Lafal Takbir Hari Raya,
Diucapkan Tiga Kali atau Dua Kali?
Melafalkan kalimat takbir merupakan hal
yang dianjurkan oleh syariat dalam memperingati hari raya, baik
pada Idul Fitri ataupun Idul Adha. Khusus dalam
menyambut datangnya Idul Adha, kesunnahan membaca takbir
dimulai sejak setelah shalat subuh pada
hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) sampai
setelah shalat ashar di akhir
hari tasyriq (13 Dzulhijjah)
(lihat: Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib,
hal. 84)
Namun, seringkali polemik muncul di
masyarakat terkait pelafalan kalimat takbir ini.
Sebagian melafalkan takbir “Allâhu akbar” sebanyak dua kali,
sedangkan kelompok yang lain melafalkan “Allâhu akbar” sampai
tiga kali.
Kelompok yang berpandangan bahwa lafal
takbir hanya diucapkan dua kali, umumnya berpijak pada hadits-hadits
mauquf berikut:
كَانَ سَلْمَانُ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يُعَلِّمُنَا التَّكْبِيرَ يَقُولُ : كَبِّرُوا اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا
“Salman mengajari kami lafal takbir, ia
berkata: ‘Bertakbirlah, Allâhu akbar Allâhu akbar, sungguh
maha besar” (HR. Al-Baihaqi).
أَنَّ عُمَرَ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلَاهِ الْغَدَاةِ يَوْمَ عَرَفَةَ إلَي صَلَاةِ الظُّهْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ يُكَبِّرُ فِي الْعَصْرِ يَقُوْلُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَاللهُ أكْبَرُ الله أكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ
“Sahabat ‘Umar bertakbir mulai shalat subuh
pada hari Arafah sampai shalat Dhuhur dari akhir
hari tasyriq, beliau takbir pada shalat ashar dengan
mengucapkan 'Allâhu akbar Allâhu akbar lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar, Allâhu akbar wa lillâhi-l-hamd”.
(HR. Ibnu Mundzir).
Pada dua hadits di atas,
kalimat Allâhu akbar hanya diucapkan sebanyak dua kali. Berpijak
pada hadits tersebut, mestinya pengucapan takbir yang dianjurkan
dalam menyambut hari raya adalah sebanyak dua kali, bukan tiga kali.
Sedangkan kelompok
yang melafalkan takbir “Allâhu akbar” sebanyak tiga kali,
seperti yang banyak dianut oleh mayoritas Muslim di Indonesia, berpijak
pada hadits marfu’ berikut:
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا صَلَّى الصُبْحَ مِنْ غَدَاةِ عَرَفَةَ يَقْبَلُ عَلَى أَصْحَابِهِ فَيَقُوْلُ عَلَى مَكَانِكُمْ وَيَقُوْلُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ فَيُكَبِّرُ مِنْ غَدَاةِ عَرَفَةَ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
usai shalat subuh pada hari arafah, beliau menghadap para
sahabat, lalu bersabda: 'Tetaplah dalam posisi kalian' dan beliau berkata:
“Allâhu akbar Allâhu akbar Allâhu akbar lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar, Allâhu akbar wa lillâhi-l-hamd”
beliau bertakbir mulai dari usai shalat subuh pada
hari arafah sampai setelah shalat ashar dari akhir
hari tasyriq” (HR. Daruqutni)
Hadits di atas secara gamblang
menjelaskan pelafalan takbir dengan mengucapkan
kata Allâhu akbar sebanyak tiga kali. Melihat berbagai
redaksi hadits-hadits di atas yang sepintas tampak berlawanan
dalam pelafalan jumlah takbir, sebenarnya menakah yang
paling benar untuk di amalkan?
Perbedaan pandangan mengenai jumlah
penyebutan kata Allâhu akbar ini sebenarnya juga terjadi dalam
beberapa pendapat yang diungkapkan oleh Imam Asy-Syafi’i. Pendapat yang
masyhur dari Imam Asy-Syafi’i adalah mengucapkan takbir sebanyak tiga
kali. Sedangkan pendapat Imam Asy-Syafi’i yang lain, yakni
dalam qaul qadim beliau yang dikutip oleh
Abu Sa’d al-Mutawali menjelaskan bahwa kata takbir hanya
diucapkan dua kali. Hal demikian seperti yang disampaikan oleh
Imam an-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’
ala Syarh al-Muhadzab:
(فرع) صفة التكبير المستحبة الله أكبر الله أكبر الله أكبر هذا هو المشهور من نصوص الشافعي في الأم والمختصر وغيرهما وبه قطع الأصحاب وحكى صاحب التتمة وغيره قولا قديما للشافعي أنه يكبر مرتين ويقول الله أكبر الله أكبر والصواب الأول ثلاثا نسقا قال الشافعي في المختصر وما زاد من ذكر الله فحسن وقال في الأم أحب أن تكون زيادته الله كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا لا إله إلا الله ولا نعبد إلا إياه مخلصين له الدين ولو كره الكافرون لا إله إلا الله وحده صدق وعده ونصر عبده وهزم الأحزاب وحده لا إله إلا الله والله أكبر واحتجوا له بأن النبي صلى الله عليه وسلم " قاله على الصفا " وهذا الحديث رواه مسلم في صحيحه من رواية جابر بن عبد الله رضي الله عنهما أخصر من هذا اللفظ
“Cabang permasalahan. Sifat lafal takbir
adalah Allâhu akbar Allâhu akbar Allâhu akbar. Lafal ini merupakan lafal yang
masyhur dari nash Imam Asy-Syafi’i di kitab al-Um, al-Mukhtashar, dan kitab
lainnya, serta yang dipastikan (kebenarannya) oleh al-Ashab (para santri Imam
Asy-Syafi’i). Sedangkan pengarang kitab at-Tatimmah (Abu Sa’d al-Mutawali)
menceritakan qaul qadim (pendapat lama) dari Imam Syafi’i yang
berpandangan bahwa lafal takbir diucapkan hanya dua kali, yakni Allâhu akbar
Allâhu akbar. Namun pendapat yang benar adalah yang pertama, yakni mengucapkan
takbir tiga kali.
Imam Asy-Syafi’i dalam kitab al-Mukhtashar
berkata: “Menambah dzikir (dalam takbir) adalah hal yang baik”. Dalam kitab
al-Um beliau menjelaskan: “Aku lebih suka menambahkan lafal Allâhu akbar kabîran
wal hamdu lillâhi katsîra wa subhânallâhi bukratan wa ashîla, lâ ilâha
illallâhu wa lâ na’budu illâ iyyâh, mukhlishîna lahuddîna wa law karihal
kâfirun, lâ ilâha illallâhu wahdahu shadaqa wa’dahu wa nashara ‘abdahu wa
hazama al-ahzâba wahdahu, lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar” para ulama
menjadikan hujjah pada lafal tersebut bahwasannya Nabi mengucapkannya di atas
bukit shafa. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab
Shahih-nya dari riwayat Sahabat Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhuma dengan
redaksi yang lebih ringkas dari lafal di atas” (Syekh Yahya bin Syaraf
an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 5, hal. 39)
Dalam referensi di atas, secara tegas
disampaikan bahwa pendapat yang benar adalah mengucapkan takbir sebanyak tiga
kali. Berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa hal yang paling baik untuk
diamalkan dalam melafalkan takbir hari raya adalah mengucapkan
kata Allâhu akbar sebanyak tiga kali.
Meski begitu, mengucapkan kata takbir
sebanyak dua kali, seperti yang diamalkan sebagian orang tidak lantas menjadi
hal yang dilarang dan menyalahi kesunnahan, sebab hal tersebut juga
berdasarkan dalil-dalil yang dapat dipertimbangkan. Meski hal yang
lebih utama untuk diamalkan adalah membaca takbir sebanyak tiga kali.
Kajian hadits—seperti halnya pada persoalan
jumlah lafal takbir hari raya ini—tak sesederhana mengutip, menerjemahkan, lalu
menjadikannya dasar. Kompleksitas studi hadits seringkali mesti berurusan
dengan hadits-hadits lain yang bisa jadi memiliki konteks, redaksi, atau perawi
yang berbeda. Karena itulah mengacu pada pandangan para ulama fiqih yang
kompeten penting dilakukan. Sufyan bin Uyainah pernah berkata, “al-Hadîts
madlallatun illâ lil fuqaha (hadits adalah tempat orang tersesat, kecuali bagi
para fuqaha [pakar]).” []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar