Sejarah Penamaan Hari
Jumat, Muasal Terkikisnya Keangkuhan Manusia
Nama-nama hari pada masa Arab Jahiliyah
adalah; Syiyar (Sabtu), Awwal (Ahad), Ahwan (Senin), Jubar (Selasa), Dubar
(Rabu), Mu’nis (Kamis), dan ‘Arubah (Jumat). Hari-hari ini merupakan tahap
kedua, yang sebelumnya mereka membuat nama-nama hari, pertiga hari dalam satu
bulan, misalnya; tanggal 1-3 disebut dengan Gharar, setelahnya dinamakan; Samar
(4-6), Zahar (7-9), Darar (10-12), Qomar (13-15), Dara' (16-18), Dholam
(19-21), Tsalatsu Anadis (22-24), Tsalatsu Dawari (25-27), dan Tsalatsu Muhaq
(28-30).
Setelah Islam datang, nama-nama di atas
berubah, di antaranya adalah nama hari 'Arubah, menjadi hari Jumat. Penamaan
hari Arubah, sebelum menjadi hari Jumat, menurut Ibnu Abdul Bar, karena hari
itu adalah hari; berbangga-banggaan, kepongahan, bergagah-gagahan, berhias, dan
kasih sayang.
أن
يوم العروبة آت من جذرين، الأول عرب، وهو الانكشاف والظهور والثاني بمعنى التزين
والتودد
Dan dalam beberapa kajian, hari itu
('Arubah), adalah hari di mana orang Arab menampilkan; hasil karyanya (puisi),
hasil perdagangannya, temuan sihirnya, dan lainnya. Yang hari sebelumnya,
mereka berlomba-lomba mencari inspirasi, berdagang dengan strategi, dan
berlatih menguapkan sihirnya.
Ketika Islam datang, dan turun Ayat Allah:
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan
shalat Jumat (Jumu'ah) maka bersegeralah mengingat Allah” (Q.S Al-Jumu’ah: 9).
Sehingga, mereka yang menjadikan hari 'Arubah sebagai ajang pamer sihir, puisi,
dan harta, menjadi hari yang penuh dengan keimanan, hari mendekatkan diri
kepada Allah, dan menjadi hari persatuan umat, serta ajang silaturahim akbar.
Hari Jumat, disebut "Sayyidul
Ayyam", tuannya dari hari-hari, karena di dalamnya dipenuhi dengan keberkahan,
keluarbiasaan, dengan sejarah panjangnya.
Kata "Jum'at" dalam Kamus Al-Lughah
Al-Arabiyah Al-Ma'ashir dapat dibaca tiga; "Jumuah",
"Jum'ah" dan "Jumaah".
جُمْعَة،
جُمَعَةً، جُمُعَة: جمع جُمْعات وجُمَعات وجُمُعات وجُمَع : أسبوع :- قضينا جمعة
كاملة في القرية
Namun, cara baca yang paling banyak digunakan
adalah kata "Jumu'ah". Menurut Imam al-Farra', Dengan tiga bacaan di
atas adalah merupakan sifat hari, artinya berkumpulnya manusia, seperti
"Humazah" yang bermakna "mengumpulkan". Sedangkan bahasa
Indonesia menyerap kata tersebut menjadi "Jum'at" , takhfif, dengan
men-sukun-kan Mim-nya.
Ada banyak pendapat tentang asal menamaan
kata "Jum'at". Ada yang mengatakan, disebut "Jum'at" karena
sempurnanya penciptaan yang dihimpun pada hari itu, sebagaimana pendapat Imam
Abu Hanifah dan Ibnu Abbas.
Pendapat lain, karena pada hari itu,
berkumpulnya orang-orang di Masjid besar (Jami') untuk shalat Jum'at. Ada pula
yang berpendapat, Allah mempertemukan Adam dan Hawa di bumi pada hari itu.
Ada pendapat lain yang dinilai lebih shahih,
sebagaimana dalam kitab Nailul Autar dan Fathul Bari, yang diriwayatkan oleh
Hadis Riwayat Ahmad, jilid 2 (113) adalah Allah Ta’ala menghimpun penciptaan
Nabi Adam AS pada hari itu. Pendapat ini berdasarkan riwayat dari Nabi saw;
ketika beliau ditanya, “Mengapa dinamakan hari Jumat?” Beliau bersabda, “Karena
pada hari itu, tanah liat ayah kalian, Adam, dicetak. Pada hari itu, kiamat dan
kebangkitan terjadi. Pada hari itu pula, kehancuran melanda. Di akhir tiga
waktu pada hari itu, ada satu waktu, barang siapa yang berdoa kepada Allah pada
waktu itu pasti doanya dikabulkan.”
Menurut salah satu pendapat, bahwa orang
pertama kali yang memberi nama hari Jumat adalah Ka’ab bin Lu’ai. Tatkala itu,
orang-orang Quraisy berkumpul mendatanginya pada hari itu, kemudian ia
berkhutbah dan menyampaikan wasiat taqwa,memberikan pelajaran kepada mereka.
وكعب
بن لؤي الجَمْعة يوم اجتماعهم للصلاة جماعة. ومن هنا جاء تقديسهم لهذا اليوم. أول
من جمع يوم العروبة. وكانت قريش تجتمع إليه في هذا اليوم، فيخطبهم ويذكرهم بمبعث
النبي. وقيل: بل سمي يوم الجمعة لأن قريشاً كانت تجتمع فيه إلى قصيّ في دار
الندوة، ولذلك كانوا يفتحون فيه الجيم بمعنى التآلف والاجتماع. وفي الإسلام صار
يوم.
Hari Jumat tidak sekadar nama, ia adalah
waktu penyatuan umat, penguatan visi dan misi (buktinya, ketika khatib sudah
membacakan khutbahnya, jamaah dilarang berbicara), serta penguatan jalinan
silaturahim antar-hamba Allah dalam satu keimanan dan peningkatan ketaqwaan
sebagaimana pesan dalam khutbah Jumat, dan tidak hanya memikirkan dunia yang
fana belaka (wadzarul bai').
Walau hari Jumat mengganti hari Arubah, numun
karena kadar keimanan dan ketaqwaan itu berbeda, maka keangkuhan tak akan
pernah terkikis habis. Hasad, dengki, pamer, sombong akan selalu hadir,
sepanjang sejarah manusia masih tercatat di muka bumi.
Allahu'alam bissawab. *****
Referensi:
Ruhul al-Ma'ani, Mu'jam Al-Lughah Al-Arabiyah
Al-Ma'shirah, Raghib aS-Sirjani, Ta’arraf ‘ala Asma al-Ayyam wa asy-Syuhur fi
Jahiliyah, Shubhul A'Sya, al-Ayyam wa Layali.
[]
Ustadz Halimi Zuhdy, Dosen Bahasa dan Sastra
Arab UIN Malang; Khadim Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar