Kisah Orang yang Sok Yakin dengan Keadaan
Dalam kitab Akbâr al-Hamqâ wa
al-Mughaffalîn, Imam Abû al-Farj Ibnu Jauziy (w. 597 H) memasukkan cerita
menarik tentang orang yang sok yakin dengan keadaan. Berikut ceritanya:
وخرج
رجل إلي السوق يشتري حمارا فلقيه صديق له فسأله، فقال: إلي السوق لأشتري حمارا،
فقال: قل إن شاء الله، فقال: ليس ها هنا موضع إن شاء الله، الدراهم في كمي والحمار
في السوق. فبينما هو يطلب الحمار سرقت منه الدراهم فرجع خائبا، فلقيه صديقه، فقال
له: ما صنعت؟ فقال: سرقت الدراهم إن شاء الله، فقال له صديقه: ليس ها هنا موضع إن
شاء الله
Seorang laki-laki keluar menuju pasar untuk
membeli keledai. (Dalam perjalanan) ia bertemu dengan temannya, dan ditanya
(hendak kemana?). Ia menjawab: “Hendak ke pasar untuk membeli keledai.”
Temannya berkata: “Katakan insyaallah.”
Laki-laki itu menjawab: “Tidak perlu lagi
(mengatakan) insyaallah dalam keadaan seperti ini. Uang sudah di saku dan
keledai ada di pasar.” (Sesampainya di pasar) ketika sedang mencari keledai,
uangnya dicuri. Ia pun pulang dengan wajah murung.
(Dalam perjalanan pulang), ia bertemu lagi
dengan temannya, ia bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu (murung)?”
Laki-laki itu menjawab: “Insyaallah uangku dicuri.” Temannya berkata: “Tidak
perlu lagi (mengatakan) insyaallah dalam keadaan seperti ini.” (Imam Abû
al-Farj Ibnu Jauziy, Akbâr al-Hamqâ wa al-Mughaffalîn, Beirut: Dar
al-Fikr al-Lubnani, 1990, h. 161)
****
Kisah di atas ini unik, seorang laki-laki
enggan mengucapkan “insyaallah” karena menurut pertimbangannya, apa yang
diharapkannya pasti terjadi. Syarat-syaratnya sudah mencukupi; uang dan
keledai, tapi kenyataan berbicara lain. Kelengkapan persyaratan yang
dimilikinya tidak menjamin ia bisa mendapatkan apa yang ia mau. Ada sisi lain
yang luput dari pertimbangannya; pencurian yang membuatnya gagal mendapatkan
keledai. Uniknya lagi, laki-laki itu malah mengucapkan “insyaallah” setelah
uangnya tercuri, dengan wajah murung. Ia menyandingkan ucapan “insyaallah”
dengan musibah yang dialaminya. Menarik bukan? Mari kita telusuri
pembahasannya.
Ucapan “insyaallah”, makna standarnya berarti
“apabila Allah menghendaki.” Mengucapkannya termasuk ibadah. Allah SWT
berfirman (QS. Al-Kahfi: 23-24):
وَلَا
تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا. إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ
وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ
مِنْ هَذَا رَشَدًا
“Jangan sekali-kali kau berkata tentang
sesuatu: ‘sungguh aku akan melakukannya besok.’ Kecuali (mengucapkan:
insyaallah) apabila Allah menghendaki, dan ingatlah Tuhanmu di saat kau lupa
serta ucapkan: ‘Semoga Tuhanku menunjukiku pada jalan terdekat menuju hidayah.”
Dalam Tafsîr al-Thabarî, lafal “illâ
an yasyâ’alllah...” dipandang sebagai ta’dîb minallah (pendidikan
dan hukum dari Allah) yang disampaikan pada nabi-Nya agar memegang teguh bahwa
segala kejadian hanya mungkin terjadi karena “masyi’atilllah—kehendak
Allah.” (Imam al-Thabari, Tafsîr al-Thabarî, juz 17, hlm 644).
Kesalahannya adalah banyak orang yang
memahami makna “kehendak Allah” atau “izin Allah” tidak dengan sikap positif.
Ketika segala sesuatu tidak berjalan baik, kita cenderung menyalahkan Tuhan,
meski dengan suara kecil yang malu-malu. Padahal, jika dipahami secara
mendalam, “kehendak Allah” tidak mungkin buruk, yang dikehendaki-Nya selalu
kebaikan bagi hamba-Nya. Ini murni soal persangkaan kita kepadaNya. Jika
persangkaan kita baik, kita akan dipenuhi energi positif untuk terus maju; jika
persangkaan kita buruk, kita akan diam menggerutu tanpa gerak maju.
Kembali ke soal “insyaallah.” Dari wilayah
pelakunya, pengucapan “insyaallah” dapat dipahami dalam beberapa tingkatan.
Pertama, orang yang tidak menganggap penting pengucapannya seperti contoh di
atas. Kedua, orang yang mengucapkan “insyaallah” karena kebiasaan, bukan karena
benar-benar terselami oleh maknanya. Ketiga, orang yang mengucapkan
“insyaallah” dan menghayati betul makna terdalamnya.
Untuk yang pertama, kita tidak perlu
membahasnya karena sudah ada contohnya di atas. Yang kedua, kita tidak bisa
pungkiri bahwa pengucapan “insyaallah” sudah menjadi kebiasaan umum. Di satu
sisi bagus, di sisi lain membuat maknanya tereduksi. Sebab, ada dua wajah yang
saling berlawanan ketika pengucapan “insyaallah” dilakukan tanpa kesadaran
makna. Wajah positifnya adalah, menunjukkan bahwa kita orang yang beriman,
meski secara tanpa sadar ketika mengucapkannya. Wajah negatifnya adalah, ketika
“insyaallah” digunakan untuk berjanji, tapi tidak ditepati. Misalnya, “besok aku
tunggu di lapangan ya, ada hal penting yang ingin kubicarakan.” Kemudian
dijawab, “insyaallah, jam tiga ya.” Nyatanya tidak datang. Artinya ucapan
“insyaallah” hanya menjadi istilah bahasa yang lumrah sekaligus meninggalkan
kesan bahwa Tuhanlah yang menghendakinya tidak tepat janji. Dengan kata lain,
kesakralannya turun hingga pengucapnya melupakan nilai agama yang terkandung di
dalamnya.
Ketiga, bagi orang-orang dalam kategori ini
mengucapkan “insyaallah” dapat memberi mereka tiga kekuatan sekaligus; pertama,
kekuatan bergerak maju, kedua, kekuatan berendah hati, dan ketiga, kekuatan
bertanggung jawab.
Penjelasannya begini. Maksud dari kekuatan
bergerak maju adalah “persangkaan baik kepada Allah”. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa kehendak Allah untuk hambaNya pasti baik, tidak
mungkin Allah menghendaki keburukan untuk hamba-hambaNya. Dengan mengucapkan
“insyaallah”, kita telah menanamkan prasangka baik kepada Allah, sehingga
menghasilkan kekuatan bergerak maju yang penuh optimisme dan positif.
Berikutnya kekuatan berendah hati. Maksudnya,
dengan mengucapkan “insyaallah” kita sedang berupaya meminimalisasi keangkuhan
kita, bahwa semua yang kita raih murni hasil usaha kita sendiri. Bagi orang
yang berusaha mengamalkannya, insyaallah akan terhindar dari perasaan sombong.
Bahkan dalam hal beribadah sekalipun, contohnya kerelaan Nabi Ismail di saat
hendak disembelih ayahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan (QS. Ash-Shaffat: 102):
يَا
أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Wahai ayahku, lakukanlah apa yang
diperintahkan (Allah) kepadamu, niscaya kau akan dapati aku, insyaallah,
termasuk dalam orang-orang yang sabar.”
Nabi Ismail mengucapkan “insyaallah” karena
ia tahu bahwa kesabarannya adalah anugerah dari Allah, bukan murni dari dirinya
sendir. Sebab, jika ada orang yang menyatakan dirinya seorang penyabar tapi
menafikan peran Tuhan di dalamnya, baik disadari atau tidak, ia telah mendekati
kesombongan.
Yang terakhir adalah kekuatan bertanggung
jawab. Maksudnya adalah kuat memegang amanah karena ketakwaan kepada Allah.
Sebab begini, ucapan “insyaallah” bagi orang-orang yang berusaha mendalami
maknanya adalah amanah. Bagaimana tidak, kita berjanji menggunakan nama Tuhan
(berucap insyaallah), tapi tidak kita tepati, bukankah itu keterlaluan. Nama
Tuhan yang Maha Tinggi kita gunakan untuk berbohong, terlepas dari sadar atau
tidak, seperti yang diuraikan sebelumnya.
Oleh karena itu, kita harus mulai mendekati
“insyaallah” dengan sudut pandang baru. Kebiasaan mengucapkannya harus
dilestarikan, tapi didampingi dengan peningkatan kesadaran akan nilainya,
terutama tiga kekuatan tadi. Sulit sih, tapi tidak mustahil. Ya, namanya juga
refleksi. Tujuannya untuk memeriksa diri dengan pertanyaan, “kita seperti itu
apa tidak sih?”
Wallahu a’lam... []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen dan Pondok Pesantren Al-Islah,
Kaliketing, Doro, Pekalongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar