Pada rentang tahun 1824-1859, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melakukan pengetatan pemberangkatan haji kepada umat Islam di Nusantara. Kolonial menilai bahwa haji menjadi ancaman eksistensi kolonial di Indonesia. Makna politis ibadah haji baru dirasakan secara serius tatkala negara Hindia Belanda berdiri sebagai penerus kekuasaan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menganggap, seseorang yang pulang dari ibadah haji mempunyai potensi menggerakkan rakyat untuk melakukan pemberontakan terhadap kolonial. Segala upaya dilakukan oleh Hindia Belanda, dari mulai pengetatan pemberangkatan dan aturan-aturan lain setelah pulang dari tanah suci. Kekhawatiran pemerintah kolonial tercermin dalam Ordonansi Haji tahun 1825, berisi pembatasan dan pengetatan jumlah haji yang berangkat.
Salah satu cara untuk merealisasikannya adalah menaikkan biaya haji. Beberapa dekade kemudian, pada tahun 1859, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonansi baru menyangkut urusan haji. Meski lebih longgar dari aturan sebelumnya, di sana-sini masih ada berbagai pengetatan. Yang paling menonjol dari ordonansi baru ini adalah pemberlakuan semacam “ujian haji” bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci.
Mereka harus membuktikan benar-benar telah mengunjungi Makkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, ia berhak menyandang gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji (jubah, serban putih, atau kopiah putih). Dari sinilah sebenarnya dimulai penyematan gelar haji, juga atribut fisik yang melekat pada orang-orang yang sudah menunaikan rukun Islam kelima, kepada penduduk pribumi.
Tujuan utamanya untuk mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap para haji. Pemerintah kolonial tak mau repot-repot mengawasi satu per satu haji di daerah-daerah. Jika ada pemberontakan berdasarkan agama meletus, pemerintah tinggal mencomot haji-haji di daerah tersebut.
Namun, menurut catatan M. Dien Madjid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008), latar belakang lahir ordonansi ini karena banyak penyalahgunaan gelar haji dan sebagian jamaah pasca-menunaikan ibadah haji tidak kembali tanah air. Menurut pemerintah kolonial, hal itu mengakibatkan masalah sosial ekonomi di masyarakat bagi keluarga yang ditinggalkan. Tetapi Ahli Islam dari Belanda, Snouck Hurgrounje justru meragukan kesungguhan dan ketetapan (ordonansi) pemerintah kolonial atas pengamatan di lapangan itu.
Pandangan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memang sama sekali berubah ketika Snouck Hurgrounje datang sebagai penasihat. Sebagai sosok yang mendalami Islam politik, pada 1899, Snouck ditunjuk mengepalai Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor untuk Urusan Pribumi), lembaga yang tugas utamanya memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal. Sebagian besar perhatiannya tertuju pada persoalan Islam politik di Hindia Belanda.
Nasihat Snouck tentang Islam politik banyak menganulir kebijakan pemerintah kolonial terdahulu. Jika sebelumnya pemerintah menganggap “Islam” sebagai satu wajah yang menaungi segalanya (baik politik, ritual, spiritual, dan kultural), Snouck menyarankan agar ada pemisahan. Pemerintah kolonial, menurut nasihatnya, perlu memperhatikan tiga bidang terpisah dalam mengambil kebijakan soal Islam: yang murni agama, yang bersifat politik, dan hukum Islam (syariat).
Karena ketiganya berbeda, bagi Snouck, perlu juga pemerintah kolonial menghadapinya dengan pendekatan berlainan. Demikian pula dalam urusan haji. Bagi Snouck, jamaah haji hanya perlu dicamkan melalui sudut pandang statistik, bukan politik.
Para jemaah haji yang “politis” bukan mereka yang sekadar pergi haji kemudian pulang, melainkan orang-orang yang menetap lama di sana. Dan sebagian besar jamaah haji Hindia Belanda bukanlah orang-orang yang menetap lama. Karena itu, ia menganjurkan, kebijakan haji harus berdasarkan kebebasan penuh, tidak perlu mencemaskan bahaya politik yang ditimbulkan oleh jamaah haji.
Setidaknya ada dua Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada awal abad 19 yang mulai menyadari bahaya politik dari para haji, yaitu Herman Willem Daendels dan Thomas Stamford Raffles.
Beberapa tahun sebelum Snouck Hurgrounje datang sebagai penasihat, secara resmi Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi Haji pada tahun 1859 yang diundangkan dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie pada 6 Juli 1859 Nomor 42. Undang-Undang tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan Cina. Maklumat tersebut bertujuan untuk mempertegas peraturan-peraturan yang diterbitkan sebelumnya, namun nyatanya pelaksanaannya belum optimal.
Ketidakoptimalan peraturan tersebut bisa dilihat dari tingginya keinginan umat Islam di Nusantara untuk pergi naik haji. Setiap tahun, jumlah calon jamaah haji semakin bertambah. Misalnya pada 1850, umat Islam di Nusantara yang pergi haji hanya berjumlah 74 orang.
Lima tahun kemudian, yaitu pada 1855 jumlah jamaah haji meningkat menjadi 1.668 orang. Dari jumlah tersebut, 860 orang memilih bermukim di Makkah. Lalu pada tahun 1893, masyarakat Muslim di Nusantara yang pergi haji berjumlah 5.193 orang, sementara yang kembali ke tanah air hanya 1.984 orang. (M. Dien Madjid, 2008: 95)
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada jamaah haji yang terlantar di berbagai tempat sepanjang rute perjalanan haji akibat kekurangan makanan bahkan tidak memiliki uang. Di antaranya tidak meneruskan perjalanan ke Makkah. Ada juga yang hanya sampai di Singapura saja lalu kembali ke kampung halaman. Ada istilah khusus bagi jamaah haji yang hanya sampai di Singapura dengan menyandang gelar “Haji Singapura”. (M. Dien Madjid, 2008: 96)
Keterlantaran jamaah haji tersebut lantaran perilaku orang-orang tertentu yang hanya berusaha mengeruk keuntungan, menjanjikan akan mengurus kelanjutan perjalanan tetapi sebaliknya, uang mereka diperas hingga tidak bisa meneruskan perjalanan. Ironisnya, para jamaah juga sudah ‘membeli’ surat keterangan di Singapura sebagai bukti bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan ibadah haji di Makkah. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar