Rabu, 21 Agustus 2019

Azyumardi: Konservatisme Agama (2)


Konservatisme Agama (2)
Oleh: Azyumardi Azra

Sebelum melangkah lebih jauh, untuk memperjelas perlu diberikan pengertian tentang makna konservatisme agama. Dalam wacana akademik, konservatisme agama sering disebut 'religious conservatism' atau 'religious conservativism' yang berarti pemahaman dan praktik agama konservatif, yaitu berpegang secara ketat pada kitab suci atau pada ajaran, ortodoksi, dan tradisi yang dianggap sebagai paling benar.

Penulis Resonansi ini selain menggunakan istilah 'religious conservatism' atau 'religious conservativism', juga menggunakan istilah 'neo-conservatism'. Dalam kerangka istilah terakhir ini, neokonservatisme mengacu pada sikap dan tindakan yang termasuk konservatif (lama), tetapi pada saat yang sama juga menampilkan nuansa baru yang tidak terlihat dalam konservatisme konvensional atau konservatisme lama.

Terlepas dari berbagai istilah tersebut dengan cakupan dan konotasi masing-masing, konservatisme agama menolak pemahaman, penafsiran, dan pembaruan pemikiran dan praktik agama berdasarkan perkembangan modern tertentu. Konservatisme agama, misalnya menolak gejala modern seperti keluarga berencana, sebaliknya menganjurkan banyak anak; atau menolak imunisasi anak; menganjurkan pemisahan laki-laki dan perempuan, bahkan di antara suami-istri dalam resepsi perkawinan.

Dengan pandangan ini, para pendukung konservatisme agama meyakini dapat memenangkan diri dalam menghadapi perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik sangat cepat serta berdampak luas yang membuat pemeluk agama kehilangan keimanannya. Mereka yakin, hanya dengan kembali kepada pemahaman dan praktik keagamaan konservatif, mereka dapat menemukan makna beragama sejati.

Secara global, kebangkitan konservatisme agama juga merupakan respons dan reaksi terhadap berbagai fenomena yang terus dihadapi masyarakat umumnya. Di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, kebangkitan konservatisme agama itu banyak terkait dengan kesulitan ekonomi dan krisis politik.

Menghadapi keadaan yang terus sulit, kalangan masyarakat beserta politisi sayap kanan menempuh jalan konservatisme agama. Gejala ini pada spektrum ekstrem sering juga muncul dalam bentuk 'fundamentalisme agama'—yang dalam perkembangan nya digunakan untuk mewujudkan agenda religio-politik tertentu.

Dalam perkembangan inilah muncul politik identitas yang sangat kental bernuansa agama; bersikap antiterhadap agama tertentu, juga anti terhadap penganut agama tertentu. Gejala politik identitas ini tegasnya terlihat muncul dalam sikap anti-islam dan anti-Muslim di kalangan politisi dan kelompok masyarakat tertentu di sejumlah negara Eropa dan AS.

Sedangkan di negara-negara tengah berkembang atau bahkan masih terkebelakang di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan, konservatisme agama muncul di kalangan masyarakat karena mereka memandang adanya kegagalan modernitas, sekularisme, pembangunan, dan globalitas dari pemerintah masing-masing. Tak kurang pentingnya, juga karena mereka memandang kegagalan negara dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan warganya.

Dengan demikian, sekali lagi, konservatisme agama bukan hanya melanda satu agama atau penganut agama di satu negara atau wilayah tertentu. Kebangkitan konservatisme agama sudah menjadi fenomena global dalam lebih tiga dasawarsa terakhir.

Di Indonesia, gejala konservatisme agama terlihat pada seluruh agama yang diakui negara—Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tetapi karena Islam adalah agama yang paling banyak penganutnya atau the single largest religion di Indonesia, kebangkitan konservatisme itu paling terlihat di kalangan kaum Muslimin.

Bagi banyak pengamat Islam Indonesia, gejala peningkatan konservatisme keagamaan (Islam) paling jelas terlihat dari terus meluasnya pemakaian jilbab. Bagi banyak pengamat, semakin meluasnya pemakaian jilbab mengandung berbagai implikasi negatif terhadap masa depan negarabangsa Indonesia dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Para pengamat tersebut umumnya tidak bisa membedakan berbagai bentuk jilbab sejak yang sederhana. Atau fashionable yang sering disebut sebagai 'hijab' di kalangan Muslimah kelas menengah sampai pada jilbab ideologis.

Selain itu, mereka juga melihat meningkatnya adopsi gaya hidup yang ditolak modernitas seperti poligami. Atau meningkatnya gaya hidup halal atau berbasis syariah. Bahkan, juga yang lebih berorientasi politik pada pembentukan khilafah atau dawlah Islamiyah. []

REPUBLIKA, 16 Agustus 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar