Kaum musyrik Makkah melakukan berbagai macam cara untuk menghentikan dakwah Nabi Muhammad. Salah satunya adalah melakukan blokade dan pemboikotan ekonomi terhadap Nabi Muhammad dan keluarga besarnya. Kejadian ini terjadi pada tahun ketujuh kenabian, di mana Sayyidah Khadijah dan Abu Thalib masih hidup. Namun demikian, keduanya ikut terboikot dan tidak dapat berbuat banyak.
Tujuan kaum musyrik Makkah melakukan pemboikotan tersebut adalah untuk memecah belah keluarga besar Bani Hasyim dan Bani Muthalib, klan Nabi Muhammad. Kaum musyrik mengira, strategi itu akan membuat orang-orang –dari dua bani tersebut- yang tidak percaya dengan Nabi bergabung dengan mereka. Namun perkiraan mereka meleset. Justru, Bani Hasyim dan Bani Muthalib –kecuali Abu Jahal- malah semakin solid dan bersatu menghadapi langkah kau musyrik Makkah tersebut. Dan begitulah karakteristik masyarakat Arab masa lalu. Solidaritas mereka begitu kuat antar satu keluarga.
Tokoh-tokoh musyrik Makkah menulis sebuah piagam pemboikotan yang isinya melarang siapa pun berinteraksi –baik secara ekonomi maupun sosial- dengan Nabi Muhammad. Piagam tersebut kemudian digantung di dalam Ka’bah sejak bulan Muharram tahun ketujuh kenabian. Merujuk buku Membaca Sirah Nabi Muhammad saw Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih (M Quraish Shihab, 2018), berikut teks lengkap piagam pemboikotan dan blokade ekonomi terhadap Nabi Muhammad:
“Tidak ada bantu-membantu, tidak ada jual-beli, tidak juga kawin-mawin. Tidak ada damai sampai pendukung-pendukung Muhammad bersedia menyerahkan beliau secara suka-rela untuk dicegah berdakwah atau untuk dibunuh.” Menurut satu riwayat, naskah kesepakatan tersebut ditulis oleh Manshur bin Ikrimah. Riwayat lain menyebutkan Baghid bin Amir.
Berdasarkan piagam tersebut, siapa pun dilarang mendistribusikan bahan makanan kepada Nabi Muhammad dan keluarga besarnya. Sehingga terkadang mereka memakan dedaunan untuk sekadar menahan rasa lapar. Meski demikian, ada saja pihak-pihak yang tidak tega sehingga mereka dengan sembunyi-sembunyi mengirimkan makanan kepada Nabi Muhammad. Namun, makanan tersebut kemudian diprioritaskan kepada anak-anak yang menangis kelaparan.
Pemboikotan dan blokade ekonomi terhadap Nabi Muhammad dan keluarga besarnya tersebut berlangsung selama tiga tahun, riwayat lain menyebutkan dua tahun. Di satu sisi, pemboikotan itu telah menyebabkan Nabi dan keluarganya sengsara dan membuat perkembangan dakwah Islam tersendat. Namun di sisi lainnya, pemboikotan juga menghadirkan dampak baik. Di antaranya membuat orang-orang bersimpati kepada Nabi dan membuka mata masyarakat secara umum tentang kehadiran Islam yang menyerukan keluhuran budi pekerti.
Perang ekonomi juga terjadi ketika umat Muslim hijrah ke Madinah. Ketika itu, mereka harus meninggalkan seluruh harta bendanya di Makkah. Kaum musyrik Makkah kemudian mengambil-alih harta benda umat Muslim seenak mereka sendiri. Tidak hanya itu, mereka juga melarang kaum Muslim berhijrah dengan membawa harta mereka sendiri.
Kasus Shuhaib al-Rumi adalah contoh nyata bagaimana kaum musyrik mengambil paksa harta benda umat Islam. Dalam buku Perang Muhammad saw, Kisah Perjuangan dan Pertempuran Rasulullah (Nizar Abazhah, 2014) dikisahkan, Shuhaib al-Rumi dikejar, dipaksa, dan diancam ketika hendak berhijrah ke Madinah. Kaum musyrik baru membiarkan Shuhaib pergi ke Madinah setelah semua harta kekayaannya dirampas.
Dalam dua perang ekonomi di atas, kaum Muslim mengalami kekalahan yang besar. Mereka tidak diberi akses ekonomi dan semua kekayaannya diambil paksa. Maka tidak mengherankan jika Nabi Muhammad kemudian melakukan ‘serangan balasan’ kepada kaum musyrik Makkah ketika kekuatan umat Islam di Madinah semakin kokoh.
Seperti disebutkan dalam Al-Qur’an Surat al-Quraisy, orang-orang Quraisy Makkah memiliki kebiasaan bepergian pada musim dingin dan musim panas. Saat musim panas, mereka melakukan perjalanan ke utara, Suriah dan Irak, untuk berdagang. Sementara ketika musim panas, mereka ke selatan.
Hal itu yang dijadikan Nabi Muhammad untuk menabuh gendering perang ekonomi melawan kaum musyrik Makkah. Beliau memerintahkan pasukannya untuk melakukan sabotase di jalur perdagangan kaum musyrik Makkah. Dengan demikian, mereka tidak bisa lagi bepergian ke Irak dan Suriah tanpa seizin kaum Muslim.
Kesepakatan itu mengancam keamanan kaum musyrik Makkah dan berdampak buruk terhadap perdagangan mereka. Maka seiring berjalannya waktu, mereka melakukan perlawanan terhadap kaum Muslim. Nabi sigap mengatasinya sehingga perlawanan mereka bisa di atasi. Namun, mereka terus saja melancarkan penentangan hingga akhirnya pecahlah Perang Badar.
Menurut Nizar Abazhah dalam bukunya di atas, Perang Badar lebih bercorak perang ekonomi, dari pada perang terbuka. Untungnya, umat Islam menang dalam perang ekonomi ini sehingga membuat ekonomi kaum musyrik Makkah semakin terpuruk. Akses rute mereka ke Irak dan Suriah sudah terputus. Sebetulnya, setelah Perang Badar, mereka mencari-cari rute baru ke Irak. Namun, pasukan umat Islam selalu saja berhasil menghadangnya.
Tidak lain, tujuan Nabi Muhammad mengirim pasukan, baik sebelum maupun setelah Perang Badar, ke sejumlah jalur perdagangan kaum musyrik Makkah adalah untuk blokade ekonomi. Nabi ingin memberikan efek psikologis dan material bagi kaum musyrik Makkah agar mereka memikirkan ulang sikap mereka terhadap kaum Muslim selama ini. []
(Muchlishon Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar