Rabu, 21 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Lafal Takbir Hari Raya, Diucapkan Tiga Kali atau Dua Kali?


Lafal Takbir Hari Raya, Diucapkan Tiga Kali atau Dua Kali?

Melafalkan kalimat takbir merupakan hal yang dianjurkan oleh syariat dalam memperingati hari raya, baik pada Idul Fitri ataupun Idul Adha. Khusus dalam menyambut datangnya Idul Adha, kesunnahan membaca takbir dimulai sejak setelah shalat subuh pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) sampai setelah shalat ashar di akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah) (lihat: Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, hal. 84)

Namun, seringkali polemik muncul di masyarakat terkait pelafalan kalimat takbir ini. Sebagian melafalkan takbir “Allâhu akbar” sebanyak dua kali, sedangkan kelompok yang lain melafalkan “Allâhu akbar” sampai tiga kali.

Kelompok yang berpandangan bahwa lafal takbir hanya diucapkan dua kali, umumnya berpijak pada hadits-hadits mauquf berikut:

كَانَ سَلْمَانُ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يُعَلِّمُنَا التَّكْبِيرَ يَقُولُ : كَبِّرُوا اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا 

“Salman mengajari kami lafal takbir, ia berkata: ‘Bertakbirlah, Allâhu akbar Allâhu akbar, sungguh maha besar” (HR. Al-Baihaqi).

أَنَّ عُمَرَ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلَاهِ الْغَدَاةِ يَوْمَ عَرَفَةَ إلَي صَلَاةِ الظُّهْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ يُكَبِّرُ فِي الْعَصْرِ يَقُوْلُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَاللهُ أكْبَرُ الله أكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ

“Sahabat ‘Umar bertakbir mulai shalat subuh pada hari Arafah sampai shalat Dhuhur dari akhir hari tasyriq, beliau takbir pada shalat ashar dengan mengucapkan 'Allâhu akbar Allâhu akbar lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar, Allâhu akbar wa lillâhi-l-hamd”.

(HR. Ibnu Mundzir).

Pada dua hadits di atas, kalimat Allâhu akbar hanya diucapkan sebanyak dua kali. Berpijak pada hadits tersebut, mestinya pengucapan takbir yang dianjurkan dalam menyambut hari raya adalah sebanyak dua kali, bukan tiga kali.

Sedangkan kelompok yang melafalkan takbir “Allâhu akbar” sebanyak tiga kali, seperti yang banyak dianut oleh mayoritas Muslim di Indonesia, berpijak pada hadits marfu berikut:


كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا صَلَّى الصُبْحَ مِنْ غَدَاةِ عَرَفَةَ يَقْبَلُ عَلَى أَصْحَابِهِ فَيَقُوْلُ عَلَى مَكَانِكُمْ وَيَقُوْلُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ فَيُكَبِّرُ مِنْ غَدَاةِ عَرَفَةَ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika usai shalat subuh pada hari arafah, beliau menghadap para sahabat, lalu bersabda: 'Tetaplah dalam posisi kalian' dan beliau berkata: “Allâhu akbar Allâhu akbar Allâhu akbar lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar, Allâhu akbar wa lillâhi-l-hamd” beliau bertakbir mulai dari usai shalat subuh pada hari arafah sampai setelah shalat ashar dari akhir hari tasyriq” (HR. Daruqutni)

Hadits di atas secara gamblang menjelaskan pelafalan takbir dengan mengucapkan kata Allâhu akbar sebanyak tiga kali. Melihat berbagai redaksi hadits-hadits di atas yang sepintas tampak berlawanan dalam pelafalan jumlah takbir, sebenarnya menakah yang paling benar untuk di amalkan?

Perbedaan pandangan mengenai jumlah penyebutan kata Allâhu akbar ini sebenarnya juga terjadi dalam beberapa pendapat yang diungkapkan oleh Imam Asy-Syafi’i. Pendapat yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i adalah mengucapkan takbir sebanyak tiga kali. Sedangkan pendapat Imam Asy-Syafi’i yang lain, yakni dalam qaul qadim beliau yang dikutip oleh Abu Sa’d al-Mutawali menjelaskan bahwa kata takbir hanya diucapkan dua kali. Hal demikian seperti yang disampaikan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab:

(فرع) صفة التكبير المستحبة الله أكبر الله أكبر الله أكبر هذا هو المشهور من نصوص الشافعي في الأم والمختصر وغيرهما وبه قطع الأصحاب وحكى صاحب التتمة وغيره قولا قديما للشافعي أنه يكبر مرتين ويقول الله أكبر الله أكبر والصواب الأول ثلاثا نسقا قال الشافعي في المختصر وما زاد من ذكر الله فحسن وقال في الأم أحب أن تكون زيادته الله كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا لا إله إلا الله ولا نعبد إلا إياه مخلصين له الدين ولو كره الكافرون لا إله إلا الله وحده صدق وعده ونصر عبده وهزم الأحزاب وحده لا إله إلا الله والله أكبر واحتجوا له بأن النبي صلى الله عليه وسلم " قاله على الصفا " وهذا الحديث رواه مسلم في صحيحه من رواية جابر بن عبد الله رضي الله عنهما أخصر من هذا اللفظ 

“Cabang permasalahan. Sifat lafal takbir adalah Allâhu akbar Allâhu akbar Allâhu akbar. Lafal ini merupakan lafal yang masyhur dari nash Imam Asy-Syafi’i di kitab al-Um, al-Mukhtashar, dan kitab lainnya, serta yang dipastikan (kebenarannya) oleh al-Ashab (para santri Imam Asy-Syafi’i). Sedangkan pengarang kitab at-Tatimmah (Abu Sa’d al-Mutawali) menceritakan qaul qadim (pendapat lama) dari Imam Syafi’i yang berpandangan bahwa lafal takbir diucapkan hanya dua kali, yakni Allâhu akbar Allâhu akbar. Namun pendapat yang benar adalah yang pertama, yakni mengucapkan takbir tiga kali. 

Imam Asy-Syafi’i dalam kitab al-Mukhtashar berkata: “Menambah dzikir (dalam takbir) adalah hal yang baik”. Dalam kitab al-Um beliau menjelaskan: “Aku lebih suka menambahkan lafal Allâhu akbar kabîran wal hamdu lillâhi katsîra wa subhânallâhi bukratan wa ashîla, lâ ilâha illallâhu wa lâ na’budu illâ iyyâh, mukhlishîna lahuddîna wa law karihal kâfirun, lâ ilâha illallâhu wahdahu shadaqa wa’dahu  wa nashara ‘abdahu wa hazama al-ahzâba wahdahu, lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar” para ulama menjadikan hujjah pada lafal tersebut bahwasannya Nabi mengucapkannya di atas bukit shafa. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dari riwayat Sahabat Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhuma dengan redaksi yang lebih ringkas dari lafal di atas” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 5, hal. 39)

Dalam referensi di atas, secara tegas disampaikan bahwa pendapat yang benar adalah mengucapkan takbir sebanyak tiga kali. Berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa hal yang paling baik untuk diamalkan dalam melafalkan takbir hari raya adalah mengucapkan kata Allâhu akbar sebanyak tiga kali. 

Meski begitu, mengucapkan kata takbir sebanyak dua kali, seperti yang diamalkan sebagian orang tidak lantas menjadi hal yang dilarang dan menyalahi kesunnahan, sebab hal tersebut juga berdasarkan dalil-dalil yang dapat dipertimbangkan. Meski hal yang lebih utama untuk diamalkan adalah membaca takbir sebanyak tiga kali. 

Kajian hadits—seperti halnya pada persoalan jumlah lafal takbir hari raya ini—tak sesederhana mengutip, menerjemahkan, lalu menjadikannya dasar. Kompleksitas studi hadits seringkali mesti berurusan dengan hadits-hadits lain yang bisa jadi memiliki konteks, redaksi, atau perawi yang berbeda. Karena itulah mengacu pada pandangan para ulama fiqih yang kompeten penting dilakukan. Sufyan bin Uyainah pernah berkata, “al-Hadîts madlallatun illâ lil fuqaha (hadits adalah tempat orang tersesat, kecuali bagi para fuqaha [pakar]).” []

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar