Rabu, 21 Agustus 2019

Kang Komar: The Toxic Energy of Hate


The Toxic Energy of Hate
Oleh: Komaruddin Hidayat

Selama ini kita lebih sering mendengarkan ceramah atau membaca buku tentang kekuatan cinta (the power of love). Cinta mampu mengubah seseorang, baik yang mencintai maupun yang dicintai. Orang yang cinta ilmu akan rela berkorban meluangkan waktu dan energinya untuk belajar.Yang paling mencolok adalah cinta pada materi, terutama uang, maka akan berjuang untuk mengejarnya, sampai-sampai ada yang tidak malu melakukan korupsi. Mereka yang cinta jabatan pun akan berusaha dengan berbagai cara untuk meraihnya. Belum lama ini kita menyaksikan kompetisi sengit untuk meraih kursi legislatif dan eksekutif.

Ada dua macam energi yang selalu bergerak dan menggerakkan seseorang. Yaitu energi cinta yang bersifat positif, dan energi negatif antara lain berupa kebencian, iri dan dengki. Dalam media sosial, keduanya muncul berbarengan. Ada postingan yang isinya bernada khotbah berbagi ilmu dan nasihat kehidupan, ada lagi yang bernada hasutan, cacian, cibiran, dan serbacuriga. Muncul dua kekuatan informasi yang berkompetisi. Kesan sementara, sebaran ucapan dan tulisan sensasional yang digerakkan oleh energi kebencian lebih cepat menyebar bagaikan virus ketimbang yang pertama.

Bahkan ada lagi konten Facebook (FB) yang kesannya ecek-ecek, tak punya bobot informasi keilmuan, namun pengikutnya jutaan karena yang punya akun adalah sosok selebriti. Sekadar cerita anak selebriti sudah bisa pipis sendiri atau lagi flu saja postingannya dibaca jutaan pengikutnya. Mengapa demikian, perlu analisis psikologi lebih dalam lagi. Yang pasti, dunia medsos bagaikan negara tersendiri, tempat tinggal warganya mengapung di langit. Suasananya serasa padat, hiruk-pikuk, meski tanpa kehadiran fisik namun bisa menguras emosi dan pikiran pembacanya.

Energi kebencian dan balas dendam yang memiliki kekuatan dahsyat dan daya tempur tinggi sangat sering ditampilkan dalam film. Film China sering kali menyajikan perjuangan anak kecil belajar ilmu bela diri dan kesaktian semata karena didorong rasa keinginan balas dendam terhadap pendekar hebat yang telah membunuh ayahnya. Di sini bertemu antara keinginan mulia untuk berbakti pada orang tua dan semangat balas dendam pada lawan. Film-film Rambo juga menyajikan cerita serupa. Sebuah energi dahsyat yang muncul ketika didorong rasa ingin membalas dendam.

Yang ingin saya beri catatan kecil di sini adalah maraknya energi beracun berupa kebencian yang bertebaran di medsos, yang disebarkan oleh para haters. Apa pun yang mereka kemukakan bahasanya selalu beracun menebar kebencian. Selalu menonjolkan pikiran dan sikap negatif pada orang lain. Terlebih lagi ketika mereka masuk ranah politik dan wacana keagamaan, siapa pun yang berbeda mazhab dan posisinya, lalu dikritik, dicaci, dan diserang. Di sini yang dominan adalah perasaan "senang dan tidak senang", bukannya pikiran kritis untuk menilai "benar dan salah".

Lebih beracun lagi ketika secara sadar para haters menebar hoaks lewat medsos. Sekali fitnah yang sensasional dilepas, maka racun fitnah akan menjelma menjadi virus yang beranak-pinak di udara dan akan memakan kurban tak berbilang, antara lain berupa pembunuhan karakter dan reputasi seseorang. Secara psikologis, kekejian dan sikap benci ketika dilakukan berulang-ulang akan berkembang menjadi penyakit jiwa.

Hati seseorang akan menyempit dan mengeras, selalu saja mencari dan menciptakan objek untuk dibenci dan diserang. Orang merasa terdorong bergerak mencari objek dan sasaran yang hendak diserang. Itulah yang terkandung dalam kalimat the toxic energy of hate. Energi beracun berupa kebencian. Bukankah setiap hari kita berulang kali membaca: Bismillahirrahmanirrahim? Mestinya yang keluar dari hati, pikiran dan perbuatan kita selalu menebar kasih sayang, bukan kebencian dan kemarahan. []

KORAN SINDO, 16 Agustus 2019
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar