Membangun Manusia Merdeka
Oleh: Yudi Latif
Visi Pemerintahan Joko Widodo periode kedua, yang bertekad
menggencarkan pembangunan sumber daya manusia (SDM), menuai sambutan antusias
sekaligus cemas. Mahabenar menjadikan pembangunan manusia sebagai pusat
perhatian. Soedjatmoko mengingatkan, “Manusia adalah pangkal dan ujung
pembangunan.” Kemerdekaan Indonesia dihayati sebagai berakhirnya segala bentuk
diskriminasi yang mengekang pilihan manusia untuk mengembangkan diri.
Komitmen politik untuk memenuhi hasrat seperti itu tertuang pada
Pasal 31 UUD 1945: “Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”.
Bagi Ki Hadjar Dewantara, penggagas pasal itu, pendidikan merupakan wahana
pembangunan bangsa yang maju, bermartabat, sejahtera, dan merdeka lahir-batin.
Untuk itu, pendidikan harus menumbuhkan jiwa merdeka dengan sifat berdiri
sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur diri sendiri.
Masalahnya, membangun manusia itu tak semudah membangun
infrastruktur fisik. Ia memerlukan pemahaman (disiplin berpikir) yang lebih
dalam, pilihan kebijakan yang lebih tepat, eksekusi program yang lebih
kreatif–inovatif, serta pelaksanaan program prioritas secara berkesinambungan.
Harus diakui, 74 tahun Indonesia merdeka, pembangunan manusia
Indonesia merupakan dimensi pembangunan yang amat terbelakang. Padahal, dalam
falsafah iringan kereta berkuda, tingkat kecepatan kuda berlari tidak
ditentukan oleh kuda yang larinya paling kencang, melainkan oleh kuda yang
larinya paling lambat. Sekencang apapun pembangunan sektor lain kita pacu, laju
pembangunan secara keseluruhan akan bergerak lambat karena keterbelakangan
pembangunan manusia.
Ukuran-ukuran untuk menakar kualitas pembangunan manusia meliputi
banyak dimensi, malampaui aspek-aspek yang berkatan dengan (persiapan)
ketenagakerjaan. Dalam indikator makro, United Nation Development Program
(UNDP) menakar pembangunan manusia melalui Human Development Index (Indeks
Pembangunan Manusia/IPM), yang meliputi indikator kesehatan (harapan hidup),
pendidikan (lama sekolah bagi orang dewasa umur 25 tahun serta harapan bersekolah
bagi anak-anak usia sekolah), dan pendapatan nasional bruto per kapita.
Terhadap HDI, ada juga yang menambahkan indeks yang berkaitan dengan jaminan
sosial dan kesehatan.
Selain itu, taraf pembangunan manusia juga bisa dilihat dari
ukuran-ukuran yang berkaitan dengan tingkat keinovasian dan usaha memajukan
sumber daya (perekonomian) berbasis pengetahuan. Ukuran yang dipakai biasanya
menggunakan Knowledge Economy Index (KEI) dan Knowledge Index (KI); Innovation
Index (II), serta indeks Economy Incentive Regime (EIR), dan Information and
Communication Technology (ICT).
Di atas itu semua, pembangunan manusia harus berjejak pada
ukuran-ukuran yang berkaitan dengan indeks modal sosial-budaya. Yakni, modal
jaringan-jaringan konektivitas dan inklusivitas sosial yang menguatkan kohesi
sosial, yang menjadi tumpuan rasa saling percaya (mutual trust). Seperti diingatkan oleh Jared
Diamond (2019), penerimaan yang luas atas kesamaan identitas nasional merupakan
prakondisi yang diperlukan bagi pembangunan di bidang apapun.
Oleh karena itu, perhatian terhadap variabel budaya dan karakter
kewargaan sangat penting dalam kerangka pembangunan manusia. Ukurannya bisa
menggunakan Global Social Tolerance Index, dengan menilai tingkat pengakuan dan
penerimaan terhadap yang berbeda, kesediaan menerima kesetaraan hak, serta
pengendalian diri dari sikap intoleran secara terbuka dalam isu gender,
minoritas, dan agama. Untuk melengkapinya, bisa ditambahkan Indeks Demokrasi.
Mengaca diri
Transformasi apapun yang kita kehendaki harus dimulai dari
kesadaran bersama akan adanya krisis. Kita tak bisa melakukan perubahan, tanpa
kejujuran untuk mengakui adanya persoalan. Kita harus berhenti melebih-lebihkan
capaian kosmetik, dengan melupakan problem besar yang terus kita abaikan. Dengan
lapang dada, harus kita akui bahwa pembangunan manusia Indonesia secara umum
sangat memprihatinkan.
Semula ada anggapan bahwa keterbelakangan pembangunan manusia itu
merupakan konsekuensi dari besarnya jumlah penduduk Indonesia. Nyatanya, IPM di
negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia berjalan maju. Selain
Amerika Serikat (AS), capaian tinggi dalam IPM juga bisa dilihat dari
negara-negara berpenduduk besar dalam kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India,
China, Afrika Selatan), yang perkembangan perekonomiannya pada tahun 2050
diperkirakan akan lebih besar dari kelompok G7.
Berdasarkan IPM tahun 2018, dari 189 negara, AS dan Rusia masuk
kategori sangat tinggi (urutan 13 dan 49); Brasil dan China masuk kategori
tinggi (79 dan 86). Cuma India yang masuk ketegori menengah bawah (130). Meski
demikian, dalam kategori yang berkaitan dengan indeks inovasi, India
menunjukkan perkembangan yang mengesankan, sebagai negara dengan pertumbuhan
teknologi tinggi yang cepat, penyedia jasa outsourcing
utama, serta pemasok transfer teknologi ke negara-negara berkembang.
IPM Indonesia masuk kategori menengah bawah. Meski IPM Indonesia
mengalami tren kenaikan, namun kecepatan pembangunan manusia di negara-negara
lain membuat peringkat Indonesia pada IPM antarbangsa cenderung menurun (dari
urutan 110 pada 2015, 113 pada 2016, dan 116 pada 2018). Harapan hidup dan
kecerdasan manusia Indonesia sudah terganggu sejak dini, karena termasuk negara
dengan banyak penderita gizi buruk akut dan kronis.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2018, pada tahun 2018, 30,8
persen balita negeri ini mengalami stunting.
Angka itu menempatkan Indonesia dalam kategori stunting sangat tinggi, jauh dari target
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 20 persen. Demikian juga dengan kasus
balita dengan gizi buruk dan gizi rendah, angkanya masih 17,7 persen; di atas
ambang batas 10 persen yang ditetapkan WHO.
Lama sekolah dan kualifikasi ketenagakerjaan manusia Indonesia
juga masih rendah. Berdasarkan hasil Sensus Nasional 2018, rata-rata lama
sekolah penduduk Indonesia tahun 2017 adalah 8,5 tahun. Artinya, secara
rata-rata hanya mampu sekolah sampai dengan jenjang menengah pertama. Postur
tenaga kerja Indonesia hingga Februari 2018 masih didominasi oleh kalangan
berpendidikan SMP ke bawah (75,99 juta orang atau 59,80 persen dari total
tenaga kerja) dan pendidikan menengah atas (35,87 juta orang atau 28,23
persen). Bandingkan dengan tenaga kerja berlatar pendidikan tinggi yang hanya
berjumlah 15,21 juta (11,97 persen).
Keterpurukan Indonesia juga tampak pada jenis kompetensi yang
diperlukan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya, seperti kemampuan literasi,
numerasi, dan pemecahan masalah, yang diukur berdasarkan hasil tes PIAAC
(Programme for the International Assessment of Adult Competence) dan hasil tes
PISA (Programme for the International Students Assessment).
Hasil terbaru dari kedua tes itu menunjukkan bahwa kemampuan
berfikir dan bernalar anak Indonesia yang berumur 15 tahun juga terpuruk di
peringkat hampir paling bawah. Sementara itu, hasil uji kompetensi guru secara
nasional, rata-rata hanya mencapai 53,02. Angka tersebut masih belum mencapai
angka standar kompetensi minimal yang ditetapkan, yakni 55,0.
Ketertinggalan juga terlihat pada ukuran-ukuran yang berkaitan dengan
tingkat keinovasian dan ekonomi berbasis pengetahuan. Dari Skor 0-10 dalam
indeks KEI, KI, II, EIR, dan ICT, nilai Indonesia menurun secara gradual dari
3,68 pada 1995, menjadi 3,11 pada 2012. Pada 2019, situasinya belum banyak
berubah. Sehingga peringkat Indonesia masih di urutan seratusan dari 147
negara.
Beruntung Indonesia masih mewarisi sisa-sisa modal sosial yang
kuat. Sebuah bangsa multikultural yang dipersatukan dengan nilai-nilai
Pancasila dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Akan tetapi, perkembangannya
saat ini pun mulai merisaukan dengan tren peluluhan. Peringkat Indonesia pada
Global Social Tolerance Index tahun 2017, berada di urutan 48 dari 56 negara.
Masih lebih baik dari kebanyakan negara-negara Muslim, termasuk Malaysia (51),
namun di bawah negeri jiran Vietnam (37) dan Thailand (47).
Problem peluluhan modal sosial ini lebih jelas bila menengok
Indeks Demokrasi Indonesia. Selama beberapa tahun, tingkat demokrasi Indonesia
terus berada pada kategori sedang. Pada 2017, secara umum, memang ada kenaikan
2,30 poin dari tahun sebelumnya. Namun, gerak mundur terlihat pada variabel
yang berkaitan dengan kohesi sosial, yakni pada tingkat kebebasan berkumpul dan
berserikat (-3,63), kebebasan berpendapat (-6,20), juga implikasinya bagi variabel
peradilan independen (-5,05). Gambarannya bisa lebih buruk bila mengingat
fragmentasi sosial dalam prosesi pemilihan umum selama 2018/2019.
Dengan mempertimbangkan problem-problem yang dihadapi, tujuan
pembangunan manusia adalah memperluas pilihan-pilihan warga dengan menumbuhkan
manusia Indonesia yang sehat jasmani-rohani, berkarakter kuat, berkreativitas
tinggi, berkompetensi unggul dalam penguasaan iptek dalam rangka tata kelola
dan pemecahan masalah bangsa, demi terwujudnya cita-cita nasional.
Dalam implementasinya, usaha membangun manusia Indonesia itu tidak
perlu dilakukan dengan cara reinventing
the wheel. Kita bisa belajar dari praktik-praktik terbaik yang
telah terbukti mengantarkan bangsa-bangsa lain meraih keberhasilan. Tentu saja
dalam mengambil contoh dari negara-negara lain itu harus sungguh-sungguh
dipertimbangkan ketepatan kontekstualisasinya bagi Indonesia secara filosofis,
geografis, sosio-historis, dan kemajemukan kultural.
Dalam kaitan dengan faktor-faktor yang berkontribusi langsung
terhadap peningkatan mutu sumber daya manusia, perhatian bisa diberikan pada
sektor pendidikan dasar-menengah, pendidikan vokasi dan keteknikan, serta
kegiatan riset dan inovasi. Meski demikian, pembangunan sektor ini tidak bisa
berdiri sendiri; melainkan perlu jalinan keterpaduan antara rezim
pendidikan-iptek, rezim kebijakan-tata kelola, serta rezim ekonomi-produksi.
Prioritas rezim pendidikan-iptek
Rezim pendidikan-iptek sebaiknya memulai langkah transformatifnya
dengan membenahi pendidikan dasar, lantas bergeser ke jenjang berikutnya. Ini
adalah langkah umum yang ditempuh banyak negara, dengan contoh suksesnya
seperti Finlandia, Jepang, dan Brasil.
Pendidikan dasar bertujuan menyiapkan peserta didik menjadi
manusia pembelajar dan warga negara yang baik. Sebelum memasuki Sekolah Dasar
(SD), pendidikan usia dinia menjadi wahana pembentukan karakter personal dengan
belajar mengenali dirinya dan lingkungannya, rasa ingin tahu serta sehat
jasmani-rohani dengan melatih berfungsinya panca-indra. Pada tahap ini, harus
dihindari pemaksaan dini aneka jenis hapalan dan kemampuan literasi-numerik.
Pendidikan SD harus menghindari beban kurikulum yang berlebihan.
Yang perlu ditumbuhkan adalah kecapakan (ilmu) dasar manusia pembelajar: budaya
membaca, menulis, menghitung, dan menutur. Penguasaan keempat ilmu dasar itu
dikombinasikan dengan empat wahana pembentukan karakter dan kreativitas: olah
pikir (critical thinking
dan problem solving),
olah rasa (spiritualitas, etika, dan estetika), olah raga (permainan dan
ketangkasan kinestetik), serta olah karsa (kemauan/imajinasi kreatif).
Dengan empat kecakapan ilmu dasar, peserta didik memiliki kunci
untuk memasuki dunia pengetahun sebagai pembelajar yang baik. Dengan empat
wahana pembentukan karakter dan kreativitas, peserta didik memiliki kunci untuk
memasuki dunia kehidupan sebagai warga negara (dunia) yang baik.
Di tingkat SD, pengetahuan sebagai disiplin ilmu belum perlu
diajarkan. Biarkan anak menjelajahi bacaan dan bidang pengetahun apapun yang
disukainya tanpa sekat-sekat keilmuan yang ketat. Di Finlandia, misalnya,
pelajaran matematika di SD dihilangkan, digantikan pelajaran berhitung sebagai
kecakapan dasar.
Sekolah cukup menyediakan bahan bacaan terseleksi, sehingga jenis
bacaan apapun yang dipilih siswa bisa mengembangkan wawasan pengetahuan, budi
pekerti, kebangsaan dan imajinasi-kreatif. Dalam rangka mempersiapkan siswa
menjadi warga negara yang baik, bahasa pengantar di tingkat PAUD dan SD harus
menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa asing boleh diperkenalkan paling cepat
setelah kelas empat.
Di tingkat SLTP, berbagai mata pelajaran menurut rumpun ilmu bisa
mulai diperkenalkan, namun fungsinya sebatas mempersiapkan peserta didik untuk
menghadapi pelajaran sesungguhnya di tingkat SLTA. Sekolah sesungguhnya, dalam
arti mendalami keilmuan, dimulai pada tingkat SLTA. Meski demikian, penjurusan
pada tingkat ini belum diperlukan. Biarkan anak mengenali berbagai ilmu, agar
memiliki wawasan multidisiplin, seraya lebih menyadari bidang keilmuan apa yang
sesuai dengan predisposisinya.
Di AS, misalnya, pada umumnya tidak ada penjurusan sampai SLTA.
Meski tanpa penjurusan, sistem kurikulum harus mempertimbangkan ragam
kecerdasan insani, yang mengharuskan sekolah beringsut dari pembelajaran
berbasis kelas ke pembelaran berbasis individu.
Harap diingat, sistem kelas yang tersusun berdasarkan kelompok
umur bukanlah suatu keniscayaan, melainkan pilihan. Pada awal sejarah
pendidikan di kebanyakan negara, kelas disusun bukanlah berdasarkan kesamaan
umur, melainkan kesamaan minat akan mata pelajaran. Alhasil, orang dari ragam
usia bisa dalam kelas yang sama sejauh meminati pelajaran yang sama. Dalam
tradisi pesantren, hal itu disebut dengan praktik bandongan atau wetonan.
Sistem kelas berdasarkan kelompok usia mulai diperkenalkan di
Prusia (Jerman dan sekitarnya) pada awal abad ke-19, sebagai strategi untuk
merestorasi kekuatan militer Prusia pasca kekalahan yang memalukan dari tentara
Perancis di bawah Napoleon pada perang Jena dan Auerstadt pada 1806. Dalam
rangka menanamkan semangat tempur dan menumbuhkan kembali kebanggaan Prusia
sebagai bangsa gemar berperang, para pemimpin Prusia mengorganisasikan sekolah
seperti unit-unit militer.
Siswa dikelompokkan ke dalam peleton-peleton berdasarkan kesamaan
umur di bawah komando seorang kepala skuadron; suatu sistem persekolahan
sebagai transisi lurus menuju pelayanan militer. Karena pertimbangan efisiensi,
sistem sekolah seperti ini lantas diadopsi berbagai negara, hingga saat ini
seolah menjadi norma (Bauer, 2018).
Meski sistem kelas berdasarkan kelompok usia sulit dihindari,
sistem pembelajaran harus mempertimbangkan perbedaan kecerdasaan dan preferensi
siswa. Oleh karena itu, di tingkat sekolah menengah, mata pelajaran wajib (mandatory subjects) dibuat
ringkas, untuk memberi lebih banyak ruang bagi pelajaran pilihan (elective subjects).
Dengan memberi ruang besar bagi pelajaran pilihan, siswa juga bisa
diperkenalkan dengan experiential
learning dan kecakapan hidup, baik melalui kerja kelompok
minat-bakat, maupun lewat pemagangan. Di Inggris, dianjurkan agar anak lulusan
SLTA jeda sejenak, tidak langsung melanjutkan ke perguruan tinggi (PT), agar
memperoleh pengalaman kerja.
Pada tingkat PT, orientasi pendidikan bukanlah menjadi world class university
seperti secara latah didedungkan, melainkan menjadi pilar penting dalam
mendukung pembangunan nasional. Menjadi universitas kelas dunia hanyalah dampak
ikutan manakala penyelenggaraan Tridharma dalam kerangka pembangunan nasional
itu dijalankan secara sungguh-sungguh dengan memberi nilai tambah secara
efektif, efisien, dan unggul secara berkesinambungan.
Tranformasi PT harus memperhatikan pemerataan sebaran, perbaikan
mutu, dan keseimbangan proporsi bidang studi. Dengan total penduduk sekitar 250
juta jiwa, Indonesia memiliki sekitar 4.350 perguruan tinggi. Bandingkan dengan
China dengan sekitar 1,4 miliar jiwa, tetapi jumlah perguruan tingginya lebih
sedikit dari Indonesia (2.824).
Dengan kata lain, isu krusialnya bukanlah jumlah, melainkan
masalah pemerataan sebaran antarwilayah, serta rendahnya mutu sebagian besar PT
kita. Selain itu, proporsi mahasiswa dalam bidang sosial-humaniora jauh
melebihi mereka yang menekuni bidang sains dan teknologi (keinsinyuran).
Padahal, tranformasi menuju ekonomi berbasis pengetahuan memerlukan penguasaan
teknologi berbasis riset dan inovasi, yang terkait erat dengan studi-studi di
bidang keinsinyuran.
Menurut data Kemenristekdikti 2018, jumlah mahasiswa di Indonesia
ada 8,04 juta. Jumlah mahasiswa (dan lulusan) bidang keinsinyuran hanya 14
persen dari jumlah seluruh mahasiswa di Indonesia (sekitar 50 persen belajar
teknik komputer), dengan tingkat putus kuliah paling tinggi (4,66 persen).
Bandingkan dengan proporsi lulusan bidang keinsinyuran di Korea Selatan (38
persen), China (33 persen), dan bahkan Malaysia (25 persen). Akibatnya,
Indonesia mengalami defisit insinyur. Idealnya, dalam 1.000 penduduk ada 200
insinyur.
Di Indonesia, hanya ada 2.671 insinyur per 1 juta penduduk;
bandingkan dengan Malaysia (3.333), Vietnam (9.037), Korea Selatan (25.309).
Persoalannya tambah pelik, karena dari sekitar 100.000 lulusan bidang
keinsinyuran, hanya sekitar 5.000 yang bekerja secara profesional sesuai dengan
bidangnya. Dengan demikian, selain perlu dikeluarkan kebijakan insentif dan
afirmatif bagi mereka yang kuliah di bidang keinsinyuran, perlu juga dipikirkan
keterkaitannya dengan pembangunan sektor industri.
Meskipun rezim pendidikan-iptek perlu memberikan perhatian lebih
pada bidang-bidang keinsinyuran, mahasiswa PT secara keseluruhan harus
dipersiapkan untuk memiliki fleksibilitas dalam merespons tantangan perubahan
yang makin cepat. PT tidak dirancang untuk mencetak “batu bata”, hanya karena melambungnya
tren permintaan pasar, melainkan menyiapkan “tanah liat” yang memiliki
kelenturan menjadi apapun sesuai dengan perkembangan kebutuhan.
Kita bisa belajar dari China, dengan fokus kebijakannya untuk
mengubah tendensi pembelajaran spesialisasi yang berlebihan menuju penyiapan
pembelajar generalis yang mampu berpikir secara independen dan inovatif.
Hanya saja, agar tenaga-tenaga generalis ini memiliki keterampilan yang
dibutuhkan oleh dunia kerja (kehidupan), maka para mahasiswa dibekali experiential learning
lewat pemagangan. Rumusnya adalah 2+1 (dua tahun belajar di universitas, 1
tahun magang di perusahaan/lapangan kerja lainnya; atau 2 tahun belajar di
kota, 1 tahun belajar di desa; atau 2 tahun belajar di Wilayah Barat, 1 tahun
di Wilayah Timur).
Di luar jalur pendidikan umum, bisa disiapkan jalur pendidikan
vokasi dan spesialis, baik di tingkat sekolah menengah maupun perguruan tinggi
(politeknik). Sifat pendidikan vokasi memang menyiapkan tenaga kejuruan yang
bisa segera memenuhi permintaan pasar. Akan tetapi, kecepatan disrupsi dalam
perkembangan teknologi saat ini, memerlukan penyiapan mentalitas yang harus
ditumbuhkan pada jiwa tenaga-tenaga kejuruan ini: yakni kesediaan menjalani
pembelajaran secara berkesinambungan, lewat proses reskilling dan upskilling.
Peningkatan keterampilan tenaga kejuruan ini bisa lewat jalur
vertikal dan horisontal. Secara vertikal, mereka bisa melanjutkan ke jenjang
pendidikan vokasi yang lebih tinggi. Secara horisontal, lembaga pendidikan
vokasi ini harus terhubung dengan balai-balai latihan kerja (BLK), bagi mereka
yang tak bisa lagi bersekolah atau sudah bekerja.
Kita bisa belajar pada India, dalam ekspansi pendidikan vokasi dan
spesialis serta perhatian besarnya pada peningkatan kualitas lembaga-lembaga pelatihan.
Target pesertanya tiap tahun terus berkembang dari 3 menjadi 11 tahun selama
lima tahun terakhir. Pada 2022, ditargetkan lebih dari 500 juta orang mengikuti
skill training
dan retraining.
Prioritas rezim kebijakan-tata kelola
Semua itu memerlukan sisistem manajemen tata kelola pendidikan
yang tepat. Rezim pendidikan harus memilih apakah mau mengikuti model Perancis
dengan manajemen terpusat (urusan pemerintahan pusat), atau model Amerika
Serikat yang diserahkan ke pemerintahan daerah, atau model Finlandia yang
memberikan otonomi kepada sekolah. Model Finlandia memang efektif.
Otonomi yang diberikan ke sekolah bisa mendorong kreativitas
komunitas sekolah, seraya menciptakan ekosistem kompetisi yang sehat, yang
secara keseluruhan bisa dengan cepat meningkatkan mutu pendidikan di sana. Akan
tetapi, Indonesia adalah negara kepulauan (hampir) seluas benua, dengan
keragaman horisontal dan vertikal (level peradaban) yang kompleks.
Problem Indonesia adalah ketidakmerataan sebaran guru dan sekolah,
baik secara kuantitas maupun kualitas. Menyerahkan urusan sepenuhnya ke pusat,
menyulitkan distribusi pendidikan sesuai dengan keragaman kondisi daerah.
Menyerahkan urusan sepenuhnya ke daerah, menyulitkan mobilisasi sumber daya
untuk dipindahkan dari daerah yang berlebih ke daerah yang kekurangan.
Selain itu, praktik Pilkada langsung, dengan ongkos mahal dan tim
sukses yang luas, seringkali berimplikasi pada penempatan orang-orang yang
tidak kompeten dalam rezim pendidikan daerah. Untuk itu, kita bisa meniru model
Rusia, yang menerapkan desentralisasi secara parsial. Untuk urusan pembangunan,
pengadaan dan pemeliharaan hal-hal fisik bisa diserahkan ke daerah. Adapun
untuk urusan kurikulum dan guru masih menjadi urusan pusat.
Selanjutnya, pemerintah pusat bisa menerapkan kebijakan asimetri.
Terhadap daerah dengan rasio kecukupan, sebaran dan mutu guru sudah relatif
baik, otonomi yang luas bisa diberikan ke daerah. Pemerintah juga bisa
memberikan otonomi kepada sekolah yang telah memenuhi standar akreditasi.
Pemerintah pusat hanya menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum,
selebihnya sekolah bisa mengembangkan kreativitasnya masing-masing. Terhadap
daerah yang belum memenuhi hal itu, pemerintah pusat masih harus melakukan
tugas-tugas penempatan guru, asistensi penyusunan kurikulum, peningkatan mutu
guru dan sekolah.
Untuk mempercepat peningkatan mutu sekolah di daerah-daerah
terbelakang, kita bisa meniru model Finlandia dan Jepang. Di kawasan
miskin-terbelakang, guru harus menangani jumlah murid yang lebih sedikit
dibanding di kawasan kaya-maju. Itulah rahasia, mengapa di dua negara itu
pemerataan mutu pendidikan lebih baik. Perlakuan sebaliknya justru terjadi di
AS, yang mengakibatkan kesenjangan kaya-miskin di AS kian tajam (Diamond,
2019). Selain itu, perlu dorongan (insentif) kepada sekolah-sekolah yang
bermutu di satu daerah untuk mengembangkan sister
school di daerah lain.
Terhadap daerah-daerah paling terpencil, terbelakang, dan
terpinggir, yang sulit dijangkau oleh sistem pendidikan konvensional, karena
kesulitan guru dan pendirian sekolah baku, pemerintah bisa mengadosi sistem
“sekolah carteran” (charter
school) seperti terbukti efektif di AS. Pemerintah pusat bisa
mencarter aktor-aktor non-negara (LSM) yang berpengalaman dalam pemberdayaan (pendidikan)
masyarakat marginal untuk menjalankan pendidikan secara independen dengan
menerima dana dari pemerintah. Untuk menjaga mutu, besaran dana yang diberikan
akan disesuaikan dengan tingkat capaian sekolah itu baik dari segi kuantitas
(jumlah peserta didik) maupun kualitas.
Untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, mungkin tak bisa
meniru Brasil yang menerapkan akses bebas memasuki pendidikan. Namun,
setidaknya untuk jenjang pendidikan wajib belajar, subsidi pemerintah juga
harus diberikan kepada sekolah-sekolah swasta; terutama sekolah swasta untuk
kalangan menengah-bawah dan miskin.
Dalam kaitan dengan pengembangan pendidikan vokasi dan pelatihan
keterampilan, masalah mentalitas yang dihadapai adalah kecenderungan publik
Indonesia yang memandang pendidikan vokasi dan BLK sebagai sesuatu yang kurang
prestisius dibanding pendidikan umum (SMA atau universitas). Dampak
turunannya, sekalipun jumlah peserta didik di pendidikan vokasi masih relatif
kecil, lulusan sekolah kejuruan justru menyumbang angka pengangguran yang
tinggi.
Selain itu, kelemahan lulusan sekolah kejuruan yang dilatih
terlalu spesialis, daya kreatifnya kurang fleksibel dalam menghadapi
perkembangan baru. Tendensi seperti itu juga terjadi di China dan Rusia.
Jalan keluar yang diambil China dan Rusia adalah meningkatkan mutu pendidikan
vokasi dengan menekankan keterampilan yang tepat guna, seraya membekali peserta
didik di pendidikan umum dengan experiential
learning. Dengan demikian, kekurangan angka partisipasi di
lembaga pendidikan vokasi bisa dikompensasikan oleh kemampuan keluaran
pendidikan umum yang memiliki keterampilan.
Dalam manajemen PT, otonomi luas bisa diberikan kepada
universitas. Untuk menjaga mutu, pemberian otonomi itu perlu dibarengi dengan
model China. Yakni keberadaan badan khusus untuk mengevaluasi efektivitas dan
efisiensi. Setiap PT harus dilakukan penilaian kualitas tiap lima tahun, yang
dilakukan bersama oleh badan negara serta badan independen. Selain itu, ada badan
penjaga jaminan mutu, yang membantu PT meningkatkan mutu.
Untuk meningkatkan relevansi pendidikan (terutama PT) dengan
tantangan pembangunan, perlu diusahakan hubungan yang lebih erat antara PT,
lembaga-lembaga riset dan ilmu pengetahuan, serta dunia usaha/dunia kerja; juga
antara pendidikan, kebudayaan, dan kemajuan sosial. Dalam kaitan dengan
keperluan pemagangan, pemerintah memandatkan dunia usaha/dunia kerja agar mau
menerima pemagangan siswa/mahasiswa dengan memberikan insentif khusus.
Semua rancangan tata kelola itu hanya bisa dijalankan dengan
prasyarat mutu tenaga kependidikan. Peningkatan mutu guru harus menjadi
prioritas. Pertama, perlu jaminan mutu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK). Perlu perbaikan lembaga sertifikasi guru. Untuk menjadi guru, lulusan
non-LPTK harus mengikuti pendidikan sertifikasi guru paling sedikit selama 1
tahun—lebih utama dijalankan dalam bentuk sekolah berasrama. Ketiga,
peningkatan kompetensi guru secara berkesinambungan.
Calon-calon guru bermutu hanya bisa terjaring dengan meningkatkan
derajat guru. Di Finlandia dan Jepang, profesi guru sangat terhormat dengan
standar gaji yang tinggi, bahkan dibanding dengan profesi lain. Di Finlandia,
hanya lulusan perguruan tinggi terbaik yang bisa menjadi guru. Menjadi guru di
tingkat pendidikan dasar-menengah bahkan dipandang lebih prestisius ketimbang
dosen.
Bagi Indonesia, situasi seperti itu pernah dialami pada masa
Belanda hingga dekade awal kemerdekaan, dengan sebutan “bangsawan fikiran”,
“mantri guru” dan sejenisnya. Jika kita ingin meninggikan mutu manusia
Indonesia, maka kita harus memulihkan derajat guru setinggi itu.
Prioritas rezim ekonomi-produksi
Untuk mencegah mismatch
antara keluaran lembaga pendidikan dengan dunia kerja, yang diperlukan bukan hanya
pembenahan persekolahan, tetapi juga rancangan strategi dan prioritas
pembangunan ekonomi-industri. Hanya dengan itu, lembaga pendidikan dan riset
bisa menentukan pengembangan bidang iptek dan SDM seperti apa yang menjadi area
prioritas.
Untuk mengatasi jebakan kelas menengah bawah dan defisit neraca
perdagangan, Indonesia harus mentransformasikan diri dari perekonomian berbasis
ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi
berbasis industri (knowledge
economy). Ukuran yang berkaitan dengan total factor productivity dan Knowledge
Economy Index menunjukkan betapa rendahnya kontribusi nilai tambah iptek
dan tingkat inovasi Indonesia bagi pertumbuhan ekonomi.
Arah kebijakan pengembangan teknologi dan industri kita bisa belajar
dari bangsa lain, tetapi tidak perlu sama. Kita bisa memberikan prioritas pada
pengembangan iptek yang bisa memberi nilai tambah terhadap comparative advantage
(kekhasan potensi) Indonesia. Lautan yang luas menunggu sentuhan pengembangan
teknologi dan industri kemaritiman. Tanah yang relatif subur, perlu
bioteknologi dan agroindustri. Negeri yang indah perlu teknologi dan industri
kepariwisataan. Jiwa estetik yang kuat, perlu teknologi dan industri kesenian.
Kekayaan sumber energi terbarukan perlu pengembangan teknologi dan industri
energi alternatif, dan seterusnya.
Dengan prioritas pengembangan teknologi dan industri seperti itu,
lembaga pendidikan dan riset bisa menentukan area prioritas apa dan jenis SDM
seperti apa yang menjadi prioritas pengembangan. Setiap tahun, Lembaga
Pengelola Dana Pendikan (LPDP) mengeluarkan begitu banyak uang untuk memberikan
beasiswa bagi bibit-bibit dan talenta muda Indonesia. Namun sebegitu jauh,
belum ada cetak biru yang jelas, area prioritas apa yang menjadi sasaran.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian harus duduk bersama, untuk merumuskan area
prioritas ini, setelah strategi dan prioritas pembangunan ekonomi-industri
ditetapkan.
Selain itu, keterkaitan antara aktivitas riset dengan dunia usaha
juga perlu diperkuat. Problem riset Indonesia terlalu memusat pada lembaga
riset negara. Kurang ada terobosan untuk membawa aktivitas dan hasil riset ke
jantung masyarakat. Bagaimana pun juga, riset inovatif itu harus sampai ke
pasar. Oleh karena itu, kegiatan riset mestinya menjadi bagian organik dari
dunia usaha.
Kebijakan yang harus ditempuh bukan dengan jalan terus menambah
birokrasi baru lembaga riset negara, melainkan harus mendorong pembudayaan riset-inovasi
di dunia usaha, dengan berbagai kerangka kebijakan fiskal (insentif pajak dan
permodalan). Di Amerika, misalnya, anak-anak muda cemerlang dengan ide-ide
teknologi inovatif bisa membangun start-up
dengan pinjaman modal ventura. Memang tidak semua berhasil; tetapi selalu ada
beberapa yang sukses mengembangkan perusahaan berbasis pengetahuan berskala
global, seperti Microsoft, Apple, Facebook, dan lain-lain.
Demikianlah, gambaran peta persoalan dan pilihan-pilihan solusi
yang bisa dipertimbangkan dalam kerangka merealiasikan niat luhur membangun
manusia Indonesia. Seperti slogan pemerintahan China, “manusia adalah akar dari
segala hal”. Tanpa akar yang kuat, pohon (sejarah) pembangunan apa pun mudah tumbang
diterjang angin. Untuk itu, mari kita bangun manusia Indonesia sepenuh hati,
setinggi akal, dan sedalam komitmen perbuatan. []
KOMPAS. 16 Agustus 2019
Yudi Latif | Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar