Teladan KH Muhammad Syamsul Arifin Istikamah Menjaga Bangsa
Oleh: Hasibullah Satrawi
Kiai Muhammad Syamsul Arifin. Demikian nama lengkap salah satu ulama sepuh asal Madura yang meninggal pada 1 Juli lalu. Kiai Muhammad, demikian kami para santri biasa memanggilnya, merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan, Madura. Selain sebagai pengasuh pondok pesantren, Kiai Muhammad juga merupakan Wakil Ketua Majelis Syariah di salah satu partai politik.
Bagi para santri dan sebagian masyarakat, Kiai Muhammad tak ubahnya sumur kebaikan dan kebajikan yang senantiasa mengalir dan terus terbarukan (banyu, anyar). Para santri dan sebagian masyarakat senantiasa menimba ilmu keislaman, perjuangan kenegaraan, dan teladan kehidupan dari Kiai Muhammad.
Ada beberapa pesan dan keteladanan dari Kiai Muhammad yang senantiasa ditekankan kepada para santri atau pun masyarakat yang menemuinya. Pertama, sikap istiqamah. Secara sederhana, istikamah bisa dimaknai sebagai mulazamatul khair (menekuni kebaikan). Sikap istikamah tidak hanya diujarkan oleh Kiai Muhammad, melainkan juga dicontohkan hampir dalam semua lini kehidupan beliau.
Dalam kapasitasnya sebagai pengasuh, contohnya, Kiai Muhammad hampir tidak pernah meninggalkan jadwal mengajar kitab kuning setelah salat fardhu, seperti setelah shalat dhuhur, setelah shalat ashar dan setelah shalat maghrib. Walaupun pada waktu yang hampir bersamaan ada acara lain di luar pondok, tetapi Kiai Muhammad tetap mengutamakan dan mengupayakan agar bisa mulang (mengajar kitab) di waktu-waktu yang ada. Hingga para santri tetap mendapatkan pencerahan dari beliau.
Berdasarkan pengalaman penulis belajar di Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar (tahun 1990-an), Kiai Muhammad acap melakukan salat sunnah di tempat yang tetap (tidak berubah-berubah), baik sunnah qabliyah ataupun sunnah ba’diyah. Hal ini bisa dipahami bahwa Kiai Muhammad memberlakukan prinsip istikamah tidak hanya dalam hal-hal prinsip (mabda’iy), melainkan juga dalam hal-hal yang bersifat makaniy (tempat) dan zamany (waktu).
Kedua, berpolitik sebagai upaya untuk memperjuangkan kebaikan agama, bangsa, dan negara. Sebagaimana disampaikan di atas, Kiai Muhammad aktif di salah satu partai politik. Bahkan dahulu (waktu penulis di pondok), beliau juga datang ke acara-acara kampanye yang diadakan oleh partai. Namun demikian, kesibukan beliau dalam dunia politik tidak sampai mengorbankan jadwal-jadwal mengajar.
Hal tak kalah penting adalah Kiai Muhammad tidak menggunakan posisinya di dalam partai politik untuk hal-hal yang bersifat pragmatis ataupun kepentingan pribadi (jabatan, kekayaan, dan lainnya), melainkan untuk perjuangan yang bersifat dakwah.
Dalam konteks seperti ini, perjuangan politik Kiai Muhammad sangat unik. Di satu sisi, Kiai Muhammad tidak menjauhkan diri atau ‘uzlah dari partai politik laiknya orang-orang yang anti terhadap politik atau pun kekuasaan. Tetapi di sisi lain, Kiai Muhammad tidak terpengaruh ke dalam pragmatisme politik yang cenderung koruptif, kolusif, dan manipulatif.
Dengan kata lain, selama ini telah banyak orang atau pun tokoh yang memilih untuk menjauhkan diri dari dunia politik atau pun kekuasaan. Sebagaimana lebih banyak lagi orang atau pun tokoh yang memilih untuk terjun ke dalam politik atau pun kekuasaan. Tetapi sangat sedikit orang atau pun tokoh yang memilih terjun ke dunia politik dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip politik adiluhung yang belakangan mulai menjadi makhluk langka, seperti politik kerakyatan dan keumatan yang menjadikan kemaslahatan publik sebagai poros sekaligus tujuan gerakan. Inilah jalan sunyi politik yang dipilih dan dilalui oleh Kiai Muhammad Syamsul Arifin hampir sepanjang hayatnya.
Apa yang dikatakan oleh Jamal Al-Banna, adik kandung Hasan al-Banna, tidak terbukti dalam konteks pengalaman dan pilihan politik Kiai Muhammad, yaitu bahwa kekuasaan tak ubahnya api menyala (narun hamiyah) yang dapat membakar (si)apa pun yang menyentuhnya secara langsung (Al-Islam Dinun wa Ummah wa Laysa Dinan wa Dawlah, 2003: 129).
Pun demikian, pengalaman dan pilihan politik Kiai Muhammad tidak menimbulkan efek traumatis seperti yang dilukiskan Muhammad Abduh dalam pernyataannya yang sangat tersohor dengan mengutip salah satu Ayat Al-Quran (Qs. As-Saffat: 63-68) terkait makanan orang-orang ahli neraka yang dianalogikan dengan politik; politik tak ubahnya pohon yang tumbuh di dasar neraka, mayangnya seperti kepala-kepala syaitan dan seterusnya. Saking dalamnya trauma yang dialaminya, Abduh sampai berlindung dari semua huruf yang dapat dirangkai menjadi sebuah politik (siyasah) atau kalimat yang terdiri dari kata siyasah (kekuasaan).
Menariknya adalah, pilihan politik Kiai Muhammad juga tidak terlepas dari nilai utama yang sangat ditekankan oleh beliau, yaitu sikap istikamah. Sebagaimana dimaklumi, partai politik yang diikuti telah menjadi pilihan politik para pendahulu beliau, termasuk guru sekaligus bapak mertua beliau yang sangat terkenal perjuangannya di Madura dalam melawan para penjajah (KH Abdul Hamid Baqir). Maka sebagai generasi penerus, Kiai Muhammad tetap istikamah dengan pilihan partainya yang juga merupakan pilihan para pendahulunya.
Ketiga, sikap sabar. Kiai Muhammad dikenal sebagai sosok yang sabar. Sebagai contoh, selama beberapa tahun penulis belajar di Pondok Darul Ulum Banyuanyar, belum pernah sekalipun menyaksikan Kiai Muhammad marah karena menghadapi persoalan tertentu, bahkan persoalan yang sangat besar sekalipun. Hal terbesar yang biasanya terjadi ketika ada hal-hal yang kurang berkenan adalah Kiai Muhammad menjadi sakit.
Kesabaran nyaris sempurna seperti menjadi keteladanan Kiai Muhammad tentu bukan sekadar sikap bawaan. Karena sebagai bawaan, semua orang memiliki kadar kesabaran. Sebagaimana semua orang juga memiliki kadar emosi.
Dengan adanya ekspresi kesabaran yang terus menerus seperti dilakukan oleh Kiai Muhammad, maka hampir bisa dipastikan hal ini lahir dari ilmu pengetahuan yang sangat mendalam. Sebuah pengetahuan yang tak hanya bersandar pada upaya-upaya manusia semata (belajar), melainkan pengetahuan yang bersumber pada Dzat Maha Tahu sebagai pemberian dan anugerah-Nya. Di kalangan pesantren ilmu ini dikenal dengan istilah ladunniy atau dalam dunia tasawuf dikenal dengan istilah kasyf.
Pengetahuan inilah yang pada akhirnya membuat Kiai Muhammad mampu melakukan hal-hal besar secara nyaris sempurna, seperti kesabaran yang hampir tak pernah diselingi dengan sikap marah atau sikap istikamah yang hampir tak pernah diselingi dengan rasa lelah atau sikap inkonsisten lainnya.
Bangsa ini sangat membutuhkan tiga keteladanan dari Kiai Muhammad sebagaimana di atas, khususnya dalam menghadapi pandemi seperti sekarang. Betapa banyak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh dari keistikamahan sebagai kematangan pilihan, sikap, maupun kebijakan. Hingga terjadi perombakan suatu kebijakan dari satu pejabat/pemerintah ke pejabat/pemerintah yang lain.
Pun demikian dalam dunia politik. Sejauh ini dunia politik masih jauh dari cita-cita luhurnya; menjadikan kepentingan bangsa dan kemaslahatan publik di atas segalanya. Sebaliknya kerja-kerja politik acap dibajak oleh kepentingan pribadi maupun golongan. Politik pun acap menjadi media untuk “mengambil semua” daripada memberi untuk semua. Bahkan pada masa pandemi seperti sekarang, kepentingan yang bersifat politis atau ambisi yang bersifat pribadi dan golongan tak jarang mengalahkan hajat dan kepentingan masyarakat luas untuk terbebas dari wabah yang ada.
Pada akhirnya, kesabaran Pak Kiai Muhammad menjadi teladan yang sangat penting pada masa seperti sekarang. Kondisi berat dan serba terbatas akibat Covid-19 harus dipikul bersama-sama, daripada justru menimbulkan sikap saling menyalahkan dan terlebih lagi saling tak peduli. Melalui kesabaran dan kesadaran, masyarakat bisa bersama-sama menghadapi pandemi yang ada dengan protokol kesehatan sembari saling membantu dalam menghadapi dampak-dampak yang ditimbulkan oleh Covid-19.
Terima kasih Kiai Muhammad atas semua keteladananmu. Semoga semua amal kebaikan Ajunan (bahasa Madura, sapaan kehormatan) diterima Allah Swt. Semoga semua keteladanannya menjadi “air pembaruan dan kebijaksaan” bagi kita semua. Selamat jalan Kiai Muhammad, Kiai Istikamah dalam menjaga bangsa. []
KOMPAS, 29 Juli 2021
Hasibullah Satrawi | Alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar