Para ulama mazhab empat bersepakat akan keharaman berobat dengan benda najis dalam keadaan normal (bukan keadaan darurat). Hanya saja, mereka berbeda pendapat terkait hukum berobat dengan benda najis dalam keadaan darurat. Pertama, ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Hanbali, dan mayoritas ulama mazhab Hanafi menegaskan, berobat dengan benda najis hukumnya haram.
Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menuturkan:
الْمَذْهَبُ أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ التَّدَاوِي بِالْمُحَرَّمِ “
Pendapat mazhab Hanafi, tidak boleh berobat dengan benda haram” (Ibnu Abidin, Raddul Muhtar ala Ad-Durril Mukhtar, juz 5, halaman 249). Sedangkan Syekh Al-Hattab dari mazhab Maliki menyebutkan:
أَمَّا أَكْلُهُ وَالتَّدَاوِي بِهِ فِي بَاطِنِ الْجَسَدِ فَالْاِتِّفَاقُ عَلَى تَحْرِيْمِهِ... وَأَمَّا التَّدَاوِي بِالْخَمْرِ وَالنَّجْسِ فِي ظَاهِرِ الْجَسَدِ فَحَكَى الْمُصَنِّفُ فِي التَّوْضِيْحِ وَغَيْرِهِ فِيْهِ قَوْلَيْنِ، الْمَشْهُوْرُ مِنْهُمَا أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ
“Adapun memakannya (benda najis), dan berobat dengannya pada tubuh bagian dalam, disepakati keharamannya. Sedangkan berobat dengan khamr dan benda najis pada tubuh bagian luar, mushannif menceritakan dalam kitab At-Taudhih dan kitab lainnya, dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat yang masyhur, hal itu tidak boleh” (Al-Haththab, Mawahibul Jalil, juz 1, halaman 393-394).
Senada dengan kedua ulama di atas, Syekh Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali menulis:
وَلَا يَجُوْزُ التَّدَاوِي بِمُحَرَّمٍ.... وَلَا بِشَيْءٍ فِيْهِ مُحَرَّمٌ
“Dan tidak boleh berobat dengan benda haram… dan berobat dengan sesuatu yang mengandung benda haram” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 12, halaman 500).
Kedua, ulama mazhab Syafi’i dan sebagian ulama mazhab Hanafi menyatakan, berobat dengan benda najis hukumnya boleh, jika tidak ada benda suci yang dapat menggantikannya.
Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i menyebutkan:
وَإِنَّمَا يَجُوْزُ التَّدَاوِي بِالنَّجَاسَةِ إِذَا لَمْ يَجِدْ طَاهِرًا يَقُوْمُ مَقَامَهَا، فَإِنْ وَجَدَهُ حُرِّمَتِ النَّجَاسَاتُ بِلَا خِلَافٍ، وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ حَدِيْثُ: "إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيْمَا حُرِّمَ عَلَيْكُمْ،" فَهُوَ حَرَامٌ عِنْدَ وُجُوْدِ غَيْرِهِ، وَلَيْسَ حَرَامًا إِذَا لَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ. قَالَ أَصْحَابُنَا: وَإِنَّمَا يَجُوْزُ إِذَا كَانَ الْمُتَدَاوِي عَارِفًا بِالطِّبِّ، يَعْرِفُ أَنَّهُ لَا يَقُوْمُ غَيْرَ هَذَا مَقَامَهُ، أَوْ أَخْبَرَ بِذَلِكَ طَبِيْبٌ مُسْلِمٌ
“Sesungguhnya berobat dengan menggunakan benda najis dibolehkan apabila belum menemukan benda suci yang dapat menggantikannya. Apabila telah didapatkan – obat dengan benda yang suci – maka haram hukumnya berobat dengan benda-benda najis, tanpa ada perbedaan pendapat tentang hal ini. Inilah maksud dari hadist“ Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesehatan kalian pada sesuatu yang diharamkan atas kalian.” Maka berobat dengan benda najis menjadi haram apabila ada obat alternatif yang tidak mengandung najis, dan tidak haram apabila belum menemukan selain benda najis tersebut. Sahabat-sahabat kami (Pengikut Madzhab Syafi’i) berpendapat: Dibolehkannya berobat dengan benda najis apabila orang yang berobat mengetahui ilmu perobatan. Ia mengetahui bahwa belum ada obat suci yang dapat menggantikannya, atau berobat – dengan benda najis itu – direkomendasikan oleh dokter muslim yang adil” (An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 9, halaman 55).
Sedangkan Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam dalam kitab Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam menuturkan:
جَازَ التَّدَاوِي بِالنَّجَاسَاتِ إِذَا لَمْ يَجِدْ طَاهِرًا مَقَامَهَا، لِأَنَّ مَصْلَحَةَ الْعَافِيَةِ وَالسَّلَامَةِ أَكْمَلُ مِنْ مَصْلَحَةِ اجْتِنَابِ النَّجَاسَةِ
“Boleh berobat dengan benda-benda najis jika belum menemukan benda suci yang dapat menggantikannya, karena mashlahat kesehatan dan keselamatan lebih diutamakan daripada mashlahat menjauhi benda najis” (Izzuddin Ibnu Abdissalam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 1, halaman 146).
Senada dengan kedua ulama di atas, Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menuturkan:
يَجُوْزُ لِلْعَلِيْلِ شُرْبُ الْبَوْلِ وَالدَّمِ وَالْمَيْتَةِ لِلتَّدَاوِي إِذَا أَخْبَرَهُ طَبِيْبٌ مُسْلِمٌ أَنَّ فِيْهِ شِفَاءَهُ وَلَمْ يَجِدْ مِنَ الْمُبَاحِ مَا يَقُوْمُ مَقَامَهُ
“Orang sakit diperbolehkan meminum air kencing, darah, dan bangkai untuk berobat jika ia diberitahu oleh seorang dokter muslim bahwa pada benda-benda itu terdapat kesembuhannya, dan ia tidak menemukan benda mubah yang menggantikannya” (Ibnu Abidin, Raddul Muhtar ala Ad-Durril Mukhtar, juz 5, halaman 357).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama mazhab empat bersepakat akan keharaman berobat dengan benda najis dalam keadaan normal. Namun, mereka berbeda pendapat tentang hukum berobat dengan benda najis dalam keadaan darurat. Ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Hanbali, dan mayoritas ulama mazhab Hanafi mengharamkannya, sedangkan ulama mazhab Syafi’i, dan sebagian ulama mazhab Hanafi membolehkannya.
Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat yang membolehkan berobat dengan benda najis dalam keadaan darurat merupakan pendapat yang kuat. Pendapat ini sejalan dengan firman Allah subhanahu wata’ala:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
“Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” (QS Al-Baqarah: 173). []
Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung dan Dosen IAIN Tulungagung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar