Konservatisme
Agama (2)
Oleh:
Azyumardi Azra
Sebelum
melangkah lebih jauh, untuk memperjelas perlu diberikan pengertian tentang
makna konservatisme agama. Dalam wacana akademik, konservatisme agama sering
disebut 'religious conservatism' atau 'religious conservativism' yang berarti
pemahaman dan praktik agama konservatif, yaitu berpegang secara ketat pada
kitab suci atau pada ajaran, ortodoksi, dan tradisi yang dianggap sebagai
paling benar.
Penulis
Resonansi ini selain menggunakan istilah 'religious conservatism' atau
'religious conservativism', juga menggunakan istilah 'neo-conservatism'. Dalam
kerangka istilah terakhir ini, neokonservatisme mengacu pada sikap dan tindakan
yang termasuk konservatif (lama), tetapi pada saat yang sama juga menampilkan
nuansa baru yang tidak terlihat dalam konservatisme konvensional atau
konservatisme lama.
Terlepas
dari berbagai istilah tersebut dengan cakupan dan konotasi masing-masing,
konservatisme agama menolak pemahaman, penafsiran, dan pembaruan pemikiran dan
praktik agama berdasarkan perkembangan modern tertentu. Konservatisme agama,
misalnya menolak gejala modern seperti keluarga berencana, sebaliknya
menganjurkan banyak anak; atau menolak imunisasi anak; menganjurkan pemisahan
laki-laki dan perempuan, bahkan di antara suami-istri dalam resepsi perkawinan.
Dengan
pandangan ini, para pendukung konservatisme agama meyakini dapat memenangkan
diri dalam menghadapi perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik sangat
cepat serta berdampak luas yang membuat pemeluk agama kehilangan keimanannya.
Mereka yakin, hanya dengan kembali kepada pemahaman dan praktik keagamaan
konservatif, mereka dapat menemukan makna beragama sejati.
Secara
global, kebangkitan konservatisme agama juga merupakan respons dan reaksi
terhadap berbagai fenomena yang terus dihadapi masyarakat umumnya. Di
negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa,
kebangkitan konservatisme agama itu banyak terkait dengan kesulitan ekonomi dan
krisis politik.
Menghadapi
keadaan yang terus sulit, kalangan masyarakat beserta politisi sayap kanan
menempuh jalan konservatisme agama. Gejala ini pada spektrum ekstrem sering
juga muncul dalam bentuk 'fundamentalisme agama'—yang dalam perkembangan nya
digunakan untuk mewujudkan agenda religio-politik tertentu.
Dalam
perkembangan inilah muncul politik identitas yang sangat kental bernuansa
agama; bersikap antiterhadap agama tertentu, juga anti terhadap penganut agama
tertentu. Gejala politik identitas ini tegasnya terlihat muncul dalam sikap
anti-islam dan anti-Muslim di kalangan politisi dan kelompok masyarakat
tertentu di sejumlah negara Eropa dan AS.
Sedangkan
di negara-negara tengah berkembang atau bahkan masih terkebelakang di Afrika,
Timur Tengah, dan Asia Selatan, konservatisme agama muncul di kalangan
masyarakat karena mereka memandang adanya kegagalan modernitas, sekularisme,
pembangunan, dan globalitas dari pemerintah masing-masing. Tak kurang
pentingnya, juga karena mereka memandang kegagalan negara dalam meningkatkan
kualitas kehidupan dan kesejahteraan warganya.
Dengan
demikian, sekali lagi, konservatisme agama bukan hanya melanda satu agama atau
penganut agama di satu negara atau wilayah tertentu. Kebangkitan konservatisme
agama sudah menjadi fenomena global dalam lebih tiga dasawarsa terakhir.
Di
Indonesia, gejala konservatisme agama terlihat pada seluruh agama yang diakui
negara—Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tetapi
karena Islam adalah agama yang paling banyak penganutnya atau the single
largest religion di Indonesia, kebangkitan konservatisme itu paling terlihat di
kalangan kaum Muslimin.
Bagi
banyak pengamat Islam Indonesia, gejala peningkatan konservatisme keagamaan
(Islam) paling jelas terlihat dari terus meluasnya pemakaian jilbab. Bagi
banyak pengamat, semakin meluasnya pemakaian jilbab mengandung berbagai
implikasi negatif terhadap masa depan negarabangsa Indonesia dengan Pancasila
dan Bhineka Tunggal Ika.
Para
pengamat tersebut umumnya tidak bisa membedakan berbagai bentuk jilbab sejak
yang sederhana. Atau fashionable yang sering disebut sebagai 'hijab' di
kalangan Muslimah kelas menengah sampai pada jilbab ideologis.
Selain
itu, mereka juga melihat meningkatnya adopsi gaya hidup yang ditolak modernitas
seperti poligami. Atau meningkatnya gaya hidup halal atau berbasis syariah.
Bahkan, juga yang lebih berorientasi politik pada pembentukan khilafah atau
dawlah Islamiyah. []
REPUBLIKA,
16 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar