Rabu, 11 Agustus 2021

Azyumardi: Politik Harapan

Politik Harapan

Oleh: Azyumardi Azra

 

Krisis demi krisis yang semula lokal dengan cepat menjadi global memerlukan politik harapan. Asa masyarakat kian menipis menghadapi krisis keuangan, ekonomi, dan politik berlarut-larut. Harapan terus memudar tatkala krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 belum teratasi. Indonesia sepanjang Juli 2021 disebut media internasional sebagai episentrum baru Covid-19 di dunia: terbanyak kasus harian orang terinfeksi dan wafat.

 

Pandemi Covid-19, menurut temuan survei Litbang Kompas, Juli 2021, telah menyudutkan warga ke titik terendah kerentanan. Kondisi psikososial warga juga tak kurang mencemaskan (Kompas, 26/7/2021).

 

Banyak warga korban Covid-19 menghadapi kesulitan berlapis: rumah sakit penuh sesak, tabung oksigen langka, obat hilang di pasar, dan jenazah antre dimakamkan. PPKM darurat atau PPKM level 4 membelenggu. Warga menjadi putus asa di lorong gelap menerima kabar kematian sanak saudara. Kesuraman harapan juga meluas dalam kehidupan ekonomi. Penerapan PPKM darurat atau PPKM level 4 menambah kesengsaraan ekonomi kian banyak warga, membuat mereka berada dalam ”limbo”.

 

Kesuraman harapan juga kian dirasakan warga dalam kehidupan politik. Ada kemerosotan harapan pada demokrasi yang telah dipelintir penguasa dan elite politik menjadi oligarki nepotistik despotik. Pemerintah sejak pimpinan puncak, pejabat tinggi, hingga elite politik di pusat atau dengan daerah sering gaduh serta saling menyalahkan di depan publik.

 

Komunikasi di antara sesama pejabat publik dan dengan warga tak berjalan baik. Sering pejabat publik tak memberikan teladan dan empati kepada warga yang mengalami kesulitan. Sebagian asyik dengan kepentingan sendiri, mengambil kesempatan di masa wabah Covid-19. Sebagian lagi terus menetapkan regulasi dan kebijakan secara oligarki nepotistik despotik.

 

Masih adakah harapan? Jelas masih ada. Namun, harapan banyak warga kelas menengah dan kelas bawah memudar. Para pemimpin negara dan elite politik patut tidak membiarkan berlanjutnya pemudaran harapan. Keadaan ini bisa berujung pada putus asa; menggiring publik pada apatisme atau pada gejolak emosi panas. Meningkatnya emosi dan menipisnya kesabaran mendorong warga melakukan pembangkangan.

 

Dalam sebuah webinar beberapa hari lalu di mana penulis menjadi narasumber, beberapa audiens menganjurkan pendekatan lebih cepat, radikal, dan komprehensif untuk mengubah keadaan politik yang menurut mereka kian tidak memberikan harapan. Sebagai respons, penulis menekankan agar setiap warga bersabar, menempuh cara damai, demokratis, dan konstitusional untuk memperbaiki keadaan, khususnya melalui Pemilu 2024.

 

Semua perkembangan dan gejala tidak kondusif perlu diantisipasi secara arif dan bijak oleh pemerintah dan elite politik di DPR atau partai politik. Menghadapi gejala ini, setiap dan seluruh pemimpin dan elite politik dalam berbagai tingkatan mesti berusaha lebih sungguh meningkatkan kembali harapan publik. Seperti diserukan laporan utama Kompas (11/7/2021), perlu membangun optimisme masyarakat menghadapi tekanan dan ketidakpastian selama masa pandemi Covid-19.

 

Di sini perlu pengembangan politik harapan yang niscaya banyak bergantung kepada pejabat publik, terutama eksekutif dan legislatif yang berada dalam posisi utama dalam penetapan regulasi. Dalam perspektif warga, berbagai regulasi sering bukan memperbaiki, melainkan memperburuk keadaan. Ujungnya adalah kekecewaan, frustrasi, putus harapan, atau perlawanan.

 

Meminjam kerangka Martin Wolf dalam The Politics of Hope against the Politics of Fear (2019), dalam keadaan krisis, pejabat publik perlu melakukan pembaruan, rejuvenasi, dan revitalisasi politik harapan. Politik harapan sangat urgen dan relevan di tengah merajalelanya wabah Covid-19 dan meningkatnya ketidakpuasan warga. Politik harapan memerlukan sejumlah langkah untuk bisa efektif. Langkah-langkah itu mesti dilakukan para pejabat publik sejak dari tingkat terpuncak sampai level terbawah.

 

Politik harapan menghendaki penguatan kepemimpinan pejabat publik. Mereka harus menunjukkan kemampuan memimpin dan menggerakkan institusi birokrasi serta organisasi masyarakat dalam kesatuan gerak secara konsisten untuk memecahkan berbagai masalah berat yang dihadapi warga. Pejabat harus menunjukkan mereka tahu masalah dan kompeten. Mereka mesti bisa berkomunikasi dengan baik; tidak terus berbeda pendapat dan mengacaukan ranah publik dengan pernyataan, akronim, atau singkatan membingungkan.

 

Hanya dengan penguatan kepemimpinan pejabat publik, warga dapat membangun kembali sikap percaya dan keyakinan kepada pemerintah. Pejabat publik mesti tidak sibuk menjaga citra lewat kebijakan yang dipandang warga tak lebih dari ”pemanis bibir” atau gimik yang tak bisa membangkitkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat.

 

Politik harapan juga meniscayakan penguatan inklusivitas dan empati pemimpin publik. Di tengah kesulitan ekonomi, politik, atau kesehatan, pemimpin publik harus meninggalkan kecenderungan eksklusif. Mereka jangan terjebak dalam lingkaran koalisi oligarkis sehingga semakin jauh dari realitas—kehilangan empati tulus kepada yang menderita. Politik harapan mesti mencakup penajaman sensitivitas pemimpin publik memilih prioritas.

 

Indonesia memerlukan politik harapan untuk menggantikan politik ketakutan atau politik kegelapan. Sudah waktunya pejabat publik membangun politik harapan sebelum terlalu terlambat dan keadaan kian buruk. []

 

KOMPAS, 29 Juli 2021 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar