Jual Beli yang Dilarang
Syariat (3): Sebab Waktu Shalat Jumat
Jual beli adalah praktik yang dihalalkan oleh
syara’ dalam rangka mencari rezeki. Namun, syara’ menetapkan bahwa kebolehan
ini tidak mutlak di semua waktu. Syara’ memberikan batasan mengenai waktu
pelaksanaannya. Contoh waktu yang mendapatkan nash larangan melakukan jual beli
adalah jual beli yang bertepatan dengan shalat Jumat.
Dasar dalil yang dipergunakan atas larangan
ini adalah firman Allah dalam QS Al-Jumu’ah: 9:
ياأيها
الذين آمنوا إذا نودي للصلوة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع ذلكم خير
لكم إن كنتم تعلمون
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman,
ketika telah sampai panggilan untuk shalat jumuah, maka bersegeralan ingat
kepada Allah dan tinggalkan jual beli. Demikian itu adalah lebih baik bagi
kalian jika kalian mengetahui.” (Al-Jumu’ah: 9)
Ayat ini mengandung perintah agar bersegera
menuju shalat Jumat dan meninggalkan jual beli. Semua ulama sepakat bahwa ayat
ini menunjukkan status wajibnya shalat Jumat. Oleh karena itu, pelaku transaksi
jual beli yang dilakukan pada hari Jumat, saat adzan Jumat sudah
dikumandangkan, adalah berdosa. Apalagi matahari sudah menunjukkan waktu
tergelincir ke arah barat, dan Imam sudah naik ke atas mimbar, maka larangan
ini mulai berlaku.
Yang menjadi pangkal ikhtilaf ulama adalah
pendapat tentang hukum akad transaksi jual beli yang dilakukan saat adzan.
Apakah jual belinya sah? Dan apakah larangan ini bersifat mutlak ataukah
terbatas? Apakah semua akad juga termasuk yang dikenai hukum wajib
ditinggalkan? Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali diutarakan sehubungan
tetapnya status larangan jual beli saat adzan shalat Jumat.
Terkait dengan sah atau tidaknya akad, ada
dua pendapat ulama yang terkenal. Pendapat pertama memandang bahwa akad
tersebut tidak sah dan wajib dibatalkan. Pendapat ini disampaikan oleh kalangan
ahli dhahir (tekstualis) dari kalangan mazhab Maliki dan mazhab Hanbali.
Masing-masing mazhab ini menyatakan bahwa hukum wajib dikembalikan kepada asal
larangan. Dengan demikian, kalangan mazhab ini menyatakan wajibnya merusak akad
(fasakh akad). Kewajiban ini berlaku untuk semua pedagang secara mutlak, baik
laki-laki maupun perempuan, baik termasuk ahli jum’ah (orang yang wajib shalat
Jumat) maupun bukan. Dengan kata lain, kalangan tekstualis menyatakan hukum
mutlak wajib fasakh (rusak).
Pendapat kedua disampaikan oleh ulama dari
kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Kedua mazhab ini menyatakan bahwa
akad jual belinya adalah sah namun berdosa. Status berdosa ini bersifat
muqayyad (terbatas), yaitu secara khusus berlaku hanya bila transaksi tersebut
dilakukan oleh kelompok ahli jum’ah. Dengan demikian, kalangan mazhab Hanafi
dan mazhab Syafi’i menyatakan bahwa kaum perempuan dan anak-anak bukan termasuk
yang dikenai larangan/teguran dari nash di atas. Perwakilan atas pendapat ini
dapat kita ketahui melalui pernyataan Al-Syairazy dalam kitab al-Muhadzhzab,
sebagai berikut:
ولايبطل
البيع لأن النهي لايختص بالعقد فلم يمنع الصلاة كالصلاة في الأرض المغصوبة
Artinya: “Tidak membatalkan akad jual beli
(akadnya sah), karena sesungguhnya larangan tersebut tidak dikhususkan pada
akad, sementara akad tidak menghalangi shalat, sehingga seperti (hukum) shalat
di bumi yang dighashab (berdosa).” (Muhyiddin Yahya bin Syaraf, al-Nawawy,
Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab li al-Syairazy, Jedah: Thab’atu Maktabah
al-Irsyad, tt.: 1/110!)
Selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah
apakah semua akad-akad yang lain juga terkena pasal larangan sehingga wajib
segera ditinggalkan manakala adzan shalat Jumat telah dikumandangkan?
Para ahli fiqih, salah satunya adalah Ibnu
Qudamah al-Maqdisy, sepakat bahwa untuk akad-akad yang lain, selain akad jual
beli, tidak termasuk bagian yang harus di-ilhaq-kan (disamakan hukumnya). Ada
perbedaan mendasar antara akad jual beli dengan akad-akad yang lain, seperti
ijârah dan nikah. Perbedaan itu adalah, bahwa akad jual beli merupakan akad
yang sudah menjadi rutinitas. Jika jual beli ini merupakan yang dikhususkan
dalam nash disebabkan karena ia bisa melalaikan pelakunya dari shalat Jumat.
Alasan rutinitas ini tidak dijumpai pada akad ijarah dan nikah, sehingga ia
termasuk bagian yang tidak dikenai putusan hukum larangan akibat nash.
Apakah perintah meninggalkan jual beli ini
hanya berlaku untuk shalat Jumat saja, ataukah juga bisa berlaku untuk semua
waktu shalat lima waktu?
Mencermati sisi kejelasan teks ayat, perintah
meninggalkan transaksi jual beli ini secara khusus ditetapkan untuk shalat
Jumat saja. Karena shalat Jumat hukumnya adalah wajib. Namun, bukankah shalat
lima waktu statusnya juga wajib pula?
Ibnu Rusyd, dalam kitabnya Bidayatu
al-Mujtahid wa Nihayatu al-Mustafid menjelaskan, bahwa:
أما
سائر الصلوات فيمكن أن تلحق بالجمعة على جهة الندب لمرتقب الوقت فإذا فات فعلى جهة
الحظر وإن كان لم يقل به أحد في مبلغ علمي
Artinya: “Memang ada kemungkinan untuk
menyamakan semua shalat wajib dengan shalat Jumat menurut sisi kesunnahannya
karena dinanti-nantinyaa waktu. Jika sampai kehabisan waktu, maka berdasar
peringatannya meskipun pendapat ini belum dinyatakan oleh seorang ulama-pun
sejauh pengetahuan saya.” (Abu Al Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin
Ahmad bin Rusyd al-Qurthuby, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid,
Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, tt.: 2/166).
Ibnu Rusyd menjelaskan, bahwasanya ada
kemungkinan untuk mengilhaqkan (menyamakan status hukum) antara shalat Jumat
dengan shalat lima waktu. Namun tetap berada dalam koridor dua hal, yaitu:
- Sunnah untuk segera meninggalkan pekerjaan
(jual beli) manakala sudah terdengar adzan, sebab waktu shalat merupakan yang
selalu dinanti-nantikan. Hukum kesunnahan ini berlaku apabila tidak ada unsur
kekhawatiran akan habisnya waktu.
- Wajib segera meninggalkan pekerjaan/jual
beli manakala waktu shalat sudah hampir habis.
Adanya pembagian hukum sunnah segera
meninggalkan dan/atau wajibnya segera meninggalkan jual beli ini oleh Ibnu
Rusyd mungkin disebabkan karena rentang waktu shalat lima waktu yang panjang
sehingga masih ada kelonggaran bagi mukallaf untuk menunda pelaksanaannya.
Namun, Ibnu Rusyd menyadari bahwa pendapat ini belum pernah dijumpai di
kalangan ulama sejauh pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian,
kesimpulannya adalah yaitu bahwa akad jual beli tetap sah, hanya saja waktu
yang menyebabkan perbedaan apakah pelakunya terkena dosa atau tidak.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah,
bahwasanya jual beli merupakan pekerjaan mubah. Namun kemubahannya bersifat
terbatas apabila dilakukan oleh orang ahli jum’ah (orang yang wajib shalat
Jumat) pada hari Jumat saat adzan shalat Jumat sudah dikumandangkan dan khatib
sudah berada di atas mimbar. Praktik jual beli pada saat shalat Jumat menurut
kalangan Syafiiyah adalah sah namun dilarang (berdosa). Sah ini berdasarkan
pertimbangan sahnya akad. Sementara larangan ini adalah berdasarkan waktunya,
yaitu ada ibadah yang lebih penting daripada jual beli, yaitu shalat Jumat.
Wallâhu al-muwâfiq ila aqwâmi al-tharîq. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar