Perempuan tidak memiliki peran yang sama pentingnya dengan laki-laki dalam wilayah agama. Misalnya, ia tidak bisa menjadi rasul dan nabi; dilarang menjadi imam bagi makmum laki-laki; dan tidak bisa menjadi wali dalam pernikahan. Islam sudah mengatur ketiga peran tersebut hanya bisa dimainkan oleh laki-laki. Barangkali terkait dengan hal itulah, maka nama perempuan tidak pernah disebut di dalam Al-Qur’an secara eksplisit dan diajak berbicara secara langsung (al-mukhathabah) kecuali Siti Maryam, ibu Nabi Isa alaihimassalam.
Al-Qur’an lebih sering menempatkan laki-laki daripada perempuan sebagai persona atau pronomina kedua, atau pihak yang diajak berbicara (al-mukhathab) di mana Allah merupakan persona atau pronomina pertama atau pihak yang mengajak berbicara (al-mutakallim) dalam suatu redaksi ayat. Secara umum perempuan diposisikan sebagai persona atau pronomina ketiga atau pihak yang dibicarakan (al-ghaibah) di dalam Al-Qur’an. Sebagai contoh adalah penggalan ayat di bawah ini:
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
Artinya, “Mereka (perempuan) adalah pakaian bagimu (laki-laki), dan kamu (laki-laki) adalah pakaian bagi mereka (perempuan).” (QS. al-Baqarah:187)
Dalam penggalan ayat di atas pronomina هن (mereka perempuan) adalah sebagai persona ketiga atau pihak yang dibicarakan (al-ghaibah), sedangkan pronomina أنتم (kamu laki-laki) adalah sebagai persona kedua atau pihak yang diajak berbicara (al-mukhathab). Sedangkan yang bertindak selaku persona atau pronomina pertama atau pihak yang mengajak berbicara (al-mutakallim) adalah Allah subhanahu wata’ala.
Artinya dalam ayat tersebut Allah tidak berbicara langsung kepada perempuan sebagai istri tetapi melalui laki-laki sebagai suami terkait relasi mereka dalam rumah tangga atau keluarga. Contoh lain dapat dietemukan dalam penggalan berikutnya sebagaimana di bawah ini:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya, “(Tetapi) janganlah kamu (laki-laki) campuri mereka (perempuan) itu, sedang kamu (laki-laki) beri'tikaf dalam mesjid” (QS al-Baqarah: 187).
Sebagaimana dalam penggalan ayat sebelumnya, penggalan yang kedua ini juga menempatkan perempuan yang ditunjukkan dalam bentuk pronomina هن (mereka perempuan), sebagai pronomina atau persona ketiga atau pihak yang dibicarakan (al-ghaibah), dan pronomina أنتم (kamu laki-laki) ditempatkan sebagai persona kedua atau pihak yang diajak berbicara (al-mukhathab).
Sedangkan yang bertindak selaku pronomina pertama atau persona yang mengajak berbicara (al-mutakallim) dalam redaksi ayat di atas adalah Allah subhanahu wata’ala. Artinya dalam penggalan ini pun Allah juga tidak berbicara langsung kepada perempuan tetapi melalui laki-laki.
Kedua contoh penggalan ayat di atas rupa-rupanya dijadikan rujukan dari apa yang ditulis John C. Raines dari Temple University Philadelphia, Amerika Serikat, dalam sebuah bukunya dengan mengutip pendapat Asghar Ali Engineer (India) dan Farid Esack (Afrika Selatan) sebagai berikut:
“Not only are female voices excluded from the authoritative texts; the texts are clearly written to a male audience.”
(“Suara perempuan tidak hanya dikeluarkan dari teks-teks otoritatif, tetapi teks-teks itu secara jelas ditujukan kepada audiens laki-laki” [lihat John C. Raines, The Justice Men Owe Women, Fortress Press Minneapolis, 2001, hal. 31]).
Tentu saja apa yang ditulis John C. Raines di atas tidak seluruhnya benar sebab di dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menempatkan perempuan bukan sebagai pronomina ketiga atau persona yang hanya dibicarakan (al-ghaibah) tetapi sebagai pronomina kedua atau sebagai persona yang diajak berbicara (al-mukhathabah), yakni sebagai berikut:
وَإِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ عَلَىٰ نِسَاءِ الْعَالَمِينَ
Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu)” (QS. Ali Imran: 42).
Dalam ayat di atas, Siti Maryam ditempatkan pada posisi persona kedua atau sebagai pihak yang diajak berbicara (al-mukhathabah). Dalam hal ini pihak yang mengajak berbicara (al-mutakallim) kepada Siti Maryam adalah Jibril yang diutus Allah untuk menyampaikan kabar bahwa ibu Nabi Isa tersebut telah dipilih Allah sebagai perempuan suci dan penting melebihi siapa pun dari kalangan perempuan di masanya.
Pronomina كِ (kamu perempuan) yang diulang hingga tiga kali dalam ayat di atas menunjukkan bahwa di dalam Al-Qur’an perempuan diikutsertakan dalam teks suci sekaligus menunjukan betapa tinggi dan pentingnya keberadaan Siti Maryam dalam wilayah agama. Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa Siti Maryam mendapat wahyu dari Allah meski tidak menjadi seorang nabi sebab mayoritas ulama berpendapat bahwa nabi dan rasul adalah laki-laki.
Namun demkian, Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya berpendapat bahwa Siti Maryam adalah seorang nabi karena mendapat wahyu dari Allah sebagaimana kutipan berikut ini:
والصحيح أن مريم نبية ; لأن الله تعالى أوحى إليها بواسطة الملك كما أوحى إلى سائر النبيين.
Artinya, “Menurut pendapat yang sahih, Siti Maryam adalah nabi perempuan, karena Allah menurukan wahyu kepadanya sebagaimana kepada nabi-nabi yang lain” (Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Anshori al-Qurthubi, Al-Jaami’ li Ahkaamil Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut, Jilid 2, Cet. I, 2019, hal. 64).
Selain sebagai pronomina kedua atau pihak yang diajak berbicara (al-mukhathabah), di dalam Al-Qur’an juga terdapat ayat di mana perempuan, ibunya Siti Maryam, ditempatkan sebagai pihak pertama atau pihak yang mengajak berbicara (al-mutakallimah) kepada Allah sebagai berikut:
إِذْ قَالَتِ امْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا
Artinya, “Ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS Ali Imran, 35)
Dalam ayat di atas, istri Imran (Hannah) atau ibunya Siti Maryam ditempatkan sebagai persona pertama yang mengajak berbicara (al-mutakallimah) kepada Allah sebagai persona kedua atau pihak yang diajak berbicara (al-mukhathab). Hal ini bisa kita lihat pada penggunaan pronomina pertama تُ (aku) yang mengajak berbicara kepada pihak kedua (al-mukhathab), yakni Allah yang ditunjukkan dengan pronominaكَ (Engkau).
Terlepas dari perbedaan pendapat di antara para ulama tentang kenabian Siti Maryam, satu hal pasti mengenai Siti Maryam dan diakui oleh semua ulama adalah bahwa ia mendapat peran penting di dalam agama karena mengandung seorang bayi laki-laki dan kemudian melahirkannya sebagai seorang nabi tanpa melaui perkawinan sebagaimana kelaziman atau hukum alam yang disebut sunnatullah.
Artinya, Siti Maryam menjadi ibu bagi Nabi Isa ‘alaihimassalam dalam keadaan masih perawan karena belum pernah dijamah oleh laki-laki manapun. Ini merupakan salah satu mu’jizat yang diberikan Allah kepada-Nya. Sebagaimana diuraikan di atas Siti Maryam adalah satu-satunya perempuan yang namanya disebutkan secara eksplisit dan ditempatkan sebagai pihak yang diajak berbicara (al-mukhthabah) dalam redaksi ayat Al-Qur’an.
Tidak hanya itu namanya juga diabadikan sebagai nama surat “Maryam” di dalam Al-Qur’an, yakni surat ke-19, atau dalam Juz ke-16. Namun demikian Siti Maryam bukanlah satu-satunya perempuan yang keberadaannya disebut di dalam Al-Qur’an meski hanya secara implisit, yakni Siti Hawa (istri Nabi Adam ‘alaihimassalam) dalam surat al-Baqarah ayat 35; Siti Asiyah (istri Fir’aun) dalam surat Al-Qashash ayat 9; dan Siti Hajar dan Siti Sarah (istri Nabi Ibrahim ‘alaihimussalam) masing-masing dalam surat Ibrahim ayat 37 dan surat Hud ayat 69; dan Hannah (istri Imran) dalam surat Ali Imran ayat 35 sebagaimana telah disebutkan di atas.
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam Islam beberapa perempuan mendapat peran penting dalam wilayah agama dengan disebutkannya keberadaan mereka di dalam Kitab Suci Al-Qur’an dalam kapasitasnya sebagai istri para nabi atau ibu para nabi meski penyebutannya tidak eksplisit sebagaimana Siti Maryam. Dalam hal ini setidaknya mereka disebut sebagai tokoh untuk menjadi teladan dalam hal ketakwaan, kesabaran dan keimanannya kepada Allah subhanahu wata’ala yang patut dicontoh bagi umat manusia. Tulisan ini sekaligus untuk merespons keluhan Asghar Ali Engineer, Farid Esack dan John C. Raines di atas. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar