Senin, 02 Agustus 2021

Buya Syafii: Alquran Pro Si Miskin tetapi Antikemiskinan (III)

Alquran Pro Si Miskin tetapi Antikemiskinan (III)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Tampaknya, ajaran Alquran ini terlalu mendahului zaman. Tetapi, gerak sejarah Muslim harus mengikuti arah anak panah ajaran itu, jika memang mau menjadi wasit peradaban manusia global. Sekalipun itu ibarat mimpi di siang bolong saat ini.

 

Mohon renungkan ini: “Alquran pro si miskin, tetapi anti kemiskinan, agar umat ini kembali menjadi perkasa-penegak keadilan, tidak terus terkapar sebagai manusia paria di tikungan peradaban!”

 

Sistem teologi dan filosofi yang berputar-putar dan berbelit-belit, sibuk membicarakan pengetahuan Tuhan yang tak terbatas atau Dia hanya tahu pada garis besarnya, bagi saya bukan domain manusia untuk menghabiskan energi di sana.

 

Apakah tidak akan lebih bermanfaat bila sistem teologi dan filosofi itu digumulkan dengan realitas kehidupan, demi tegaknya keadilan dan prinsip persaudaraan universal yang memang absen dalam peradaban modern, termasuk di dunia Muslim.

 

Bagi saya, kemiskinan yang melanda bumi Muslim adalah karena pemahaman yang salah tentang Alquran. Padahal, kitab ini amat menekankan amal saleh yang selalu bergandengan dengan iman.

 

Iman tanpa amal saleh bukanlah ajaran Alquran sebab tidak menghasilkan atau mengubah apa pun. Kata kaum filsuf, tugas filsafat adalah untuk memahami dunia. Namun, Alquran menambahkan: memahami dan mengubahnya!

 

Atau sebutlah itu philosophy of action/deed (filosofi perbuatan/tindakan) sebagaimana Iqbal mengajarkannya.

 

Di mata Iqbal, Alquran lebih menekankan perbuatan daripada hanya berkutat pada gagasan. (Lih Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Kashmiri Bazar-Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1971, hlm. v).

 

Ungkapan ini sudah terlalu banyak dikutip para penulis, yang aslinya berbunyi: “The Quran is a book which emphasizes ‘deed’ rather than ‘idea’)". Buku ini muncul pertama kali pada 1930, tetapi tetap saja hangat untuk dibaca.

 

Dengan mengaitkan filosofi perbuatan yang digagas Iqbal, kita akan lebih jelas meneropong topik artikel ini, yaitu “Aquran Pro Si Miskin, tetapi Antikemiskinan”.

 

Bukankah kemiskinan itu telah dan sedang melanda sebagian besar dunia Muslim yang sebagian umatnya hafal Alquran, tetapi tidak dijadikan acuan utama untuk mengubah situasi mereka yang serbalapar ini?

 

Dalam pandangan saya, dunia kemanusiaan ini bukan hanya untuk dilihat dan dipahami, melainkan untuk diubah dengan perbuatan agar keadilan terwujud nyata, agar kemiskinan bisa dihalau sejauh mungkin dari kehidupan manusia.

 

Pada halaman lain pada buku di atas, Iqbal mengkritik para sufi pemburu serba ketenangan batin untuk berlama-lama menetap di alam uluhiat, sekiranya mereka diberi kesempatan untuk mi’raj. Sedangkan Muhammad yang menurut kepercayaan umum telah mi’raj, segera turun ke bumi kenyataan, tidak ingin berada lama di alam lain itu.

 

Mengapa? Jawaban Iqbal yang juga bekali-kali dikutip, termasuk oleh saya, adalah berikut ini: “Kembalinya nabi itu bersifat kreatif. Dia kembali [ke bumi] untuk melibatkan dirinya ke dalam perjalanan waktu dengan tujuan mengawasi kekuatan-kekuatan sejarah, demi menciptakan sebuah dunia cita-cita yang segar (a fresh world of ideals).” (Lih. hlm. 124).

 

Reaksi saya, bagaimana mungkin sebuah dunia cita-cita yang segar dapat menjadi kenyataan di tengah lautan kemiskinan, yang menguras energi menusia semata-mata untuk bisa bernapas dalam kepapaan dan kehinaan.

 

Nabi Muhammad SAW paham untuk satu saat harus menumbangkan sistem oligarki Quraisy, yang menguasai Makkah karena sistem itu hanya untuk memperpanjang rantai kemiskinan mayoritas manusia. Di puncak piramida, bertengger kaum elitnya dengan segala kepongahan dan kezalimannya.

 

Surat-surat yang turun pada periode Makkah menjadi saksi hidup apa yang kita katakan ini, sebagian kecil dapat dibaca dalam kutipan pada seri pertama artikel ini. Sebelum diakhiri, sebuah kilas balik perlu disampaikan di sini.

 

Saya tidak tahu rahasia Allah mengapa Muhammad tidak diberi usia lebih panjang, tidak hanya sekitar 63 tahun, demi mengawal kekuatan-kekuatan sejarah yang masih sangat memerlukan kehadirannya.

 

Sementara itu, Nabi Nuh diberi umur sampai 950 tahun untuk membimbing umatnya yang selalu membangkang, kemudian harus ditenggelamkan dalam banjir yang dahsyat.

 

Inilah doa keluhan Nuh kepada Tuhan: Dan Nuh berkata: “Tuhanku, jangan Engkau biarkan tinggal di muka bumi ini, seorang pun dari para pembangkang (kafir) itu. Sungguh jika Engkau biarkan mereka, niscaya akan mereka sesatkan hamba-hamba-Mu dan mereka tidak akan menurunkan anak-anak kecuali orang durhaka lagi sangat kufur” (Lihat Al Quran, surat Nuh ayat 26-27).

 

Permintaan Nuh ini sangat telak dan dikabulkan Allah. Maka berlakulah kiamat kecil. Umatnya luluh lantak. Sedangkan misi Muhammad berjaya, puncaknya berupa takluknya Kota Makkah pada 630 Miladiah/8 Hijriyah, sekalipun harus melalui perjuangan berat.

 

Dengan keberhasilan ini, terbukalah pintu yang sangat lebar untuk menegakkan keadilan, menghalau kemiskinan, dan menancapkan prinsip persamaan antar manusia. Oligarki Quraisy yang zalim itu akhirnya runtuh berkeping-keping.

 

Namun, siapa di antara kita yang mau membaca karier Nabi Muhammad SAW secara benar dan tajam, di sebuah tikungan zaman yang tuna keadilan ini? []

 

REPUBLIKA, 29 Juni 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar