Arisan Kurban, Awas Riba!
Arisan kurban adalah sebuah akad yang
dilakukan secara bersama-sama antara dua orang atau lebih untuk mengadakan
kurban. Komitmen peserta biasanya adalah mereka secara patungan bergantian
membelikan hewan yang masuk kriteria hewan kurban, dengan peruntukkan untuk
memenuhi kurbannya peserta yang mendapatkan undian di tahun tertentu. Komitmen
ini biasanya dibangun atas dasar memperingan kebutuhan pengeluaran untuk
membeli hewan kurban di antara peserta, dari yang semula harus ditanggung
sendiri, menjadi digotong secara bersama-sama.
Misalnya, ditetapkan bahwa objek hewan kurban
adalah kambing dengan harga ditentukan 2.5 juta rupiah dengan digotong oleh 5
orang, sehingga masing-masing peserta harus urun 500 ribu. Dalam praktik yang
berlaku, ternyata harga kambing tidak selalu 2.5 juta rupiah. Kadang harga
tersebut mengalami kenaikan sebesar 2.6 juta, atau bahkan mengalami penurunan
dengan harga 2.4 juta rupiah. Berangkat dari sini muncul permasalahan fiqih, di
antaranya:
1. Bagaimana jika harga kambing mengalami
kenaikan sebesar 2.6 juta?
2. Dalam kondisi seperti ini, apakah boleh pihak peserta ditarik iuran tambahan lagi, mengingat harga 2.5 juta belum mendapatkan kambing kurban?
3. Bagaimana pula apabila harga kambing mengalami penurunan sebesar 2.4 juta, yang berarti ada uang lebih sebesar 100 ribu? Apakah status uang ini bisa langsung dijadikan kas bersama, ataukah diberikan kepada pihak yang mendapat undian saat itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, sebenarnya
dibutuhkan pengetahuan mengenai hakikat daripada akad "arisan".
Pengetahuan ini akan nampak jelas bila kita runut pola dasar
"arisan". Dalam kenyataannya, setiap "arisan" dilakukan
dengan praktik menyetorkan uang. Peserta yang mendapatkan undian, dan
mendapatkan uang yang dikumpulkan secara bersama-sama, ia tetap memiliki
kewajiban untuk terus setor keuangan di kemudian hari, sampai tahun terakhir
ditentukan. Dengan demikian, secara tidak langsung, peserta yang mendapat
undian di awal-awal arisan, hakikatnya memiliki tanggungan berupa
"utang" kepada peserta arisan lainnya yang belum mendapatkan.
Nah, persoalan berikutnya adalah apa yang
menjadi objek utang? Jika dilihat dari setorannya yang berupa "uang",
maka jelas bahwa objek utangnya (ma'qûd 'alaih)-nya adalah uang. Dengan
demikian, bilamana terjadi penambahan pada uang di tengah-tengah masa stor
arisan, maka tidak diragukan lagi, bahwa tambahan tersebut masuk unsur
riba qardli, yaitu riba utang-piutang.
Kalau begitu, bila terjadi lonjakan harga kambing, maka pihak yang menerima arisan adalah pihak yang bertanggung jawab untuk menambah harga. Dan sebaliknya, bila terjadi penurunan harga, maka pihak yang mendapat undian bertindak selaku yang menerima kembalian. Ini adalah pendapat pertama. Pendapat ini merupakan pendapat yang terkuat, mengingat dhahir akad adalah berupa stor uang. Menurut Al-Syirbiny, dalam utang berupa uang, maka yang wajib dikembalikan adalah padanan nilai uang tersebut, meski uangnya sudah tidak berlaku lagi.
Kalau begitu, bila terjadi lonjakan harga kambing, maka pihak yang menerima arisan adalah pihak yang bertanggung jawab untuk menambah harga. Dan sebaliknya, bila terjadi penurunan harga, maka pihak yang mendapat undian bertindak selaku yang menerima kembalian. Ini adalah pendapat pertama. Pendapat ini merupakan pendapat yang terkuat, mengingat dhahir akad adalah berupa stor uang. Menurut Al-Syirbiny, dalam utang berupa uang, maka yang wajib dikembalikan adalah padanan nilai uang tersebut, meski uangnya sudah tidak berlaku lagi.
(وَيُرَدُّ) فِي
الْقَرْضِ (الْمِثْلُ فِي الْمِثْلِيِّ) لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إلَى حَقِّهِ وَلَوْ
فِي نَقْدٍ بَطَلَ التَّعَامُلُ بِهِ
Artinya: "Dalam qardlu (utang piutang) yang dikembalikan adalah padanannya ketika yang diutang adalah perkara yang ada padanannya (mitsly), karena hal itu adalah yang lebih mendekati untuk menngembalikan hak orang yang memberi utang, walau berupa uang yang sudah tidak laku digunakan untuk jual beli lagi." (Syamsu al-Dïn Muhammad al-Khathib al-Syirbiny, Mughny al-Muhtaj, Beirut: Dâr al-Ma'rifah, tt.: 2/155)
Bagaimana dengan pendapat kedua? Pendapat
kedua menyatakan bahwa pada hakikatnya, para peserta tidak menjadikan objek
akadnya berupa uang, melainkan "hewan kurban." Maksud dari hewan
kurban ini adalah hewan yang sudah cukup usia dan besarnya serta kriterianya
untuk dijadikan hewan kurban. Sifat tertentunya hewan kurban, ciri-ciri dan
spesifikasi hewan kurban, sebagaimana hal itu disepakati oleh peserta arisan,
menjadikan hewan tersebut berkedudukan sebagai harta mutaqawwam. Apa itu
harta mutaqawwam? Harta mutaqawwam adalah harta memiliki
nilai/harga apabila dijual. Misalnya: Kambing. Kambing adalah harta mutaqawwam dan
bisa memiliki nilai apabila ia dijual.
Nah, masih menurut Syeikh al-Syirbiny, utang
berupa barang mutaqawwam adalah wajib mengembalikan berupa
harta mutaqawwam. Utang kambing, wajib mengembalikan berupa kambing. Utang
pupuk, wajib mengembalikan berupa pupuk.
(وَ) يُرَدُّ (
فِي الْمُتَقَوِّمِ الْمِثْلُ صُورَةً ) { لِأَنَّهُ صلى الله عليه وسلم اقْتَرَضَ
بَكْرًا وَرَدَّ رُبَاعِيًّا وَقَالَ : إنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً }
رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: "Sedangkan kalau yang diutang
berupa barang yang bernilai (mutaqawwam) maka yang digunakan membayar adalah
sesuatu yang mempunyai bentuk yang sama, karena Nabi Muhammad SAW pernah utang
seekor unta bikru (unta yang menginjak umur 6 tahun) dan membayarnya
dengan seekor unta ruba’i (unta yang menginjak umur 7 tahun), beliau
bersabda: sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam
membayar utang. HR. Muslim." (Syamsu al-Dïn Muhammad al-Khathib
al-Syirbiny, Mughny al-Muhtaj, Beirut: Dâr al-Ma'rifah, tt.: 2/156)
Bagaimana apabila utang berupa mutaqawwam ini,
dikembalikan berupa uang? Dalam hal ini, Syeikh al-Syirbiny menjawab:
لَوْ
وَجَبَتْ قِيمَتُهُ لَافْتَقَرَ إلَى الْعِلْمِ بِهَا
Artinya: "Seandainya harus membayar
dengan harganya, maka harus diketahui harganya (ketika akad utang-piutang)."
(Syamsu al-Dïn Muhammad al-Khathib al-Syirbiny, Mughny al-Muhtaj, Beirut:
Dâr al-Ma'rifah, tt.: 2/156)
Nah, menyimpulkan dari berbagai uraian di
atas, maka menurut pendapat kedua - terkait dengan arisan kurban - adalah bahwa
objeknya adalah berupa hewan kurban. Jika polanya semacam ini, maka kewajiban
dari peserta arisan kurban setiap tahunnya adalah bukan berupa urunan dengan
besaran nilai tertentu. Akan tetapi, gotong royong dari peserta adalah berupa
mewujudkan adanya hewan yang siap untuk dijadikan hewan kurban.
Bagaimana mungkin hewannya bisa diketahui
sama atau tidak? Kewajiban mengembalikan utang berupa
barang mutaqawwam ini tidak harus sama persis. Yang baku bahwa
pengembalian itu memiliki karakteristik yang sesuai kesepakatan awal dilakukannya
arisan hewan kurban. Bila ada kelebihan sedikit terkait dengan besarnya hewan,
maka dikembalikan sesuai dengan sunnah nabi, bahwa sebaik-baik orang yang
berutang adalah yang paling baik dalam pengembaliannya. Dengan demikian,
bertambah atau berkurangnya nilai uang yang disetorkan, menurut pendapat kedua
ini tidak mengharuskan bagi pihak penerima untuk menambah atau menerima
kembalian. Karena besaran setoran, bersifat fleksibel menyesuaikan harga
hewan. Wallahu a'lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang
Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar