Dokter Indonesia, Oh Nasibmu
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Menurut keterangan Dr Mahesa Pranadipa Maikel dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sampai 17 Juli 2021, jumlah dokter yang wafat karena Covid-19 sudah mencapai angka 545 orang. Bila ditambah dengan tenaga kesehatan lainnya angka itu menjadi sekitar dua kali lipat.
Sungguh ini semua sangat mengerikan. Sangat melukai. Kita semua berkabung. Mereka yang wafat itu terdiri dari dokter umum dan dokter spesialis. Untuk mencetak seorang dokter spesialis setelah tamat SMA, perlu waktu sampai 15 tahun.
Saya sudah lama menangis dalam hati mengingat nasib dokter ini, tetapi jumlah korbannya dari hari ke hari malah semakin bertambah juga. Padahal mereka sudah disuntik dan dilengkapi APD (alat pelindung diri), tetapi tembus juga diterjang virus ganas ini.
Krisis dokter
Sampai akhir tahun 2019, menurut Ketua Umum IDI Dr Daeng M Fakih, jumlah dokter yang terdaftar di IDI berada pada angka 168.000. Dokter umum 138.000, spesialis 30.000. Akibat pandemi, hanya dalam tempo sekitar 1,5 tahun sudah meninggal 545 dokter.
Sekalipun persentase yang meninggal itu tidak besar, tetapi jangan dianggap enteng. Dengan penduduk sekitar 272 juta jiwa sekarang ini, Indonesia masih sangat kekurangan tenaga dokter, apalagi yang spesialis. Di pulau-pulau kecil dan di kawasan terpencil lainnya, jangankan dokter spesialis, jumlah dokter umum saja masih jauh dari memadai.
Mungkin saja ada orang akan berkomentar, kita tidak perlu terlalu meratapi kematian para dokter dan tenaga kesehatan ini karena: “Sebagai garda terdepan mereka telah gugur bersama 60.000 rakyat yang dicintainya, sekalipun mereka tahu bahwa maut dapat sewaktu-waktu mengunjunginya. Mereka adalah patriot sejati yang berbuat mulia untuk kepentingan kemanusiaan.”
Ini adalah bahasa puisi, sedangkan mereka tidak memerlukan bahasa seperti itu.
Yang mereka perlukan adalah upaya maksimal agar korban kelompok ini ditiadakan. Setidak-tidaknya dikurangi secara drastis. Eman-eman nasib mereka ini yang sebagian besar tentu punya keluarga pula yang ditinggalkan.
Memang sebagai warisan yang baik dari Orde Baru, menurut sumber Kementerian Kesehatan, sampai tahun 2019 Indonesia telah memiliki puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) sebanyak 10.134, dan pada tahun 2018 sejumlah 3.623 unit telah dilengkapi dengan layanan rawat inap.
Hanya saja, puskesmas ini belum merata di seluruh Indonesia. Di Papua, misalnya, jumlah puskesmas ini tumbuh sangat lamban. Padahal puskesmas ini adalah ujung tombak terdepan yang dapat menjangkau rakyat yang jauh di pelosok. Di tengah serangan wabah Covid-19 ini, puskesmas adalah lembaga yang paling sibuk di samping rumah sakit untuk menangani korban yang terpapar.
Indonesia terdiri dari 34 provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 7.094 kecamatan, dan 74.957 desa. Dengan jumlah puskesmas 10.134, memang setiap kecamatan telah memiliki pusat layanan kesehatan itu.
Bahkan bisa jadi pada satu kecamatan tertentu ada lebih dari satu puskesmas, tergantung jumlah penduduk dan luasnya kawasan. Angka- angka di atas memperlihatkan bahwa di ranah kesehatan Indonesia tidak jelek amat, sekalipun belum ideal.
Sekiranya korupsi bisa dipangkas di negeri ini dan harta negara hasil garongan itu bisa dialokasikan lebih banyak untuk kepentingan masyarakat luas, maka kualitas kesehatan rakyat kecil di pelosok akan jauh lebih baik. Biadabnya, para koruptor itu nuraninya telah lama lumpuh, tidak punya kepekaan tentang masalah kesehatan rakyat ini.
Judul artikel ini adalah: “Dokter Indonesia, Oh, Nasibmu.” Dengan angka kematian yang semakin bertambah itu dan Covid-19 belum tahu kapan meninggalkan negeri ini, apakah kita akan menghadapi krisis dokter dalam dekat ini?
Menyakitkan
Semoga tidak demikian. Tetapi ada sesuatu yang menyakitkan hati di negeri ini. Berbagai perangai buruk tega dilakukan sebagian anak bangsa. Dalam suasana berkabung seperti ini, ada saja pihak yang menangguk di air keruh.
Mereka timbun oksigen dengan tujuan meraup laba, sementara rumah sakit dan mereka yang terpapar menjerit karena ketiadaan alat bantu pernapasan itu. Perbuatan busuk ini berulang terjadi.
Di sisi lain, memang ada perbuatan mulia yang sedikit meringankan perasaan. Kita menyaksikan Satgas Covid-19 telah berjuang tanpa lelah dalam mengurus dan menguburkan jenazah yang dilakukan dengan memakai pakaian APD khusus.
Hanya dalam tempo beberapa jam saja, jenazah korban pandemi telah berhasil dimakamkan. Pihak keluarga sungguh sangat diringankan. Salut buat para pejuang kemanusiaan ini! Tetapi pasukan Satgas ini kadang-kadang harus pula menghadapi sikap ganjil dari keluarga para korban Covid-19. Jenazah direbut dari tangan petugas untuk dimakamkan sendiri. Ini namanya perbuatan cinta dengan menghadang bahaya untuk terpapar.
Sudah puluhan ribu orang yang meninggal karena serangan pandemi ini, toh masih ada saja orang yang tidak percaya adanya virus berbahaya ini. Mereka sangkal berita gencar dari televisi, radio, dan sumber berita lainnya tentang seriusnya serangan wabah ini.
Akhirnya, selamat jalan para dokter dan tenaga kesehatan yang telah gugur dalam menjalankan tugas mulia, tetapi yang berimpit dengan bahaya maut ini. Negara ini belum sanggup berbuat maksimal untuk melindungi para sahabat semua. Semoga di alam sana, sahabat kami yang telah pergi ini mendapatkan tempat terhormat di sisi-Nya. Amin. []
KOMPAS, 27 Juli 2021
Ahmad Syafii Maarif | Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar