah juga. Padahal mereka sudah disuntik dan dilengkapi APD (alat pelindung diri), tetapi tembus juga diterjang virus ganas ini.

 

Krisis dokter

 

Sampai akhir tahun 2019, menurut Ketua Umum IDI Dr Daeng M Fakih, jumlah dokter yang terdaftar di IDI berada pada angka 168.000. Dokter umum 138.000, spesialis 30.000. Akibat pandemi, hanya dalam tempo sekitar 1,5 tahun sudah meninggal 545 dokter.

 

Sekalipun persentase yang meninggal itu tidak besar, tetapi jangan dianggap enteng. Dengan penduduk sekitar 272 juta jiwa sekarang ini, Indonesia masih sangat kekurangan tenaga dokter, apalagi yang spesialis. Di pulau-pulau kecil dan di kawasan terpencil lainnya, jangankan dokter spesialis, jumlah dokter umum saja masih jauh dari memadai.

 

Mungkin saja ada orang akan berkomentar, kita tidak perlu terlalu meratapi kematian para dokter dan tenaga kesehatan ini karena: “Sebagai garda terdepan mereka telah gugur bersama 60.000 rakyat yang dicintainya, sekalipun mereka tahu bahwa maut dapat sewaktu-waktu mengunjunginya. Mereka adalah patriot sejati yang berbuat mulia untuk kepentingan kemanusiaan.”

 

Ini adalah bahasa puisi, sedangkan mereka tidak memerlukan bahasa seperti itu.

 

Yang mereka perlukan adalah upaya maksimal agar korban kelompok ini ditiadakan. Setidak-tidaknya dikurangi secara drastis. Eman-eman nasib mereka ini yang sebagian besar tentu punya keluarga pula yang ditinggalkan.

 

Memang sebagai warisan yang baik dari Orde Baru, menurut sumber Kementerian Kesehatan, sampai tahun 2019 Indonesia telah memiliki puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) sebanyak 10.134, dan pada tahun 2018 sejumlah 3.623 unit telah dilengkapi dengan layanan rawat inap.

 

Hanya saja, puskesmas ini belum merata di seluruh Indonesia. Di Papua, misalnya, jumlah puskesmas ini tumbuh sangat lamban. Padahal puskesmas ini adalah ujung tombak terdepan yang dapat menjangkau rakyat yang jauh di pelosok. Di tengah serangan wabah Covid-19 ini, puskesmas adalah lembaga yang paling sibuk di samping rumah sakit untuk menangani korban yang terpapar.

 

Indonesia terdiri dari 34 provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 7.094 kecamatan, dan 74.957 desa. Dengan jumlah puskesmas 10.134, memang setiap kecamatan telah memiliki pusat layanan kesehatan itu.

 

Bahkan bisa jadi pada satu kecamatan tertentu ada lebih dari satu puskesmas, tergantung jumlah penduduk dan luasnya kawasan. Angka- angka di atas memperlihatkan bahwa di ranah kesehatan Indonesia tidak jelek amat, sekalipun belum ideal.

 

Sekiranya korupsi bisa dipangkas di negeri ini dan harta negara hasil garongan itu bisa dialokasikan lebih banyak untuk kepentingan masyarakat luas, maka kualitas kesehatan rakyat kecil di pelosok akan jauh lebih baik. Biadabnya, para koruptor itu nuraninya telah lama lumpuh, tidak punya kepekaan tentang masalah kesehatan rakyat ini.

 

Judul artikel ini adalah: “Dokter Indonesia, Oh, Nasibmu.” Dengan angka kematian yang semakin bertambah itu dan Covid-19 belum tahu kapan meninggalkan negeri ini, apakah kita akan menghadapi krisis dokter dalam dekat ini?

 

Menyakitkan

 

Semoga tidak demikian. Tetapi ada sesuatu yang menyakitkan hati di negeri ini. Berbagai perangai buruk tega dilakukan sebagian anak bangsa. Dalam suasana berkabung seperti ini, ada saja pihak yang menangguk di air keruh.

 

Mereka timbun oksigen dengan tujuan meraup laba, sementara rumah sakit dan mereka yang terpapar menjerit karena ketiadaan alat bantu pernapasan itu. Perbuatan busuk ini berulang terjadi.

 

Di sisi lain, memang ada perbuatan mulia yang sedikit meringankan perasaan. Kita menyaksikan Satgas Covid-19 telah berjuang tanpa lelah dalam mengurus dan menguburkan jenazah yang dilakukan dengan memakai pakaian APD khusus.

 

Hanya dalam tempo beberapa jam saja, jenazah korban pandemi telah berhasil dimakamkan. Pihak keluarga sungguh sangat diringankan. Salut buat para pejuang kemanusiaan ini! Tetapi pasukan Satgas ini kadang-kadang harus pula menghadapi sikap ganjil dari keluarga para korban Covid-19. Jenazah direbut dari tangan petugas untuk dimakamkan sendiri. Ini namanya perbuatan cinta dengan menghadang bahaya untuk terpapar.

 

Sudah puluhan ribu orang yang meninggal karena serangan pandemi ini, toh masih ada saja orang yang tidak percaya adanya virus berbahaya ini. Mereka sangkal berita gencar dari televisi, radio, dan sumber berita lainnya tentang seriusnya serangan wabah ini.

 

Akhirnya, selamat jalan para dokter dan tenaga kesehatan yang telah gugur dalam menjalankan tugas mulia, tetapi yang berimpit dengan bahaya maut ini. Negara ini belum sanggup berbuat maksimal untuk melindungi para sahabat semua. Semoga di alam sana, sahabat kami yang telah pergi ini mendapatkan tempat terhormat di sisi-Nya. Amin. []

 

KOMPAS, 27 Juli 2021

Ahmad Syafii Maarif | Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005

(Ngaji of the Day) Cara agar Mimpi Bertemu Nabi Muhammad

Selain menjadi dambaan setiap Muslim, mimpi bertemu Nabi Muhammad juga memiliki banyak faedah yang teramat agung. Berbagai faedah atau khususiyah bagi orang yang pernah mimpi bertemu Nabi secara ringkas disebutkan oleh Syekh Hasan Muhammad Syaddad:

 

من رأى المصطفى صلّى الله عليه وآله وسلّم في المنام فله حسن الخاتمة وشفاعته صلّى الله عليه وآله وسلّم وله الجنّة ويغفر الله له ولأبويه إن كانا مسلمين وكأنّما ختم القرآن اثني عشر مرة ويهون عليه سكرات الموت ويرفع عنه عذاب القبر ويؤمّنه من أهوال يوم القيامة ويقضى حوائجه فى الدنيا والآخرة بلطفه وكرمه

 

“Barang siapa telah melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tidurnya maka ia akan mati dalam keadaan husnul khatimah, mendapatkan syafaat Nabi Muhammad dan akan masuk surga. Allah juga akan mengampuni dosanya dan kedua orang tuanya jika memang orang tuanya adalah orang Muslim. Ia juga seakan-akan telah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 12 kali, ia akan mudah dalam menghadapi sakaratul maut, ia juga akan diangkat dari siksa kubur dan diberi jaminan aman dari hiruk-pikuk di Hari Kiamat serta akan dikabulkan hajat dunia maupun akhirat dengan sifat lembut dan dermawan-Nya” (Syekh Hasan Muhammad Syaddad, Kaifiyah al-Wushul li Ru’yati Sayyidina ar-Rasul, hal. 18).

 

Lantas bagaimana kiat-kiat yang harus dilakukan seorang muslim agar dalam tidurnya dapat menghadirkan Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?

 

Sebelumnya patut dipahami bahwa mimpi bertemu Nabi Muhammad adalah anugerah khusus yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang shalih. Mimpi ini tidak dikhususkan hanya pada orang yang ahli ibadah atau ahli ilmu, sebab merupakan sebuah anugerah.

 

Cukup banyak amaliyah khusus agar seseorang dapat bertemu Nabi Muhammad dalam mimpinya. Berbagai amaliyah tersebut bertebaran di berbagai kitab salaf, khususnya kitab yang menjelaskan tentang akhlak dan tasawuf. Misalnya seperti yang terdapat dalam kitab al-Mawaid fi Syatta al-Fawaid:

 

من أراد أن يرى النبي صلّى الله عليه وسلّم أو أحد من الموتى أو غير ذلك فليتوضأ وليلبث ثيابه ولينم على يمينه ويقرأ وهو مضطجع والشمس وضحاها والليل إذا يغشى والإخلاص سبعا سبعا ثمّ يقول (اللَّهُمَّ أَرِنِيْ فِى مَنَامِيْ كَذَا وَكَذَا وَاجْعَلْ لِيْ مِنْ أمْرِيْ فَرَجًا وَمَخْرَجًا وَأرِنِي فِي مَنَامِيْ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى اسْتِجَابَةِ دَعْوَتِيْ) يفعل ذلك سبع ليال متوالية فإن لم ير شيئا فليعلم أنه قد أساء فى أمره. مجرب صحيح. وقد أجازني فى قراءة هذه الفائدة -الحبيب عبد الله بن أبي بكر العطاس والحبيب شيخ بن محمد الحبشي.

 

“Barang siapa yang ingin bermimpi bertemu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang dari orang yang telah meninggal atau selainnya, maka berwudhulah dan pakailah baju lalu tidurlah dengan sisi kanan dan membaca Surat Asy-Syams, al-Lail, dan Al-Ikhlas masing-masing dibaca tujuh kali dalam keadaan tidur miring, lalu membaca doa berikut: “Allâhumma arinî fî manâmi (sebutkan nama orang yang ingin ditemui dalam mimpi) waj’al lî min amrî farajan wa makhrajan wa arinî fî manâmî ma istadalla bihi ‘alâ istijabati da’watî”

 

Amalan tersebut dilakukan selama tujuh malam secara kontinyu, jika orang yang mengamalkan tidak bermimpi hal yang ia inginkan, maka ketahuilah bahwa ada yang keliru dalam hidupnya. Amalan ini benar dan mujarab. Telah mengijazahkan padaku Habib Abdullah bin Abi Bakar al-‘Atthas dan Habib Syaikh bin Muhammad al-Habsyi” (Habib Abu Bakar bin Umar bin Abdullah, al-Mawaid fi Syatta al-Fawaid, hal. 24).

 

Banyak pula amalan-amalan lain terkait hal ini, misalnya seperti disebutkan dalam kitab Kaifiyah al-Wushul li Ru’yati Sayyidina ar-Rasul saja disebutkan sekitar 134 amaliyah berbeda-beda yang kesemuanya berfaedah menghadirkan Nabi Muhammad dalam mimpi seseorang tatkala tidur.

 

Namun dari berbagai macam amaliyah yang ada, menurut ulama kenamaan Hadramaut Yaman, Habib Umar bin Hafidz, sebab paling kuat mimpi bertemu Nabi Muhammad adalah kuatnya hubungan dan rasa cinta seseorang kepada Nabi. Dalam cuplikan videonya, beliau menjelaskan:

 

فإنّ أقوى أسباب رؤية رسول الله قوّة محبته وشدة التعلق به وكثرة الذكر له والصلاة عليه وإذا اقترنت هذه بخدمة دعوته وخدمة أمته كانت أقرب لكشف الحجب ولإمداد الله تعالى وإكرامه العبد برؤية خيرالوجود وزين الوجود وسيد أهل اهل الشهود وإمام أهل السجود صاحب المقام المحمود.

 

“Maka sesungguhnya sebab terkuat dapat bermimpi bertemu Rasulullah adalah kuatnya rasa cinta kepada Nabi, hubungan yang kuat dengan Nabi, banyak menyebut namanya dan melantunkan shalawat kepadanya. Dan jika hal ini beriringan dengan melayani dakwah beliau dan melayani umatnya maka hal itu akan lebih cepat menyingkap tabir dan mendatangkan madad (pertolongan) dari Allah serta Allah akan memuliakan hamba-Nya dengan melihat makhluk terbaik, hiasan para makhluk, pemimpin para makhluk, dan imam orang-orang yang sujud yang memiliki kedudukan terpuji” (Video Habib Umar bin Hafidz, sumber Channel Youtube serba-serbiTv, dipublikasi tanggal 23 Maret 2018)

 

Apa yang disampaikan beliau selaras dengan penjelasan Habib Zain bin Smith yang disebutkan dalam kitabnya, Fawaid al-Mukhtarah:

 

رؤية النبي صلّى الله عليه وسلّم موهبة من الله تعالى لا تنال بكثرة العبادة والعلم, فكم من العوام يتكرر له رؤيته صلّى الله عليه وسلّم وبعكسه العالم أو العابد. والغالب تكون رؤيته صلّى الله عليه وسلّم بقوة التعلّق والمحبة والشوق

 

“Mimpi melihat Nabi merupakan pemberian (anugerah) dari Allah, hal ini tidak dapat digapai dengan memperbanyak ibadah dan ilmu. Berapa banyak orang awam yang sering bermimpi bertemu Nabi Muhammad, sebaliknya orang alim dan ahli ibadah tidak pernah bermimpi Nabi. Secara umum mimpi bertemu Nabi Muhammad dengan perantara kuatnya hubungan dan rasa cinta dan rasa rindu kepada Baginda Nabi” (Habib Zain bin Smith, Fawaid al-Mukhtarah, hal. 594).

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agar seseorang dapat menghadirkan Rasulullah dalam tidurnya, cara yang paling utama adalah meningkatkan rasa cinta dan ketergantungan dengan Rasulullah serta banyak menyebut dan bershalawat kepadanya. Lalu ketika hal ini sudah tertanam secara kuat dalam diri seseorang, namun ia masih belum merasakan mimpi bertemu Nabi, maka dilanjutkan dengan mengamalkan berbagai amalan-amalan khusus yang berfaedah agar dapat mimpi bertemu Nabi Muhammad, termasuk amaliyah yang disebutkan dalam kitab al-Mawaid fi Syatta al-Fawaid di atas. Dan alangkah baiknya jika dalam mengamalkan sebuah amalan wirid yang berfaedah dapat mimpi bertemu Nabi, seseorang mendapatkan ijazah secara langsung dari ulama atau mursyid yang mengijazahkan amalan tersebut. Dengan begitu, ia dapat mengamalkan sebuah amalan dengan penuh kemantapan hati serta mendapat bimbingan langsung dari orang yang mengijazahkan amalan tersebut.

 

Semoga kita diberikan anugerah oleh Allah untuk dapat bermimpi bertemu Nabi Muhammad, sebagai wujud ketaatan dan rasa cinta kita kepada beliau. Amin yaa Rabbal ‘alamin. []

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Timur dan Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember.

Rabu, 25 Agustus 2021

(Do'a of the Day) 16 Muharram 1443H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Rabbana afrigh 'alaynaa shabran wa tawaffanaa muslimiina.

 

Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).

 

Juz 9, QS. Al A'raaf (7) ayat 126.

(Ngaji of the Day) Mau Ikut Asuransi? Tata Dulu Niat Anda!

Rasulullah shalla llahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Umar ibn Khattab radliyallahu ‘anhu:

 

إنَّما الأَعمالُ بالنِّيَّات، وإِنَّمَا لِكُلِّ امرئٍ مَا نَوَى، فمنْ كانَتْ هجْرَتُهُ إِلَى الله ورَسُولِهِ فهجرتُه إلى الله ورسُولِهِ، ومنْ كاَنْت هجْرَتُه لدُنْيَا يُصيبُها، أَو امرَأَةٍ يَنْكحُها فهْجْرَتُهُ إلى ما هَاجَر إليْهِ» )متَّفَقٌ عليه( ـ

 

Artinya: “Sesungguhnya amal itu harus dengan niat dan sesungguhnya seseorang tergantung apa yang diniatkannya. Barang siapa hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya karena dunia yang bisa didapatinya, atau perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang menjadi tempat tujuannya.” (HR. Bukhari-Muslim)

 

Sempurnanya amal seorang hamba adalah bergantung pada derajat bagusnya niat. Hijrah pada jaman Baginda Rasulullah adalah sebuah perjuangan menuju kepada kejayaan Islam. Seluhur-luhurnya pelaksanaan hijrah karena diperintahkan oleh Rasulullah, namun karena niatnya salah, maka para sahabat bisa berbelok menjadi karena niat keduniaan. Niat keduniaan inilah yang tidak dikehendaki oleh Rasulullah. Maka dari itu beliau menyabdakan dengan didahului lafadh innamâ, yang menunjukkan faedah li al-hashr, yaitu membatasi. Sehingga, seolah beliau hendak menegaskan bahwa sesungguhnya sempurnanya amal adalah tergantung kepada niatnya.

 

Fokus pada niat, maka asuransi dengan niatan awal sebagai upaya mensistemkan tolong-menolong antar-sesama anggota yang menjadi peserta asuransi, dapat berbelok arah menjadi niat keduniaan. Seluruhnya adalah bergantung kepada peserta saat pertama kali memutuskan ikut serta dalam asuransi. Maka dari itu, tak heran bila kemudian ada pernyataan dari sejumlah pihak, seperti berikut:

 

“Seakan-akan masa depan seseorang selalu suram. Akan terjadi kecelakaan, rumah tidak aman dan bisa saja terbakar atau terjadi pencurian, perusahaan pun tidak bisa dijamin berjalan terus, pendidikan anak bisa jadi tiba-tiba membutuhkan biaya besar di tahun-tahun mendatang. Itulah gambaran yang digembosi pihak asuransi. Yang digambarkan adalah masa depan yang selalu suram. Tidak ada rasa tawakal dan tidak percaya akan janji Allah yang akan selalu memberi pertolongan dan kemudahan.”

 

Pernyataan seperti ini sering kita temui. Maka tidak heran pula, jika di kemudian hari muncul pandangan hukum, seperti: “Ada unsur judi (maysîr) dan menipu (gharar) disebabkan ketidakjelasan produk dalam asuransi.” Bisa jadi, hal semacam ini juga muncul di benak pembaca. Penulis sarankan, jika benar hal ini terjadi, maka lakukanlah untuk bermuhasabah (introspeksi) terhadap niat Anda ketika membidik produk asuransi! Anda telah salah dalam niat.

 

Jika kita telusuri lebih jauh, titik tolak munculnya pandangan maisîr (unsur judi) pada asuransi ini pada dasarnya diawali dari kekeliruan pada saat menilai bahwa nasib baik dan buruk di masa yang akan datang adalah tidak pasti. Dengan ikut asuransi, maka seolah peserta sedang membidik kemungkinan nasib buruk itu menimpanya. Misalnya, seorang peserta ikut asuransi kendaraan. Maka menurut pihak yang memandang adanya unsur judi dalam asuransi ini adalah bahwa peserta seolah memilih “sisi kecelakaan di masa yang akan datang,” sehingga ia butuh dana untuk perbaikan atau keamanan kendaraan. Jika ternyata di masa mendatang, tidak terjadi kecelakaan, maka ia dipandang lose (kalah), karena uang premi yang dibayarkannya secara rutin tidak dapat kembali. Sementara itu, jika benar-benar terjadi kecelakaan, maka ia gain (beruntung), karena ia mendapatkan kembalian yang lebih besar dari total premi yang dibayarkan. Posisi antara gain dan lose inilah, letak unsur judi itu disematkan pada asuransi sehingga oleh mereka dipandang sebagai haram.

 

Lantas di mana letak unsur menipunya (gharar)? Masih menurut mereka, ketidakpastian besaran uang santunan yang diberikan kepada anggota yang menjadi korban kecelakaan, adalah masuk unsur gharar. Harusnya, uang yang diberikan adalah sebesar total premi yang dibayarkan setiap bulannya.

 

Menurut Anda, berdasar dua uraian maisir dan gharar ini, di mana letak kesalahannya? Iya tepat. Letak kesalahannya adalah pada kacamata yang digunakan untuk memandang. Kebanyakan mereka yang terjebak pada tuduhan maisir dan gharar pada semua lembaga asuransi ini adalah beranggapan bahwa:

 

1. Mereka menyamakan asuransi dengan menabung. Padahal jelas berbeda antara asuransi dan menabung. Asuransi dibangun dengan basis tolong-menolong, sementara menabung dibangun dengan basis menitipkan harta. Sudah pasti perlakuan terhadap member dari kedua produk ini akan berbeda.

 

2. Kesalahan dalam memahami dasar didirikannya asuransi ini menjadikan salah dalam niatan ikut serta menjadi member di dalamnya. Ikut asuransi dengan niat judi, atau ikut asuransi dengan niat menitipkan harta. Ya jelas salah kalau seperti ini. Orang yang ikut asuransi dengan niat menitipkan harta akan berasumsi bahwa dia akan mendapatkan hartanya kembali saat kecelakaan terjadi. Sementara itu orang yang ikut asuransi dengan niat judi akan merasa merugi saat premi yang dibayarkannya secara rutin tidak bisa kembali.

 

3. Kesalahan berikutnya adalah memandang bahwa dalam asuransi terdapa praktik riba. Membayar premi selama 10 bulan dengan besar kewajiban 70 ribu rupiah, lalu mendapatkan santunan kecelakaan sebesar 10 juta rupiah. Padahal akumulasi premi seharusnya masih berkisar 700 ribu rupiah. Selisih antara 10 juta dengan 700 ribu dianggap sebagai riba.

 

Pemahaman ini tak ubahnya juga berangkat dari hal yang sama yakni menabung lalu dapat bunga sehingga uangnya bertambah. Tambahan ini dianggap sebagai riba. Sekali lagi bahwa memaknai dengan tepat “apa itu asuransi?” sangat berguna sekali dalam membantu terbitnya kesadaran dan niat yang baik sebagai member asuransi. Jadi, sebagai solusi terakhir bagi pembaca adalah: “perbaiki niat Anda ketika hendak ikut asuransi! Ingat bahwa Anda tidak sedang menabung! Jadi, jangan heran manakala santunan yang diberikan kepada Anda—saat Anda mengalami hal yang tidak diinginkan —santunan itu lebih besar atau bahkan lebih kecil dari total premi yang pernah Anda bayarkan! Saat Anda memilih produk asuransi, maka di saat itulah Anda sebenarnya sedang terjalin dalam sistem saling tolong-menolong dan gotong royong dalam menanggung beban sesama anggota peserta asuransi. Anda tidak sedang bertaruh. Anda juga tidak sedang menabung. Ini adalah kunci utama pemahaman. Dengan begitu, Anda akan terjauhkan dari asumsi gagal faham memandang asuransi sebagai maisir, qimar, gharar dan riba. Wallâhu a’lam biish shawâb. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBMNU PWNU Jawa Timur

Selasa, 24 Agustus 2021

(Do'a of the Day) 14 Muharram 1443H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Rabbanaa laataj’alnaa ma’al qaumidhdhaalimiina.

 

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang yang lalim itu.

 

Juz 8, QS. Al A'raaf (7) ayat 47.

(Ngaji of the Day) Pencegahan Covid-19 dan Prinsip Hifzhun Nufus

Upaya pencegahan Covid-19 dilakukan melalui pembatasan sosial dengan menjauhi kerumunan, menjaga jarak fisik, penggunaan masker, cuci tangan menggunakan cairan pembersih tangan pada air mengalir, dan membatasi mobilitas serta interaksi. Upaya pencegahan Covid-19 sejalan dengan prinsip hifzhun nufus atau hifzhun nafs (salah satu dharuriyyatul khams).

 

Salah satu dari lima prinsip yang mesti dilindungi dalam syariat Islam adalah jaminan atas keselamatan nyawa manusia. Imam Al-Haramain Al-Juwaini (419-478 H/1028-1085 M) adalah ulama pertama (menurut Muhammad Musthafa As-Syalabi) yang merumuskan lima prinsip tersebut dalam karyanya Al-Burhan fi Ushulil Fiqhi.

 

هذا الذي ذكره هؤلاء أصول الشريعة ونحن نقسمها خمسة أقسام أحدها ما يعقل معناه وهو أصل ويئول المعنى المعقول منه إلى أمر ضروري لا بد منه مع تقرير غاية الإيالة الكلية والسياسية العامية وهذا بمنزلة قضاء الشرع بوجوب القصاص في أوانه فهو معلل بتحقق العصمة في الدماء المحقونة والزجر عن التهجم عليها

 

Artinya, “Apa yang disebutkan para ulama adalah ushulus syariah atau prinsip pokok syariat. Kami membaginya menjadi lima. Pertama, prinsip yang maknanya dapat dinalar dan ini pokok. Prinsip yang ternalar berpulang kepada masalah mendasar (amrin dharuriyyin) yang tidak dapat tidak bersamaan dengan penetapan tujuan universal dan kebijaksanaan umum. Ini–seperti kedudukan putusan syariat atas kewajiban qishash pada waktunya–dapat dijadikan illat atau dasar hukum untuk mewujudkan kepastian keselamatan jiwa yang wajib dilindungi dan mewujudkan larangan atas ancaman keselamatan jiwa tersebut…” (Lihat Imam Al-Haramain Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushulil Fiqh, [Kairo, Darul Ansor: tanpa tahun], juz II, halaman 923).

 

Imam Al-Haramain menerjemahkan jaminan atas keselamatan jiwa seseorang dalam bentuk penegakan hukum qishash atas kejahatan pembunuhan dan penganiayaan atas fisik seseorang. Bentuk qishash sebagai pendekatan represif-kuratif hukum merupakan upaya preventif atau pencegahan atas bahaya yang mengancam jiwa manusia.

 

Pemberlakuan qishash sebagai perwujudan konsep hifzhun nafs ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ulama ushul fiqih lintas mazhab termasuk lingkaran mazhab Syafi’i sepeninggal Imam Al-Haramain yang dapat kita baca dari karya ushul fiqih mereka.

 

Pendekatan represif-kuratif-preventif hukum diduga kuat oleh para ulama sebagai cara efektif dan cocok dalam pengendalian sosial, yakni pencegahan atas kejahatan pembunuhan karena orang akan berpikir dua kali untuk membunuh dengan melihat sanksi setimpal.

 

Pemberlakuan qishash bisa jadi memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban, tetapi penerapan qishash juga tidak dapat mengembalikan nyawa korban pembunuhan. Demikian terjemahan konsep hifzhun nufus atau nafs dalam bidang hukum.

 

Adapun Muhammad At-Thahir bin Asyur (1892-1973 M/1310-1393 H) dari mazhab Maliki menerjemahkan prinsip hifzhun nafs dalam bidang kesehatan. Bin Asyur memberikan manifestasi prinsip hifzhun nafs pada dimensi preventif kesehatan sebagai upaya penyelamatan jiwa manusia.

 

Ia tidak menafikan dimensi represif-kuratif pada bidang hukum. Tetapi ia mengingatkan bahwa pendekatan pengendalian sosial melalui represif-kuratif berada pada level terakhir dari konsep hifzhun nafs itu sendiri.

 

ومعنى حفظِ النفوسِ حفظُ الأرواحِ من التلَفِ أفرادًا وعمومًا لأن العالمَ مركَّبٌ من أفرادِ الإنسانِ، وفي كلِّ نفسٍ خصائصُها التي بها بعضُ قوامِ العالمِ. وليس المرادُ حفظَها بالقصاصِ كما مثَّل بها الفقهاءُ، بل نجدُ القصاصَ هو أضعفُ أنواعِ حفظِ النفوسِ لأنه تدارُكٌ بعدَ الفواتِ، بل الحفظُ أهمُّه حفظُها عن التلفِ قبلَ وقوعِه مثلَ مقاومةِ الأمراضِ الساريةِ. وقد منعَ عمرُ بنُ الخطابِ الجيشَ من دخولِ الشامِ لأجلِ طاعونِ عَمَواس

 

Artinya, “Makna hifzhun nufus (menjaga jiwa) adalah menjamin keselamatan nyawa dari kemusnahan baik secara individual maupun kolektif karena dunia ini terdiri atas kumpulan individu. Setiap jiwa memiliki keistimewaan sebagai bagian dari komposisi tegaknya dunia. Hifzhun nafs atau hifzhun nufus yang dimaksud di sini berbeda dengan penerapan qishash yang sering dicontohkan para fuqaha. Menurut kami, penerapan qishah adalah jenis terendah manifestasi konsep hifzhun nafs karena penindakan qishash dilakukan setelah nyawa melayang. Konsep hifzhun nafs yang paling urgen adalah upaya penjaminan keselamatan jiwa dari ancaman kepunahan, seperti melawan penyakit menular atau epidemi. Sayyidina Umar pernah menahan pasukan untuk masuk ke negeri Syam karena Tha‘un Amawas,” (Lihat Thahir bin Asyur, Maqashidus Syariah Al-Islamiyyah, [Kairo-Tunis, Darus Salam-Daru Suhnun: 2014 M/1435 H], halaman 89).

 

Menurut Bin Asyur, jaminan atas keselamatan jiwa dalam konsep hifzhun nafs juga harus mencakup upaya pencegahan atas penyebaran virus mematikan yang mengancam nyawa manusia dan upaya penanggulangannya.

 

Sebagaimana kita tahu, pemerintah melakukan berbagai upaya pencegahan Covid-19, yaitu penerapan prokes, 5M Covid-19 (memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi), pembatasan sosial berskala besar (PSBB), lockdown, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), dan upaya lainnya.

 

Semua upaya itu dilakukan dalam rangka memberikan jaminan atas keselamatan jiwa atau upaya penyelamatan jiwa yang tercakup dalam konsep hifzhun nufus atau hifzhun nafs. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

(Ngaji of the Day) Perang Dagang di Era Nabi Muhammad (Bagian II-Habis)

Perang ekonomi yang dijalankan kaum Muslim juga menyasar kaum Yahudi. Ketika itu, kaum Yahudi menguasai sektor bisnis dan industri di Madinah. Sebagai penguasa ekonomi di Madinah, kaum Yahudi tidak segan-segan menjebak masyarakat dengan utang yang berbunga tinggi. Di samping itu, kaum Yahudi juga selalu memantik api perselisihan antara Suku Aus dan Suku Khazraj.

 

Maka ketika tiba di Madinah, Nabi Muhammad kemudian mendirikan pasar. Beliau mengajari tata krama di pasar, mendorong para sahabatnya untuk berbisnis, dan mencari rezeki yang halal. Mengetahui hal itu, kaum Yahudi Madinah gusar. Terlebih, kaum Muslim berhasil menumbangkan perekonomian kaum Yahudi di Kota Madinah.

 

Kaum Yahudi semakin tidak terima. Mereka menilai, Nabi Muhammad dan kaum Muslim telah menghancurkan bisnis yang selama ini mereka geluti. Dari perang ekonomi tersebut, maka terjadi lah perang-perang terbuka antara kaum Muslim dan kaum Yahudi Madinah. Baik dalam perang ekonomi maupun perang terbuka, kaum Yahudi selalu terpuruk dan tidak pernah merasakan manisnya kemenangan.

 

Terkait dengan perang ekonomi, ada sebuah kisah menarik tentang bagaimana Nabi Muhammad merespons kekejaman dan perlakuan jahat kaum musyrik Makkah dengan kasih sayang. Dikisahkan, suatu ketika pemimpin Bani Hanifah, Tsumamah bin Utsal, dicaci maki dan dinista oleh kaum Quraisy Makkah setelah ia memeluk Islam.

 

Tidak terima diperlakukan seperti itu, Tsumamah–yang ketika itu hendak menjalankan umrah ke Makkah–kemudian mencegat pengiriman gandum Yamamah ke Makkah. Hal itu membuat kaum Quraisy Makkah menderita. Mereka tidak memiliki persediaan bahan makanan untuk dimakan. Mereka kemudian memakan ilhis (makanan yang terbuat dari campuran darah dan bulu unta, atau tumbuhan semacam papirus) untuk sekadar bertahan hidup. Lama-lama, kaum musyrik Makkah tidak tahan dengan kondisinya dan menulis surat kepada Nabi Muhammad SAW.

 

“Kau menyerukan silaturahmi, tapi kau sendiri yang memutus sendiri silaturahmi dengan kami. Kau telah membunuh ayah-ayah kami dengan pedang dan anak-anak kami dengan kelaparan,” demikian bunyi surat kaum musyrik Makkah kepada Nabi Muhammad, seperti tertera dalam buku Perang Muhammad SAW, Kisah Perjuangan dan Pertempuran Rasulullah (Nizar Abazhah, 2014).

 

Setelah menerima surat itu, Nabi Muhammad SAW langsung mengirim surat kepada Tsumamah agar tidak lagi mengganggu pengiriman bahan makanan ke Makkah. Tsumamah mematuhi perintah Nabi dan tidak lama kemudian turunlah wahyu Surat Al-Mukminun ayat 76: “Dan sungguh Kami telah menimpakan siksaan kepada mereka, tetapi mereka tidak mau tunduk kepada Tuhannya, dan (juga) tidak merendahkan diri.”

 

Begitu pun ketika Nabi Muhammad tiba di Makkah dalam Fathu Makkah. Rasulullah SAW memberikan kurma ajwa kepada Abu Sufyan, salah satu elit kaum musyrik Makkah yang memusuhinya–sebelum ia masuk Islam. Beliau juga membagi-bagikan 500 dinar kepada fakir miskin Makkah.

 

Demikian sikap agung Nabi Muhammad. Beliau tetap lembut dan penuh kasih sayang kepada musuh-musuhnya, baik dalam perang ekonomi maupun perang fisik terbuka. Tentu saja, Nabi Muhammad sangat bisa kalau seandainya ingin balas dendam kepada kaum musyrik Makkah, mengingat dirinya dan keluarganya pernah diboikot dan diblokade ekonominya selama tiga tahun. Namun, Nabi memilih untuk tidak melakukannya. Rasulullah SAW malah membalas mereka yang pernah menyakitinya dengan kebaikan dan penghormatan. []

 

(Muchlishon Rochmat)