Jumat, 30 Agustus 2019

(Do'a of the Day) 29 Dzulhijjah 1440H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma a'innii 'alaa ghamaraatil mauti wa sakaaraatil mauti.

Ya Allah, tolonglah aku menghadapi kesengsaraan mati dan kesakitan pada saat mati.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 6, Bab 14.

(Ngaji of the Day) Kapan Boleh Menerima Barang dari Orang Berpenghasilan Haram?


Kapan Boleh Menerima Barang dari Orang Berpenghasilan Haram?

Ada beberapa kemungkinan cara orang mendapatkan harta dari orang lain, antara lain: sebab diberi (hibah), sebab bekerja, menyewa, tukar menukar (jual beli), sebab pengambilan paksa lewat putusan hakim, sebab menggashab, sebab mencuri atau merampok dan sebab lain yang diharamkan, seperti judi, dan lain sebagainya. Sebab-sebab tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi sebab pengambilan yang halal (sah), dan sebab pengambilan yang haram (bathil/tidak sah). Syariat Islam mensyaratkan adanya cara pengambilan dengan jalan yang sah dan mencela serta melaknati cara pengambilan yang bathil.

Efek yang timbul adalah pada saat diterapkan dalam muamalah, seperti dalam jual beli, membayar pajak, dan lain sebagainya. Efek berantai hukum pengambilan barang yang sah dan tidak sah secara syara’ menjadikan kajian ini biasanya lebih banyak diminati oleh kalangan yang menempuh jalan tasawuf, seperti Imam Al-Ghazali. 

Sebuah contoh persoalan misalnya orang yang bekerja di tempat riba, apakah gajinya juga halal? Ataukah hanya pihak manajemennya yang wajib menanggung dosa riba? Ambil contoh misalnya pekerjaan Satpam. Atau pekerjaan yang paling rendah sekalipun misalnya orang membuka warung di tempat lokasi pelacuran. Jika yang membeli adalah seorang pelacur yang notabene mendapatkan uang dari hasil haram, apakah uang pedagang warung tersebut juga termasuk yang haram? Inilah yang menjadi pangkal perhatian utama dari kajian ini. 

Ada sebuah nukilan menarik dari Syekh Zainuddin al-Malaybary dalam kitab Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain. Beliau menyampaikan sebuah maqalah berikut:

فائدة لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله وهو حرام باطنا فإن كان ظاهر المأخوذ منه الخير لم يطالب في الآخرة وإلا طولب قاله البغوي.

Artinya: "Sebuah faidah: Seandainya ada seseorang mengambil dari orang lain dengan jalan yang jaiz sesuatu yang diduga halalnya, padahal adalah haram secara bathin, maka bila dhahir barang tersebut adalah baik, maka ia tidak akan dituntut di akhirat. Namun, bila dhahir barang tersebut tidak baik, maka sebagaimana pendapat al Baghawy, maka ia kelak akan dituntut di akhirat." (Syekh Zainuddin al-Malaibary, Fathul Muin bi Syarhi Qurrati al-'ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67).

Beliau Syekh Zainuddin al-Malaibary menyebut ada tiga batasan menerima barang dari orang lain sehingga tetap halal bagi penerimanya, yaitu:

1. Barang diberikan dengan cara yang jaiz (dibolehkan oleh syariat), misalnya hadiah, gaji atau hasil jual beli

2. Barang yang diterima diduga halalnya, meskipun pada kenyataannya ia berasal dari jalan haram

3. Wujud luar barang yang diberi (dhahir al-ma’khudz) adalah baik

Catatan yang diberikan oleh beliau: 

- Apabila suatu barang diberi oleh orang lain dengan cara yang tidak keluar dari tiga batasan tersebut maka barang tersebut adalah halal dan kelak ia tidak dituntut di akhirat

- Namun, apabila suatu barang diberi oleh orang lain dengan cara yang keluar dari tiga ketentuan di atas, maka barang tersebut adalah haram dan kelak ia akan dituntut di akhirat.

Syarat ketiga merupakan syarat mutlak. Sebab bila ternyata wujud lahir barang adalah tidak baik (jelas haramnya) karena diperoleh dari cara bathil, maka orang yang menerima pemberian tetap akan mendapatkan tuntutan di akhirat. 

Contoh praktis misalnya adalah pekerjaan penadah barang curian atau barang rampokan. Karena wujud barang adalah jelas diperoleh dari cara haram, maka orang yang berprofesi sebagai penadah tersebut tetap akan mendapatkan tuntutan di akhirat, karena ia membeli barang hasil curian dari pencuri yang menjadi anak buahnya. Meskipun akad dasar dari jual beli ini adalah hukumnya jaiz (dibolehkan). 

Berbeda kondisinya bila orang yang menerima tidak mengetahui. Kita ambil contoh, seorang rentenir menyantuni anak yatim dengan jalan memberikan hibah. Santunannya hukumnya adalah jaiz. Barang yang diberikan juga baik. Namun, status kehalalan barang masih dalam “dugaan” disebabkan profesi rentenir sang penyantun. Inilah yang dimaksudkan sebagai pernyataan Syekh Zainuddin al-Malaibary di atas sebagai أخذ شيأ يظن أنه حلال (menerima sesuatu yang diduga kehalalannya). Syekh Salim Bakri bin Syatha' dalam I'anah al-Thalibin, lebih jauh menjelaskan maksud dari “sesuatu yang diduga halalnya”, sebagai berikut: 

أي أخذ شيئا يظن أنه حلال، وهو في الواقع ونفس الأمر حرام، كأن يكون مغصوبا أو مسروقا.

Artinya: "Mengambil sesuatu yang diduga bahwa ia adalah halal, padahal dalam kenyataannya, barang tersebut adalah haram, seperti misalnya barang hasil menggashab dan barang hasil mencuri." (Syekh Salim bin Syatha', Hasyiyah I'anatu al-thalibin 'ala Fathi al-Mu'in, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 3/12)

Dengan kata lain, Syekh Salim Bakri bin Syatha’ di sini menegaskan bahwa mendapatkan barang dari orang lain yang diduga kehalalannya padahal dalam kenyataannya ia diperoleh dari cara menggashab dan hasil mencuri, atau karena hasil pekerjaan seorang rentenir, asalkan dhahir barang tersebut adalah baik, dan ia tidak mengetahui sisi apakah barang tersebut merupakan bagian yang diperoleh dari cara haram, maka ia kelak tidak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat. Namun, bila wujud dhahir barang tersebut adalah tidak baik, maka ia akan dituntut di akhirat, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh al-Baghawi. Walhasil, ternyata ada risiko menerima barang dari orang lain. Risiko ini tidak hanya ditanggung oleh yang menerima saja, melainkan juga sang pemberi. 

Lebih lanjut Syekh Zainuddin al Malaibary dalam Fathul Mu’in lebih lanjut menjelaskan sebagai berikut:

ولو اشترى طعامه في الذمة وقضى من حرام فإن أقبضه له البائع برضاه قبل توفية الثمن حل له أكله أو بعدها مع علمه أنه حرام حل أيضا وإلا حرم إلى أن يبرئه أو يوفيه من حل قاله شيخنا

Artinya: 

1. Seandainya ada seseorang membeli makanan milik seorang pedagang, sementara penjual tahu bahwa uang pembeli tersebut berasal dari perkara haram, maka apabila penjual menyerahkan makanan tersebut kepada pembeli sebelum si pembeli menunaikan harganya, maka halal bagi si pembeli memakan makanan itu. 

2. Apabila penjual menyerahkan makanan setelah ditunaikan harganya oleh si pembeli, bersama tahunya penjual bahwa uang yang diserahkan pembeli diperoleh dari jalan haram, maka halal bagi pembeli tersebut memakannya. 

3. Namun, apabila pembeli tidak tahu bahwa uang tersebut didapat dari jalan haram, maka haram pula bagi pembeli memakannya sampai ia meminta kerelaan penjual untuk merelakan atau membayarnya dengan harta halal. Pendapat ini disampaikan oleh Syekhuna Ibnu Hajar al-Haitamy." (Syekh Zainuddin al Malaibary, Fathul Muin bi Syarhi Qurrati al-'ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67).

Ada tiga statemen yang disampaikan oleh Syekh Zainuddin al-Malaibary. Dari ketiga statemen ini, beliau Syekh tidak menyebut batalnya akad transaksi muamalah. Beliau hanya menyebut status halal atau haramnya barang. Statemen ini rupanya senada dengan pernyataan Imam Al Ghazali sebagaimana dikutip oleh Syekh Salim bin Syatha', sebagai berikut:

بين هذه المسألة الغزالي فقال: وأما المعصية التي تشتد الكراهة فيها: أن يشتري شيئا في الذمة ويقضي ثمنه من غصب أو مال حرام، فينظر، فإن سلم إليه البائع الطعام قبل قبض الثمن بطيب قلبه، وأكله قبل قضاء الثمن، فهو حلال. فإن قضى الثمن بعد الأكل من الحرام فكأنه لم يقبض، فإن قضى الثمن من الحرام وأبرأه البائع مع العلم بأنه حرام فقد برئت ذمته، فإن أبرأه على ظن أنه حلال فلا تحصل به البراءة.

Artinya: "Imam al-Ghazali menjelaskan: Termasuk perbuatan ma'shiyat yang sangat dibenci adalah: membeli sesuatu yang menjadi milik orang lain, kemudian membayarnya dengan uang hasil ghasab atau harta haram lainnya. Dalam hal ini hukum muamalahnya perlu diperinci: 

1. Jika si penjual menyerahkan barang dengan kerelaan hatinya kepada pembeli sebelum dibayar harganya, kemudian pembeli tersebut memakannya, maka makanan tersebut adalah halal (bagi pembeli). 

2. Jika pembeli membayarnya setelah makan dengan harta yang diperoleh dari harta haram, maka ia dianggap seolah belum membayar (ia punya utang). 

3. Namun, bila pembeli membayar harganya dari harta haram, sementara penjual rela dengan harta tersebut, padahal ia tahu bahwa uang tersebut dari harta haram, maka bebaslah tanggungannya (tidak punya utang). 

4. Dan bila kerelaan penjual didasarkan atas dugaanya bahwa harta tersebut adalah halal, maka ia (pembeli) belum dianggap bebas dari tanggungan (masih punya utang)." (Syekh Salim bin Syatha', Hasyiyah I'anatu al-thalibin 'ala Fathi al-Mu'in, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 3/12).

Penjelasan di atas merupakan penjelasan yang paling rinci yang ditemui oleh penulis dan semakin menguatkan hubungan sebab akibat antara penjual dan pembeli, antara pemberi dan yang diberi, antara penggaji dan yang digaji, manakala hal itu dikaitkan dengan muamalah jaizah seperti jual beli, hibah dan lain sebagainya. 

Hukum dasarnya menerima gaji, pemberian, dan menjual barang, adalah boleh dan akadnya sah. Hanya saja, terjadi perubahan hukum yang secara tidak langsung terhadap akad yang dibangun, baik sadar ataupun tidak sadar. Secara ringkas, digambarkan sebagai berikut: 

1. Bilamana seorang yang digaji, diberi, atau penjual adalah mengetahui bahwasannya pihak pemberi, penggaji atau pembeli mendapatkan hartanya dari cara haram, maka status gaji, pemberian dan harga yang ditunaikan pada dasarnya bukan untuk wafa’i al-maqshud (menepati maksud akad), melainkan berubah statusnya menjadi pemberian semua dari penggaji, pemberi dan pembeli. Karena hak dasar penggaji dan pembeli belum ditunaikan, maka jadilah ia akad utang-piutang. Itulah sebabnya ia wajib meminta istibra’ (meminta kehalalan/kegratisan) dari penjual, orang yang diberi dan orang yang digaji. Karena bila tanpa istibra’, maka ia kelak akan mendapatkan tuntutan di akhirat sebagai orang yang berutang. Pemberian, gaji dan harga yang diberikan, statusnya adalah halal bagi ketiga pihak yang diberi, digaji atau pedagang.

2. Bilamana orang yang diberi, digaji dan penjual mengetahui asal-usul harta orang yang memberi, menggaji dan membeli, dan ia ridla dengan apa yang diberikan oleh penggaji, pemberi dan pembeli tersebut, padahal nyata bahwa hal itu adalah haram, maka ketiga pihak yang memberi, menggaji dan membeli tidak memiliki tanggungan utang. Penjual, penerima pemberian, dan penggaji kelak akan mendapatkan tuntutan di akhirat sebab disamakan kedudukannya dengan penadah. Uang yang diterima adalah haram sehingga haram pula mendayagunakan harta itu. 

Wallahu a’lam bish shawab. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

(Khotbah of the Day) Sebaik-baik Umur adalah yang Diberkati Allah


KHUTBAH JUMAT
Sebaik-baik Umur adalah yang Diberkati Allah

Khutbah I

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وَعَلَى الِه وَأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَاأيُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ

Jamaah Jumat hafidhakumullah,

Umumnya orang berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diberi-Nya umur panjang. Sedikit sekali atau bahkan mungkin tidak ada orang yang menginginkan berumur pendek. Mereka tentu memiliki alasan masing-masing. Namun umumnya alasan mereka adalah karena ingin memiliki amal baik yang cukup semasa hidupnya sebagai bekal hidup abadi di akhirat. Hal ini memang memiliki dasar yang kuat sebagaimana ditegaskan dalam hadits Rasulullah shallahu alaihi wa sallam sebagai berikut:

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ قَالَ : مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

Artinya: “Wahai Rasulullah, siapakah sebaik-baik manusia?” Beliau menjawab: “Orang yang panjang umurnya dan baik amalannya.”(HR: Tirmidzi) 

Hadits itu telah menginspirasi banyak orang untuk senantiasa berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diberi-Nya umur panjang. Mereka telah meyakini bahwa salah satu tanda orang terbaik adalah apabila seseorang berumur panjang dan hidupnya penuh dengan amal-amal kebaikan. Mereka yang umurnya panjang tetapi amal-amal kebaikannya amat sedikit tidak termasuk orang-orang terbaik, bahkan mereka digolongkan sebagai orang-orang yang merugi. 

Namun demikian adalah kenyataan bahwa tidak setiap orang berumur panjang meski mereka berdoa demikian. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan mereka yang berumur pendek? Apakah mereka dengan sendirinya tidak termasuk orang-orang terbaik?

Jamaah Jumat hafidhakumullah,

Untuk menjawab pertanyaan di atas kita dapat merujuk penjelasan dari Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Sabîlul Iddikâr wal I’tibâr bimâ Yamurru bil Insân wa Yanqadli Lahu minal A’mâr (Dar Al-Hawi, Cet. II, 1998, hal. 47) sebagai berikut: 

وَخَيْرُ الْعُمُرِ: بَرَكَتُهُ، وَالتَّوْفيْقُ فِيْهِ لِلْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ، وَالْخَيْرَاتِ الْخَاصَّةِ وَالْعَامَّةِ 

Artinya: “Sebaik-baik umur ialah yang diberkati Allah subhanu wata’la, yang diberi-Nya taufiq untuk mengerjakan amalan saleh dan kebajikan-kebajikan lain baik yang khusus maupun yang umum.”

Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa sebaik-baik umur ialah yang diberkati Allah subhanu wata’la, yang diberi-Nya bimbingan untuk melakukan berbagai kesalehan dan kebajikan. Jadi kebaikan seseorang sebetulnya tidak semata-mata bergantung pada umurnya yang panjang, tetapi lebih pada seberapa banyak amal kebaikan yang dilakukannya semasa hidupnya. Penjelasan ini sesuai dengan hadits Rasulullah shallahu alaihi wa sallam di atas. 

Oleh karena itu, bisa saja seseorang berumur pendek tetapi amal kebaikannya sangat banyak dan mungkin sama atau bahkan melebihi mereka yang berumur panjang. Orang-orang seperti ini termasuk orang-orang terbaik karena mampu memanfaatkan umurnya yang pendek untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya. Inilah umur yang penuh dengan berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala

Dalam kaitan itu, Sayyid Abdullah Al-Haddad menyebutkan contoh beberapa orang saleh yang tidak berumur panjang namun amal kebaikannya sangat banyak dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. Di antara contoh itu adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafií. Beliau wafat dalam usia 54 tahun. Meski usia beliau tidak panjang, namun beliau semasa hidupnya mampu menghasilkan banyak kebaikan seperti karya-karya yang sangat penting bagi kaum Muslimin. 

Jamaah Jumat hafidhakumullah,

Di antara karya-karya besar Imam Syafi’i adalah pertama: Kitab Ar-Risalah yang merupakan kitab tentang Ushul Fiqh. Kedua, Kitab Al-Umm yang merupakan kitab tentang mazhab fiqihnya. Ketiga, Kitab Ikhtilaf al-Hadits yang merupakan kitab tentang hadits. Keempat, Kitab Tafsir Al-Imam Asy-Syafi’i yang merupakan kitab tentang tafsir Al-Quran, dan lain sebagainya. Beberapa sumber menyebutkan jumlah kitab karangan Imam Syafi’i lebih dari 120 buah, dan beliau hafidz Qur’an dalam usia 7 tahun. 

Contoh lain orang saleh yang tidak berumur panjang namun amal kebaikannya sangat banyak adalah Abu Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Al-Ghazali. Beliau wafat dalam usia 55 tahun. Meski beliau berumur pendek, namun begitu besar sumbangsihnya bagi masyarakat luas, khususnya kaum Muslimin. Beliau dijuluki Hujjatul Islam karena jasa-jasanya membela kebenaran Islam dengan mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran dengan argumen yang sulit dipatahkan oleh lawan. 

Di antara karya-karya besar Imam Al-Ghazali adalah pertama: kitab Ihya Ulumiddin yang merupakan kitab tentang akhlak dan tasawuf. Kedua, kitab Jawahir Al-Qur’an yang merupakan kitab tentang tafsir Al-Qur’an. Ketiga, kitab Al-Basith dan Al-Wasith yang merupakan kitab tentang ilmu fiqih dan ushul fiqih. Keempat, kitab Maqashid Al-Falasifah dan Al-Arba’in fi Ushuluddin yang merupakan kitab filsafat dan ilmu kalam, dan lain sebagainya. Beberapa sumber menyebutkan jumlah kitab karangan Imam Al-Ghazali lebih dari 200 buah.

Jamaah Jumat hafidhakumullah,

Dari apa yang dijelaskan dan dicontohkan oleh Sayyid Abdullah Al-Haddad di atas sangatlah jelas bahwa pemahaman literal tentang umur yang baik hanyalah umur panjang yang dipenuhi dengan kebaikan masih memiliki kekurangan. Pemahaman ini memang tidak salah, hanya belum akomodatif terhadap fakta bahwa banyak orang saleh tidak berumur panjang. Orang-orang seperti ini meskipun tidak berumur panjang, namun amal-amal kebaikannya sangat banyak sebagaimana disebutkan di atas, yakni Imam Syafií dan Imam Al-Ghazali. 

Oleh karena itu, sekali lagi, sebaik-baik umur adalah umur yang diberkati Allah subhanu wata’la. Hal ini meliputi umur panjang dan banyak digunakan untuk melakukan amal-mal saleh dan kebajikan-kebajikan lainnya. Selain itu adalah umur yang tidak panjang namun banyak digunakan untuk mengerjakan kesalehan-kesalehan hingga pada tingkat tertentu yang setara atau malahan lebih banyak dari mereka yang berumur panjang. 

Terhadap kelompok kedua, yakni mereka yang tidak berumur panjang namun banyak mengerjakan kesalehan-kesalehan dan kebajikan-kebajikan seperti Imam Syafi’i dan Imam Al-Ghazali, Sayyid Abdullah Al-Haddad menyebutnya sebagai hamba-hamba Allah yang terpilih dan diberkati sehingga amal kebaikannya sangat banyak dan mungkin lebih banyak dan lebih terasa manfaatnya dari pada yang dipanjangkan umurnya. 

Jamaah Jumat hafidhakumullah,

Batasan umur panjang di kalangan umat Islam, memang tidak ada patokan khusus yang disepakati bersama. Hanya kebanyakan umat Islam menjadikan umur Rasulullah shallahu alaihi wa sallam yang mencapai 63 tahun sebagai standar. Artinya mereka yang mencapai umur di atas 63 tahun diyakini telah mendapatkan bonus umur dari Allah subhanu wata’la. Sedangkan mereka yang tidak mencapai umur 63 tahun, semisal 50-55 tahun, atau kurang dari itu seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang wafat dalam usia kurang dari 40 tahun termasuk berumur pendek sebagaimana dijelaskan Sayyid Abdullah Al-Haddad dalam kitab tersebut di atas. 

Semoga kita semua termasuk orang-orang yang memiliki umur yang diberkati Allah subhanu wata’la. Amin ya rabbal alamin. 

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا 

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ


Ustadz Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta. 

(Ngaji of the Day) Barang Pesanan Rusak karena Musibah, Tanggungan Penjual atau Pembeli?


Barang Pesanan Rusak karena Musibah, Tanggungan Penjual atau Pembeli?

Beberapa kali kita mendengar adanya musibah. Segala musibah sudah menjadi ketentuan Allah . Manusia hanya bisa berencana, namun Allah jua yang menjadi penentu akhirnya. 

Dalam setiap musibah, selalu ada saja korban. Tidak hanya nyawa, namun harta benda juga terpaksa melayang. Akibat gempa bumi, banyak bangunan rusak berat, termasuk gudang tempat penyimpanan barang dagangan ikut hancur sehingga barang-barang dagangan pun menjadi ikut hancur karenanya. 

Pada musibah lain seperti kapal tenggelam, terkadang banyak melibatkan barang dagangan milik pedagang dari pulau seberang juga ikut raib karenanya. Tidak hanya puluhan juta, bahkan kadang mencapai ratusan juta hilang melayang. Itulah takdir Allah . Sekali lagi, semua musibah ini mengingatkan kita akan sifat lemah seorang hamba di hadapan kemahakuasaan-Nya. 

Yang sering menyisakan persoalan, adalah apabila terjadi musibah kapal tenggelam yang melibatkan raibnya harta pedagang sebelum sampai diterima oleh pemesan adalah siapakah sejatinya yang memiliki tanggung jawab/kewajiban untuk mengganti barang tersebut? Apakah pihak pemesan barang, ataukah pihak pedagang? Inilah yang akan menjadi fokus kajian fiqih muamalah kita kali ini. Tujuan kajian ini hanyalah berusaha mendudukkan fiqih sebagai wasit yang menengahi antara pedagang dan pembeli.

Sebelum kita mengupas mengenai hukum barang yang ikut raib dalam suatu musibah, terlebih dahulu kita perlu memerinci cara-cara pembeli dalam memesan barang. Setidaknya ada beberapa cara yang biasa dilakukan oleh pembeli dewasa ini dalam memesan barang, yaitu: 

1. Pemesanan via telepon langsung ke pihak pedagang supplier. Pemesanan via ini tidak syak  lagi adalah dilakukan dengan jalan akad salam. Pemesan hanya menunjukkan daftar barang yang dipesan, selanjutnya meminta agar pihak supplier mengirimkan barang dagangan lewat jasa layanan transportasi/ekspedisi yang diinformasikan oleh pedagang pembeli. 

2. Pemesanan via telepon melalui wakil untuk diteruskan via pedagang supplier. Pemesanan via ini biasanya masuk kelompok akad wakalah. Pemesan melalui wakilnya mendatangi pedagang supplier dan menyerahkan daftar harga, kemudian barang diterima oleh wakil untuk dikirimkan via ekspedisi yang ditunjuk oleh pedagang pemesan.

3. Pemesanan via telepon melalui makelar. Pemesanan via ini biasanya masuk kelompok akad samsarah. Pemesan biasanya meminta kepada seorang makelar untuk mencarikan barang sebagaimana daftar yang dibutuhkan, yang selanjutnya pihak makelar menentukan harga masing-masing barang tersebut. 

Berdasarkan tipologi cara pemesanan pedagang pembeli ke pedagang supplier ini, maka selanjutnya kita bisa memilah hukum dari masing-masing tipologi pemesanan terhadap status barang yang dibeli. Sebelum lebih jauh melangkah ke hukum, ada sebuah kaidah dasar dalam ilmu fiqih, sebagaimana disampaikan Syekh Zainuddin al-Malaibary dalam kitabnya Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain berikut ini:

المبيع قبل قبضه من ضمان البائع

Artinya: “Barang dagangan sebelum diterima oleh pembeli adalah jaminan penjual.” (Zainuddin al-Malaibary, Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain, Surabaya: Al-Hidayah, tt., 70). 

Berdasarkan kaidah ini, status barang yang masih dalam proses pengiriman, pada dasarnya adalah merupakan tanggung jawab pedagang supplier. Alasan sederhananya adalah karena barang tersebut belum sampai ke tangan pedagang pembeli, sehingga statusnya masih merupakan milik pedagang supplier. Jika suatu ketika terdapat kerusakan yang terjadi pada barang dagangan akibat cacat atau rusak karena pengiriman, maka cacat dan kerusakan itu adalah tanggung jawab dari pedagang supplier. Dan bila pedagang supplier tidak menjamin atas barang tersebut, maka akad jual beli otomatis menjadi fasakh (rusak) sehingga pedagang supplier wajib mengembalikan harganya kepada pembeli. Hal ini berdasar kelanjutan dari Syekh Zainuddin al-Malaibary di atas sebagai berikut:

بمعنى انفساخ البيع بتلفه أو إتلاف بائع وثبوت الخيار بتعيبه أو تعييب بائع أو أجنبي وبإتلاف أجنبي فلو تلف بآفة أو أتلفه البائع: انفسخ البيع

Artinya: “[Barang dagangan yang belum diterima pembeli termasuk jaminan pedagang supplier], maknanya adalah rusaknya akad jual beli adalah sebab rusaknya barang dagangan atau rusak oleh pedagang supplier sendiri. Tetapnya khiyar (mengembalikan barang) adalah (bergantung) pada sebab kecacatan barang, atau kecacatan yang disebabkan pedagang atau cacat akibat keteledoran orang lain atau bahkan cacat akibat dirusak orang lain. Oleh karena itu, bila barang rusak akibat suatu bencana atau rusak akibat keteledoran pedagang sendiri, maka rusaklah akad jual beli.” (Zainuddin al-Malaibary, Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain, Surabaya: Al-Hidayah, tt., 70).

Ibarat terakhir ini secara tegas menetapkan bahwa barang dagangan yang belum sampai ke pembeli dan rusak akibat adanya bencana (âfât), adalah merupakan bagian dari jaminan pedagang supplier sehingga pihak pedagang pembeli bisa mengajukan khiyar batalnya akad jual beli dan meminta kembali harga yang sudah diserahkan. 

Bagaimana bila barang tersebut dibebankan kepada pedagang pembeli? Abu Ishaq Al-Syairazy dalam Al-Tanbīh fi al-Fiqhi al Imâm al-Syâfi’iy menjawabnya sebagai berikut:

لا يدخل المبيع في ضمان المشتري الا بالقبض ولا يستقر ملكه عليه الا بالقبض فان هلك قبل القبض انفسخ البيع

Artinya: “Barang dagangan tidak bisa masuk dalam jaminan pembeli kecuali lewat penerimaan. Status kepemilikan barang belum bisa ditetapkan padanya kecuali lewat penerimaan. Dan jika terjadi kerusakan sebelum penerimaan pembeli, maka rusak akad jual belinya.” (Abu Ishaq al-Syairazy, al-Tanbih fi al-Fiqhi al-Imâm al-Syâfi’iy, Beirut: Daru al-Kutub al-Ilmiyah, tt.: 1/87) 

Berdasarkan keterangan ini, maka tetap sudah bahwa barang yang belum diterima oleh pedagang pembeli, adalah tidak bisa dibebankan kepada pedagang pembeli tersebut. Sepenuhnya barang yang masih ada dalam proses ekspedisi atau pengiriman adalah tanggung jawab supplier itu sendiri.

Apakah tanggung jawab pedagang supplier ini berlaku untuk ketiga jenis tipologi pemesanan barang sebagaimana sudah diungkapkan di atas? 

Sebagaimana diketahui bahwa tipologi pemesanan barang yang pertama adalah dengan akad salam. Pada akad salam, transaksi jual beli terjadi secara langsung antara pedagang dan pembeli tanpa adanya pihak yang memperantarai. Penerimaan barang disampaikan via jasa ekspedisi pengiriman yang bisa dipilih dan disepakati bersama oleh pedagang ataupun pembelinya. Sifat kepemilikan barang oleh pembeli pemesan, adalah ditetapkan manakala barang tersebut telah sampai ke tangannya. Dengan demikian, selama dalam perjalanan itu, maka barang adalah masih status kepemilikan pedagang supplier, sehingga bila terjadi bencana di tengah pengiriman, maka pedagang supplier-lah yang menjadi penjamin barang tersebut. 

Hal ini berbeda manakala pihak pedagang pembeli menyuruh orang sebagai wakilnya untuk membelikan barang. Bilamana hal ini terjadi, maka ketika wakil menerima barang, maka saat itu status kepemilikan barang sudah menjadi milik pihak yang mewakilkan yang diterima lewat tangan wakil. Bila terjadi kerusakan atau bencana dalam masa pengiriman oleh wakil, maka pihak pedagang pembeli sendirilah yang bertanggung jawab atas barang miliknya. Dengan demikian, pihak pedagang supplier bisa lepas tangan terhadap kerusakan barang. 

Berbeda manakala pihak pedagang pembeli meminta bantuan makelar (samsarah). Karena pihak samsarah berperan mengambil harga baru terhadap barang dagangan yang dipesan oleh pembeli, maka bila terjadi kerusakan atau bencana dalam pengiriman barang sehingga barang tidak sampai kepada pembeli, pihak makelar-lah yang bertanggung jawab atas jaminan barang tersebut. Hal ini disebabkan kedudukan makelar tidak bisa disamakan dengan wakil. Status wakil adalah sama dengan muwakkil (orang yang mewakilkan). Ia digaji oleh orang yang mengangkatnya sebagai wakil dan hanya bertugas mewakilinya dalam akad transaksi. Sementara pihak samsarah seolah berperan sebagai pedagang baru yang menengahi antara supplier dengan pihak pedagang pembeli. Wallahhu a’lam bish shawab. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim