Ketika Sayyidina Thalhah Mencurigai Sayyidina
Umar
Dalam kitab Hilyah al-Auliyâ’, Imam
Abu Nu’aim al-Asbahânî, mencatat sebuah riwayat yang bercerita tentang
Sayyidina Umar dan Sayyidina Thalhah. Berikut riwayatnya:
حدّثنا
محمَّدُ بْنُ مَعْمَر، ثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْد الله، ثَنَا الْأَوْزاعيُّ، أَنّ
عُمرَ بْنَ الْخطّاب، رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ خرج في سَوادِ اللّيْلِ
اللّيْل فرأَه طلْحَةُ، فذهبَ عُمرُ فدَخلَ بيتًا ثُمَّ دَخلَ بَيتًا آخَر،
فَلَمَّا أَصْبَحَ طَلْحَةُ ذهب إلى ذلك البيتِ فَإِذَا بِعَجُوزٍ عَمْيَاءَ
مُقْعدةٍ، فقال لها: ما بال هذا الرّجلِ يَأْتِيكِ؟ قالتْ: إنّه يتَعَاهَدُنِي
منْذُ كذا وكذا، يَأْتِينِي بِمَا يُصْلحنِي، ويخْرِج عنِّي الْأَذَى، فقال
طلْحةُ: «ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا طَلْحَة أَعَثَرَات عُمَرَ تَتْبَعُ؟»
Diceritakan Muhammad bin Ma’mar, dari Yahya
bin Abdullah, dari al-Auza’i, bahwa sesungguhnya Umar bin al-Khattab
radliyallahu ‘anhu keluar di suatu malam yang gelap, dan Thalhah melihatnya.
Umar pergi dan memasuki sebuah rumah kemudian masuk ke rumah lainnya. Ketika (hari
sudah) pagi, Thalhah pergi ke rumah (yang dimasuki Umar), ia bertemu dengan
seorang wanita tua yang buta sedang duduk.
Thalhah bertanya padanya: “Apa urusan
laki-laki itu (Umar bin Khattab) mendatangimu?” Wanita itu berkata:
“Sesungguhnya ia pernah menjanjikan kepadaku ini dan itu, ia mendatangiku
dengan (membawa) kebutuhanku dan menghilangkan sakitku.”
Lalu Thalhah berkata (pada dirinya sendiri):
“Celakalah kamu, wahai Thalhah! Apa kesalahan Umar yang sedang kau cari?” (Imam
Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’,
Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1974, juz 1, h. 48)
****
Manusia memiliki kecenderungan
bersenang-senang, dan salah satu kesenangan yang paling digemari manusia adalah
berprasangka. Berprasangka menghadirkan sensasi tersendiri, terutama prasangka
buruk tentang sesamanya. Sifat ini ada di setiap manusia, siapapun orangnya,
yang membedakan adalah sikapnya.
Dalam riwayat di atas, seorang sahabat yang
mulia, Sayyidina Thalhah bin Ubaidillah (w. 36 H), menyesali prasangkanya,
meski kita yakin prasangkanya berasal dari niat baiknya. Itu dibuktikan dengan tabayyun
(klarifikasi) yang dilakukannya. Kecurigaan tidak langsung membuatnya
menuduh. Ia berupaya memastikan terlebih dahulu dengan mendatangi salah satu
rumah yang dikunjungi Sayyidina Umar malam itu. Ia mencoba mengkonfirmasi
keraguannya. Setelah mendengar jawabannya, ia sangat menyesal, hingga
menghardik dirinya sendiri dengan keras, “Celakalah kau, wahai Thalhah! Apa
kesalahan Umar yang sedang kau cari?”
Inilah yang dimaksud “sikap”, respon baik
yang ditampilkan, baik ketika curiga (dengan cara ber-tabayyun), maupun
ketika menyesal (dengan cara tidak melanjutkan ke rumah-rumah lainnya). Lalu
bagaimana dengan kita?
Kebanyakan dari kita tidak bisa menahan diri.
Kita terlalu gemar membincangkan prasangka kita dengan orang lain, tanpa tabayyun,
tanpa penyesalan, dan tanpa keberatan. Kita santai saja berbincang ke
sana-kemari, meski prasangka yang kita miliki belum tentu benar adanya, tapi
kita, dengan tanpa keseganan sedikit pun menyebarkannya. Kita lupa bahwa itu
hanya prasangka. Allah berfirman (QS. An-Najm: 28):
وَمَا
لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ
لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu
pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap
kebenaran.”
Ya, persangkaan itu tidak berfaedah sama
sekali terhadap kebenaran, apalagi jika persangkaan itu tidak disertai
pengetahuan (bukti) yang kuat. Sekarang ini, hanya bermodalkan prasangka, kita
berani membuat berita dan menyebarkannya ke sana-kemari, tanpa ada hasrat untuk
menelitinya terlebih dahulu. Ini diperparah dengan cara pandang terhadap berita
berdasarkan suka atau tidak suka terhadap orang yang diberitakan. Bukan pada
konten, penyebar, dan pembuatnya. Ini memprihatinkan. Karena itu, kita perlu
merenungkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam berikut ini (HR.
Imam al-Bukhari):
إِيَّاكُمْ
وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا
تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَافَسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا
تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Jauhilah perasangka, karena prasangka adalah
berita yang paling dusta. Janganlah kalian mencari-cari isu; janganlah
mencari-cari kesalahan; janganlah saling saing-menyaingi; janganlah saling
hasud; janganlah saling membelakangi (bermusuhan), dan janganlah saling
membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
Hadits di atas bukanlah larangan
berkontestasi secara sehat, karena Islam sendiri mendorong pemeluknya untuk
“fastabîqul khairât—berlomba-lomba dalam berbuat baik”. Persoalannya terletak
pada titik awal persaingan itu dimulai, bahasa umumnya “niat.” Jika diawali
niat baik, persaingan “kebaikan” akan menghasilkan kebaikan. Jika diawali niat
buruk, persaingan “kebaikan” pun bisa mengarah pada keburukan.
Dengan demikian, kesadaran adalah kuncinya,
tapi seringkali kesadaran kita tidak berfungsi. Maksudnya begini, kita sadar
telah berbuat salah; kita sadar ini hal benar untuk dilakukan, tapi semuanya
tidak berarti apa-apa. Kesadaran kita tidak menggerakkan kita untuk berbuat.
Kita sekedar tahu, tapi tidak tergerak untuk melakukannya, meskipun sudah
didorong dengan iming-iming pahala dan ancaman dosa, kita masih terlalu malas
untuk beraktualisasi dengan kesadaran kita sendiri, apalagi kesadaran orang
selain kita.
Kembali ke masalah prasangka buruk
(su’udhan). Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah orang-orang yang
membawa berita, atau mata rantai kedua dari sanad berita. Banyak dari kita,
sekali mendengar langsung ikut menyebarkannya, tanpa melakukan kroscek sumber
dan evaluasi kontennya. Perilaku seperti ini tidak disenangi oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda (HR. Imam Muslim):
كَفَى
بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dikatakan bohong, jika ia
menyampaikan setiap apa yang ia dengar.”
Artinya, tanpa menelaah sumber dan kontennya,
baik itu berita, desas-desus, gosip, ataupun tuduhan, kita diajarkan untuk
menelitinya terlebih dahulu. Sebab, orang yang menyebarkan dan membicarakan apa
saja yang didengarnya, tanpa melakukan kroscek terlebih dahulu, menurut
Rasulullah, sudah bisa disebut pembohong. Tentu kita tidak mau termasuk orang
yang disebut pembohong itu.
Oleh karena itu, kita harus berhati-hati
dalam menilai sebuah informasi. Jangan terburu-buru mengeluarkan penilaian
walaupun hati kita berbisik untuk mempercayainya. Kita harus merenung,
menganalisa, dan melacak sumbernya. Andai pun setelah melakukan semua itu
kebenaran semakin tampak, kita tetap harus menahan diri. Bisa jadi ada sesuatu
yang tidak kita ketahui. Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani mengatakan:
إيَّاك
من الكلام ما إن أصبتَ فيه لَم تُؤجَر، وإن أخطأت فيه أثمت، وهو سوء الظنِّ بأخيك
“Berhati-hatilah dalam bicara, jika kau
benar, kau tidak akan mendapat pahala. Jika kau salah, kau akan mendapat dosa.
(Pembicaraan) itu adalah persangkaan buruk terhadap saudaramu.” (Imam Ibnu
Hajar al-‘Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, Beirut: Muassasah al-Risalah,
1995, juz 1, h. 244)
Dengan demikian, kita harus berusaha
memfungsikan kesadaran kita, agar kita tidak menjadi salah satu dari mata
rantai persangkaan buruk dan penyebarannya. Dengan kesadaran, kita akan
mendahulukan tabayyun sebelum berprasangka buruk, apalagi kemudian
menyebarkannya. Jikapun kita berposisi sebagai penerima berita, kita akan lebih
berhati-hati dan menganalisisnya terlebih dahulu. Sebagai penutup, syair di
bawah ini perlu kita renungkan:
لسانك
لا تذكر به عورة امرئ # فأنك عورات وللنّاس أعين
وعينك
إن أبدت إليك معايبا # فَصُنْهَا وقل: يا عين للنّاس أعين
Jangan biarkan lidahmu menyinggung
cela yang selain(mu)
Karena kau memiliki cela, dan
orang-orang memiliki mata
Matamu, jika melihat aib-aib
saudaramu, tutupilah
Dan katakan: wahai mata(ku)! Semua
orang punya mata
(Imam Jalaluddin al-Suyuthi, al-Kanz
al-Madfûn wa al-Fulk al-Masyhûn, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2015, h.
413)
Wallahu’alam... []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar