Rasulullah shalla llahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Umar ibn Khattab radliyallahu ‘anhu:
إنَّما الأَعمالُ بالنِّيَّات، وإِنَّمَا لِكُلِّ امرئٍ مَا نَوَى، فمنْ كانَتْ هجْرَتُهُ إِلَى الله ورَسُولِهِ فهجرتُه إلى الله ورسُولِهِ، ومنْ كاَنْت هجْرَتُه لدُنْيَا يُصيبُها، أَو امرَأَةٍ يَنْكحُها فهْجْرَتُهُ إلى ما هَاجَر إليْهِ» )متَّفَقٌ عليه( ـ
Artinya: “Sesungguhnya amal itu harus dengan niat dan sesungguhnya seseorang tergantung apa yang diniatkannya. Barang siapa hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya karena dunia yang bisa didapatinya, atau perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang menjadi tempat tujuannya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Sempurnanya amal seorang hamba adalah bergantung pada derajat bagusnya niat. Hijrah pada jaman Baginda Rasulullah adalah sebuah perjuangan menuju kepada kejayaan Islam. Seluhur-luhurnya pelaksanaan hijrah karena diperintahkan oleh Rasulullah, namun karena niatnya salah, maka para sahabat bisa berbelok menjadi karena niat keduniaan. Niat keduniaan inilah yang tidak dikehendaki oleh Rasulullah. Maka dari itu beliau menyabdakan dengan didahului lafadh innamâ, yang menunjukkan faedah li al-hashr, yaitu membatasi. Sehingga, seolah beliau hendak menegaskan bahwa sesungguhnya sempurnanya amal adalah tergantung kepada niatnya.
Fokus pada niat, maka asuransi dengan niatan awal sebagai upaya mensistemkan tolong-menolong antar-sesama anggota yang menjadi peserta asuransi, dapat berbelok arah menjadi niat keduniaan. Seluruhnya adalah bergantung kepada peserta saat pertama kali memutuskan ikut serta dalam asuransi. Maka dari itu, tak heran bila kemudian ada pernyataan dari sejumlah pihak, seperti berikut:
“Seakan-akan masa depan seseorang selalu suram. Akan terjadi kecelakaan, rumah tidak aman dan bisa saja terbakar atau terjadi pencurian, perusahaan pun tidak bisa dijamin berjalan terus, pendidikan anak bisa jadi tiba-tiba membutuhkan biaya besar di tahun-tahun mendatang. Itulah gambaran yang digembosi pihak asuransi. Yang digambarkan adalah masa depan yang selalu suram. Tidak ada rasa tawakal dan tidak percaya akan janji Allah yang akan selalu memberi pertolongan dan kemudahan.”
Pernyataan seperti ini sering kita temui. Maka tidak heran pula, jika di kemudian hari muncul pandangan hukum, seperti: “Ada unsur judi (maysîr) dan menipu (gharar) disebabkan ketidakjelasan produk dalam asuransi.” Bisa jadi, hal semacam ini juga muncul di benak pembaca. Penulis sarankan, jika benar hal ini terjadi, maka lakukanlah untuk bermuhasabah (introspeksi) terhadap niat Anda ketika membidik produk asuransi! Anda telah salah dalam niat.
Jika kita telusuri lebih jauh, titik tolak munculnya pandangan maisîr (unsur judi) pada asuransi ini pada dasarnya diawali dari kekeliruan pada saat menilai bahwa nasib baik dan buruk di masa yang akan datang adalah tidak pasti. Dengan ikut asuransi, maka seolah peserta sedang membidik kemungkinan nasib buruk itu menimpanya. Misalnya, seorang peserta ikut asuransi kendaraan. Maka menurut pihak yang memandang adanya unsur judi dalam asuransi ini adalah bahwa peserta seolah memilih “sisi kecelakaan di masa yang akan datang,” sehingga ia butuh dana untuk perbaikan atau keamanan kendaraan. Jika ternyata di masa mendatang, tidak terjadi kecelakaan, maka ia dipandang lose (kalah), karena uang premi yang dibayarkannya secara rutin tidak dapat kembali. Sementara itu, jika benar-benar terjadi kecelakaan, maka ia gain (beruntung), karena ia mendapatkan kembalian yang lebih besar dari total premi yang dibayarkan. Posisi antara gain dan lose inilah, letak unsur judi itu disematkan pada asuransi sehingga oleh mereka dipandang sebagai haram.
Lantas di mana letak unsur menipunya (gharar)? Masih menurut mereka, ketidakpastian besaran uang santunan yang diberikan kepada anggota yang menjadi korban kecelakaan, adalah masuk unsur gharar. Harusnya, uang yang diberikan adalah sebesar total premi yang dibayarkan setiap bulannya.
Menurut Anda, berdasar dua uraian maisir dan gharar ini, di mana letak kesalahannya? Iya tepat. Letak kesalahannya adalah pada kacamata yang digunakan untuk memandang. Kebanyakan mereka yang terjebak pada tuduhan maisir dan gharar pada semua lembaga asuransi ini adalah beranggapan bahwa:
1. Mereka menyamakan asuransi dengan menabung. Padahal jelas berbeda antara asuransi dan menabung. Asuransi dibangun dengan basis tolong-menolong, sementara menabung dibangun dengan basis menitipkan harta. Sudah pasti perlakuan terhadap member dari kedua produk ini akan berbeda.
2. Kesalahan dalam memahami dasar didirikannya asuransi ini menjadikan salah dalam niatan ikut serta menjadi member di dalamnya. Ikut asuransi dengan niat judi, atau ikut asuransi dengan niat menitipkan harta. Ya jelas salah kalau seperti ini. Orang yang ikut asuransi dengan niat menitipkan harta akan berasumsi bahwa dia akan mendapatkan hartanya kembali saat kecelakaan terjadi. Sementara itu orang yang ikut asuransi dengan niat judi akan merasa merugi saat premi yang dibayarkannya secara rutin tidak bisa kembali.
3. Kesalahan berikutnya adalah memandang bahwa dalam asuransi terdapa praktik riba. Membayar premi selama 10 bulan dengan besar kewajiban 70 ribu rupiah, lalu mendapatkan santunan kecelakaan sebesar 10 juta rupiah. Padahal akumulasi premi seharusnya masih berkisar 700 ribu rupiah. Selisih antara 10 juta dengan 700 ribu dianggap sebagai riba.
Pemahaman ini tak ubahnya juga berangkat dari hal yang sama yakni menabung lalu dapat bunga sehingga uangnya bertambah. Tambahan ini dianggap sebagai riba. Sekali lagi bahwa memaknai dengan tepat “apa itu asuransi?” sangat berguna sekali dalam membantu terbitnya kesadaran dan niat yang baik sebagai member asuransi. Jadi, sebagai solusi terakhir bagi pembaca adalah: “perbaiki niat Anda ketika hendak ikut asuransi! Ingat bahwa Anda tidak sedang menabung! Jadi, jangan heran manakala santunan yang diberikan kepada Anda—saat Anda mengalami hal yang tidak diinginkan —santunan itu lebih besar atau bahkan lebih kecil dari total premi yang pernah Anda bayarkan! Saat Anda memilih produk asuransi, maka di saat itulah Anda sebenarnya sedang terjalin dalam sistem saling tolong-menolong dan gotong royong dalam menanggung beban sesama anggota peserta asuransi. Anda tidak sedang bertaruh. Anda juga tidak sedang menabung. Ini adalah kunci utama pemahaman. Dengan begitu, Anda akan terjauhkan dari asumsi gagal faham memandang asuransi sebagai maisir, qimar, gharar dan riba. Wallâhu a’lam biish shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBMNU PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar