Alquran Pro Si Miskin, tetapi Antikemiskinan (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Hidup di permukaan bumi ini memang tidak mudah sehingga ada ungkapan Charles Darwin yang diambilnya dari Herbert Spencer: “Survival of the fittest” (Organisme yang bisa bertahan dan berproduksi hanyalah yang paling piawai menyesuaikan diri dengan lingkungan).
Sebaliknya, organisme yang lemah akan punah dan musnah. Namun, apakah teori sosial Darwin ini harus diterima? Tentu tidak, khususnya Darwinisme sosial karena akan semakin memperparah nasib orang miskin, yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan.
Richard Dawkins, seorang ateis, pada 2005 dalam sebuah wawancara dengan Die Presse memberikan kritik keras kepada teori ini: “No self-respecting person would want to live in a society that operates according to Darwinian laws. I am a passionate Darwinist, when it involves explaining the development of life. However, I am a passionate anti-Darwinist when it involves the kind of society in which we want to live. A Darwinian state would be a Fascist state.”
(Tak seorang pun yang punya harga diri akan ingin hidup dalam suatu masyarakat yang berjalan menurut hukum Darwinian. Saya seorang Darwinis yang penuh semangat, apabila ia menyangkut penjelasan tentang perkembangan kehidupan. Tetapi, saya seorang anti-Darwinis yang bergairah manakala ia menyangkut jenis masyarakat yang ingin kita diami. Negara Darwinian akan berupa sebuah negara Fasis.”
Dalam sebuah dunia yang serbasekuler sebagai bagian yang menyatu dengan proses modernisme atau pascamodernisme, diktum Alquran tentang “Pro Si Miskin, tetapi Antikemiskinan” tidak mudah dijalankan, termasuk dalam masyarakat mayoritas Muslim.
Keluhan Nabi kepada Tuhan: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku ini telah menjadikan Alquran sebagai sesuatu yang telantar” (lihat surat Makkiyah, al-Furqân ayat 30) adalah peringatan keras kepada kita semua.
Ketimpangan sosial-ekonomi dalam masyarakat Muslim global sungguh parah, termasuk di Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Keluhan ini menurut pendapat para mufasir tertuju kepada masyarakat oligarki Quraisy masa lampau, yang antikeadilan sosial dan pro kezaliman, tetapi menurut pemahaman saya, juga dialamatkan kepada masyarakat mana saja sepanjang sejarah selama prinsip keadilan dilecehkan dan tidak dijadikan arus utama dalam sebuah negara.
Alquran adalah Kitab Keadilan. Nyaris tidak ada contoh hari ini yang menjadi bukti nyata dari masyarakat Muslim di dunia yang dapat dibanggakan. Semuanya teramat jauh dari cita-cita Alquran tentang pembentukan suatu masyarakat adil berdasarkan moral-etika.
Ratusan ribu orang yang naik haji saban tahun, tidak berbanding lurus dengan perbaikan kualitas hidup manusia Muslim.
Bila kita cermati surat-surat Makkiyah, selain yang sudah dikutip sebelumnya, ketika surat-surat itu diturunkan dan posisi Nabi sangat lemah, cita-cita pembentukan suatu masyarakat yang adil pro si miskin sudah diperkenalkan.
Bahasa yang digunakan tak jarang bagaikan ledakan gunung berapi. Dalam kaitan ini, tafsiran Fazlur Rahman tentang surat-surat Makkiyah patut dipertimbangkan agar cita-cita Alquran tentang pembentukan masyarakat adil bisa ditangkap dengan jelas dan tajam.
Alquran mesti memberi jalan keluar bagi kepentingan kemanusiaan tanpa diskriminasi.
Fazlur Rahman menulis: “Tidak diragukan lagi tujuan utama Alquran adalah untuk menegakkan suatu tata sosial yang praktikal/dapat dijalankan di muka bumi yang adil dan berdasarkan etika.” (Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an. Minneapolis-Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980, hlm. 37).
Maka doktrin tauhid (monoteisme) bertali berkelindan dengan prinsip keadilan sosial ekonomi. Di mata oligarki Quraisy, monoteisme yang semacam ini merupakan ancaman serius terhadap hak-hak istimewa yang mereka nikmati selama ini.
Karena itu, gerakan Muhammad harus dihentikan, secara damai, negosiasi, atau jika gagal, melalui kekerasan dengan membunuh pemimpinnya. Memang gerakan nabi pungkasan ini telah memicu perbelahan keluarga, suku, dan melonggarkan ikatan sosial lainnya.
Itu risiko yang harus berlaku jika keadilan mau ditegakkan dan kezaliman diruntuhkan. Nabi Muhammad SAW bukan tidak menyadari semuanya ini, tetapi wahyu tetap memerintahkannya untuk bergerak terus sehingga sebuah masyarakat egalitarian yang adil bersendikan moral-etika dapat terwujud.
Dalam perspektif ini, keterkaitan monoteisme dengan keadilan adalah ibarat sisi lain dari mata uang yang sama. Pengakuan kepada Allah yang tunggal mengharuskan pengakuan terhadap kesatuan kemanusiaan (lihat Fazlur Rahman, Islam.Chicago-London: University of Chicago Press, 1979, hlm. 12). []
REPUBLIKA, 22 Juni 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar