Perang ekonomi yang dijalankan kaum Muslim juga menyasar kaum Yahudi. Ketika itu, kaum Yahudi menguasai sektor bisnis dan industri di Madinah. Sebagai penguasa ekonomi di Madinah, kaum Yahudi tidak segan-segan menjebak masyarakat dengan utang yang berbunga tinggi. Di samping itu, kaum Yahudi juga selalu memantik api perselisihan antara Suku Aus dan Suku Khazraj.
Maka ketika tiba di Madinah, Nabi Muhammad kemudian mendirikan pasar. Beliau mengajari tata krama di pasar, mendorong para sahabatnya untuk berbisnis, dan mencari rezeki yang halal. Mengetahui hal itu, kaum Yahudi Madinah gusar. Terlebih, kaum Muslim berhasil menumbangkan perekonomian kaum Yahudi di Kota Madinah.
Kaum Yahudi semakin tidak terima. Mereka menilai, Nabi Muhammad dan kaum Muslim telah menghancurkan bisnis yang selama ini mereka geluti. Dari perang ekonomi tersebut, maka terjadi lah perang-perang terbuka antara kaum Muslim dan kaum Yahudi Madinah. Baik dalam perang ekonomi maupun perang terbuka, kaum Yahudi selalu terpuruk dan tidak pernah merasakan manisnya kemenangan.
Terkait dengan perang ekonomi, ada sebuah kisah menarik tentang bagaimana Nabi Muhammad merespons kekejaman dan perlakuan jahat kaum musyrik Makkah dengan kasih sayang. Dikisahkan, suatu ketika pemimpin Bani Hanifah, Tsumamah bin Utsal, dicaci maki dan dinista oleh kaum Quraisy Makkah setelah ia memeluk Islam.
Tidak terima diperlakukan seperti itu, Tsumamah–yang ketika itu hendak menjalankan umrah ke Makkah–kemudian mencegat pengiriman gandum Yamamah ke Makkah. Hal itu membuat kaum Quraisy Makkah menderita. Mereka tidak memiliki persediaan bahan makanan untuk dimakan. Mereka kemudian memakan ilhis (makanan yang terbuat dari campuran darah dan bulu unta, atau tumbuhan semacam papirus) untuk sekadar bertahan hidup. Lama-lama, kaum musyrik Makkah tidak tahan dengan kondisinya dan menulis surat kepada Nabi Muhammad SAW.
“Kau menyerukan silaturahmi, tapi kau sendiri yang memutus sendiri silaturahmi dengan kami. Kau telah membunuh ayah-ayah kami dengan pedang dan anak-anak kami dengan kelaparan,” demikian bunyi surat kaum musyrik Makkah kepada Nabi Muhammad, seperti tertera dalam buku Perang Muhammad SAW, Kisah Perjuangan dan Pertempuran Rasulullah (Nizar Abazhah, 2014).
Setelah menerima surat itu, Nabi Muhammad SAW langsung mengirim surat kepada Tsumamah agar tidak lagi mengganggu pengiriman bahan makanan ke Makkah. Tsumamah mematuhi perintah Nabi dan tidak lama kemudian turunlah wahyu Surat Al-Mukminun ayat 76: “Dan sungguh Kami telah menimpakan siksaan kepada mereka, tetapi mereka tidak mau tunduk kepada Tuhannya, dan (juga) tidak merendahkan diri.”
Begitu pun ketika Nabi Muhammad tiba di Makkah dalam Fathu Makkah. Rasulullah SAW memberikan kurma ajwa kepada Abu Sufyan, salah satu elit kaum musyrik Makkah yang memusuhinya–sebelum ia masuk Islam. Beliau juga membagi-bagikan 500 dinar kepada fakir miskin Makkah.
Demikian sikap agung Nabi Muhammad. Beliau tetap lembut dan penuh kasih sayang kepada musuh-musuhnya, baik dalam perang ekonomi maupun perang fisik terbuka. Tentu saja, Nabi Muhammad sangat bisa kalau seandainya ingin balas dendam kepada kaum musyrik Makkah, mengingat dirinya dan keluarganya pernah diboikot dan diblokade ekonominya selama tiga tahun. Namun, Nabi memilih untuk tidak melakukannya. Rasulullah SAW malah membalas mereka yang pernah menyakitinya dengan kebaikan dan penghormatan. []
(Muchlishon Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar