Jumat, 30 Agustus 2019

(Hikmah of the Day) Ketika Sayyidina Thalhah Mencurigai Sayyidina Umar


Ketika Sayyidina Thalhah Mencurigai Sayyidina Umar

Dalam kitab Hilyah al-Auliyâ’, Imam Abu Nu’aim al-Asbahânî, mencatat sebuah riwayat yang bercerita tentang Sayyidina Umar dan Sayyidina Thalhah. Berikut riwayatnya:

حدّثنا محمَّدُ بْنُ مَعْمَر، ثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْد الله، ثَنَا الْأَوْزاعيُّ، أَنّ عُمرَ بْنَ الْخطّاب، رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ خرج في سَوادِ اللّيْلِ اللّيْل فرأَه طلْحَةُ، فذهبَ عُمرُ فدَخلَ بيتًا ثُمَّ دَخلَ بَيتًا آخَر، فَلَمَّا أَصْبَحَ طَلْحَةُ ذهب إلى ذلك البيتِ فَإِذَا بِعَجُوزٍ عَمْيَاءَ مُقْعدةٍ، فقال لها: ما بال هذا الرّجلِ يَأْتِيكِ؟ قالتْ: إنّه يتَعَاهَدُنِي منْذُ كذا وكذا، يَأْتِينِي بِمَا يُصْلحنِي، ويخْرِج عنِّي الْأَذَى، فقال طلْحةُ: «ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا طَلْحَة ‍ أَعَثَرَات عُمَرَ تَتْبَعُ؟»

Diceritakan Muhammad bin Ma’mar, dari Yahya bin Abdullah, dari al-Auza’i, bahwa sesungguhnya Umar bin al-Khattab radliyallahu ‘anhu keluar di suatu malam yang gelap, dan Thalhah melihatnya. Umar pergi dan memasuki sebuah rumah kemudian masuk ke rumah lainnya. Ketika (hari sudah) pagi, Thalhah pergi ke rumah (yang dimasuki Umar), ia bertemu dengan seorang wanita tua yang buta sedang duduk. 

Thalhah bertanya padanya: “Apa urusan laki-laki itu (Umar bin Khattab) mendatangimu?” Wanita itu berkata: “Sesungguhnya ia pernah menjanjikan kepadaku ini dan itu, ia mendatangiku dengan (membawa) kebutuhanku dan menghilangkan sakitku.”

Lalu Thalhah berkata (pada dirinya sendiri): “Celakalah kamu, wahai Thalhah! Apa kesalahan Umar yang sedang kau cari?” (Imam Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1974, juz 1, h. 48)

****

Manusia memiliki kecenderungan bersenang-senang, dan salah satu kesenangan yang paling digemari manusia adalah berprasangka. Berprasangka menghadirkan sensasi tersendiri, terutama prasangka buruk tentang sesamanya. Sifat ini ada di setiap manusia, siapapun orangnya, yang membedakan adalah sikapnya.

Dalam riwayat di atas, seorang sahabat yang mulia, Sayyidina Thalhah bin Ubaidillah (w. 36 H), menyesali prasangkanya, meski kita yakin prasangkanya berasal dari niat baiknya. Itu dibuktikan dengan tabayyun (klarifikasi) yang dilakukannya. Kecurigaan tidak langsung membuatnya menuduh. Ia berupaya memastikan terlebih dahulu dengan mendatangi salah satu rumah yang dikunjungi Sayyidina Umar malam itu. Ia mencoba mengkonfirmasi keraguannya. Setelah mendengar jawabannya, ia sangat menyesal, hingga menghardik dirinya sendiri dengan keras, “Celakalah kau, wahai Thalhah! Apa kesalahan Umar yang sedang kau cari?”

Inilah yang dimaksud “sikap”, respon baik yang ditampilkan, baik ketika curiga (dengan cara ber-tabayyun), maupun ketika menyesal (dengan cara tidak melanjutkan ke rumah-rumah lainnya). Lalu bagaimana dengan kita?

Kebanyakan dari kita tidak bisa menahan diri. Kita terlalu gemar membincangkan prasangka kita dengan orang lain, tanpa tabayyun, tanpa penyesalan, dan tanpa keberatan. Kita santai saja berbincang ke sana-kemari, meski prasangka yang kita miliki belum tentu benar adanya, tapi kita, dengan tanpa keseganan sedikit pun menyebarkannya. Kita lupa bahwa itu hanya prasangka. Allah berfirman (QS. An-Najm: 28):

وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.”

Ya, persangkaan itu tidak berfaedah sama sekali terhadap kebenaran, apalagi jika persangkaan itu tidak disertai pengetahuan (bukti) yang kuat. Sekarang ini, hanya bermodalkan prasangka, kita berani membuat berita dan menyebarkannya ke sana-kemari, tanpa ada hasrat untuk menelitinya terlebih dahulu. Ini diperparah dengan cara pandang terhadap berita berdasarkan suka atau tidak suka terhadap orang yang diberitakan. Bukan pada konten, penyebar, dan pembuatnya. Ini memprihatinkan. Karena itu, kita perlu merenungkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam berikut ini (HR. Imam al-Bukhari):

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَافَسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

“Jauhilah perasangka, karena prasangka adalah berita yang paling dusta. Janganlah kalian mencari-cari isu; janganlah mencari-cari kesalahan; janganlah saling saing-menyaingi; janganlah saling hasud; janganlah saling membelakangi (bermusuhan), dan janganlah saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

Hadits di atas bukanlah larangan berkontestasi secara sehat, karena Islam sendiri mendorong pemeluknya untuk “fastabîqul khairât—berlomba-lomba dalam berbuat baik”. Persoalannya terletak pada titik awal persaingan itu dimulai, bahasa umumnya “niat.” Jika diawali niat baik, persaingan “kebaikan” akan menghasilkan kebaikan. Jika diawali niat buruk, persaingan “kebaikan” pun bisa mengarah pada keburukan. 

Dengan demikian, kesadaran adalah kuncinya, tapi seringkali kesadaran kita tidak berfungsi. Maksudnya begini, kita sadar telah berbuat salah; kita sadar ini hal benar untuk dilakukan, tapi semuanya tidak berarti apa-apa. Kesadaran kita tidak menggerakkan kita untuk berbuat. Kita sekedar tahu, tapi tidak tergerak untuk melakukannya, meskipun sudah didorong dengan iming-iming pahala dan ancaman dosa, kita masih terlalu malas untuk beraktualisasi dengan kesadaran kita sendiri, apalagi kesadaran orang selain kita.

Kembali ke masalah prasangka buruk (su’udhan). Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah orang-orang yang membawa berita, atau mata rantai kedua dari sanad berita. Banyak dari kita, sekali mendengar langsung ikut menyebarkannya, tanpa melakukan kroscek sumber dan evaluasi kontennya. Perilaku seperti ini tidak disenangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda (HR. Imam Muslim):

 كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang dikatakan bohong, jika ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar.”

Artinya, tanpa menelaah sumber dan kontennya, baik itu berita, desas-desus, gosip, ataupun tuduhan, kita diajarkan untuk menelitinya terlebih dahulu. Sebab, orang yang menyebarkan dan membicarakan apa saja yang didengarnya, tanpa melakukan kroscek terlebih dahulu, menurut Rasulullah, sudah bisa disebut pembohong. Tentu kita tidak mau termasuk orang yang disebut pembohong itu.

Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam menilai sebuah informasi. Jangan terburu-buru mengeluarkan penilaian walaupun hati kita berbisik untuk mempercayainya. Kita harus merenung, menganalisa, dan melacak sumbernya. Andai pun setelah melakukan semua itu kebenaran semakin tampak, kita tetap harus menahan diri. Bisa jadi ada sesuatu yang tidak kita ketahui. Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani mengatakan:

إيَّاك من الكلام ما إن أصبتَ فيه لَم تُؤجَر، وإن أخطأت فيه أثمت، وهو سوء الظنِّ بأخيك

“Berhati-hatilah dalam bicara, jika kau benar, kau tidak akan mendapat pahala. Jika kau salah, kau akan mendapat dosa. (Pembicaraan) itu adalah persangkaan buruk terhadap saudaramu.” (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1995, juz 1, h. 244)

Dengan demikian, kita harus berusaha memfungsikan kesadaran kita, agar kita tidak menjadi salah satu dari mata rantai persangkaan buruk dan penyebarannya. Dengan kesadaran, kita akan mendahulukan tabayyun sebelum berprasangka buruk, apalagi kemudian menyebarkannya. Jikapun kita berposisi sebagai penerima berita, kita akan lebih berhati-hati dan menganalisisnya terlebih dahulu. Sebagai penutup, syair di bawah ini perlu kita renungkan:

لسانك لا تذكر به عورة امرئ # فأنك عورات وللنّاس أعين
وعينك إن أبدت إليك معايبا # فَصُنْهَا وقل: يا عين للنّاس أعين

Jangan biarkan lidahmu menyinggung cela yang selain(mu)
Karena kau memiliki cela, dan orang-orang memiliki mata
Matamu, jika melihat aib-aib saudaramu, tutupilah
Dan katakan: wahai mata(ku)! Semua orang punya mata

(Imam Jalaluddin al-Suyuthi, al-Kanz al-Madfûn wa al-Fulk al-Masyhûn, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2015, h. 413)

Wallahu’alam... []

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar