Apa hakikat Qunut Nazilah? Qunut Nazilah (Arab: Qunût Nâzilah) adalah qunut yang dilakukan ketika kaum Muslimin ditimpa keadaan yang tidak menyenangkan, berupa ketakutan (khauf), atau paceklik (qahth), pandemi atau wabah (wabâ’), hama belalang (jarâd) atau semacamnya.
Qunut Nazilah ini dilakukan mengikuti sunnah karena Nabi Muhammad SAW membaca qunut selama satu bulan berdoa atas musibah yang menimpa para sahabat penghafal Quran yang terbunuh di Sumur Ma‘ûnah (HR Al-Bukhârî dan Muslim), juga hadits:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ، أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ، قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوْعِ.... (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْبُخَارِيُّ
Artinya, ”Dari Abû Hurairah RA bahwa Nabi SAW ketika akan mendoakan keburukan atas seseorang atau mendoakan kebaikan bagi seseorang, maka beliau membaca qunut setelah rukuk,” (HR Ahmad dan Al-Bukharî).
Penjelasan lebih rinci tentang hukum Qunut Nazilah dikemukakan para ulama, antara lain: Ibnu Qudâmah (wafat 620 H), Al-Mughnî (juz II, halaman 586-588); Imam an-Nawawî (wafat 676 H), Raudhatut Thâlibîn (halaman 10) dan Al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzdzab (juz III, halaman 481-487); Syekh Khathîb Asy-Syarbînî (wafat 977 H), Mughnîl Muhtâj (juz I, halaman 258-259, 313); Syekh Ibrâhîm Al-Bâijûrî (wafat 1277 H), Hâsyiyatul Bâijûrî (juz I, halaman 164); dan Syekh Wahbah Az-Zuhailî (wafat 2015 M), Al-Fiqhul Islâmî wa Adillatuhu (juz I, halaman 838).
Empat Mazhab fiqih bersepakat bahwa Qunut Nazilah dilaksanakan sebab terjadinya sesuatu bencana, meskipun dilaksanakan tidak secara mutlak, yakni hanya ketika terjadi bencana. Alasannya karena Nabi SAW tidak membaca qunut kecuali ketika terjadi bencana.
Qunut Nazilah sunnah dilakukan secara terus-menerus ketika bencana atau pandemi masih belum berakhir. Kita mengetahui bahwa pandemi corona ini masih belum berlalu.
Terjadi perbedaan pendapat di antara empat mazhab tentang pelaksanaan Qunut Nazilah: (1) Menurut Hanafiyah, Qunut Nazilah hanya dilaksanakan dalam shalat jahar saja (shalat yang bacaan Al-Fatihah dan surat sesudahnya sunnah dibaca secara nyaring, keras); (2) Menurut Syafiiyah dan Malikiyah, Qunut Nazilah sunnah dilaksanakan dalam semua shalat lima waktu; (3) Sedangkan menurut Hanabilah, Qunut Nazilah dilaksanakan dalam semua shalat lima waktu selain shalat Jumat karena dipandang cukup dengan khutbah Jumat.
Bila Qunut Nazilah ini tidak dilaksanakan, baik karena sengaja maupun lupa, maka tidak disunnahkan sujud sahwi karena dalam mazhab Syafiiyah Qunut Nazilah ini tidak termasuk ab‘âdh as-shalah. Ab‘âdh as-shalah adalah golongan sunnah dalam shalat yang mengharuskan sujud sahwi bila ditinggalkan.
Dalam shalat berjamaah, seorang imam disunnahkan untuk menggunakan redaksi jamak dalam doanya: bacaan mufrad (tunggal) ”nî” (berarti aku) dalam redaksi di atas, diganti menjadi ”nâ” (kami), ”Allâhummah dinî….” menjadi ”Allâhummah dinâ…” dan seterusnya. Mengenai kalimat dalam kurung di atas ”Fa innaka taqdhî...“, merupakan tsanâ’ (pujian), bukan doa, sehinga dibaca sirr (tidak nyaring), baik oleh imam maupun oleh makmum.
Mengenai tata cara membaca Qunut Nazilah ini adalah dibaca dengan jahar (nyaring, keras) dalam semua shalat, baik shalat jahar maupun shalat sirr (shalat yang bacaan Al-Fatihah dan suratnya dibaca tidak nyaring, tidak keras, seperti shalat Ashar), dan baik dalam shalat berjamaah sebagai imam, maupun dalam shalat sendirian.
Dalam shalat berjamaah, makmum yang mendengar imam membaca qunut disunnahkan mengaminkan dengan jahar. Saat membaca atau mengaminkan Qunut tersebut, jamaah disunnahkan untuk mengangkat kedua belah tangan, dan tidak disunnahkan mengusapkan wajah.
Demikian panduan Qunut Nazilah berdasarkan tuntunan mazhab Syafiiyah. Dengan uraian ini, seyogianya bagi yang sudah mempunyai pengetahuan tentang hukum Qunut Nazilah disunnahkan untuk dilakukan, seperti dalam masa pandemi corona ini, untuk melaksanakannya, sebagai bagian dari mengamalkan ilmu.
Sayidina ‘Alî bin Abî Thâlib RA telah mengingatkan kita, ahwa di antara pilar dari empat pilar tegaknya harmoni kehidupan dunia ini adalah orang berilmu yang mengamalkan ilmunya (‘âlim musta‘mil ‘ilmahu), dan orang yang tidak mempunyai pengetahuan (bodoh) yang mau untuk terus menerus belajar (jâhil lâ yastankifu an yata‘allama).
Semoga Allah Yang Maha Pengasih Penyayang memberikan hidayah kepada kita semua untuk mengamalkan ilmu, termasuk Qunut Nazilah, sebagai amal saleh, dan memberikan anugerah sehat wal afiyat dan keselamatan bagi kita di semua penjuru dunia. Pandemi Covid-19 ini segera berakhir. Amîn... []
Ustadz Ahmad Ali MD, Pengurus Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar