Timur-Tengah Berlomba-Lomba Merapat ke China
Oleh: Zuhairi Misrawi
China semakin mengukuhkan diplomasi dan pengaruhnya di
Timur-Tengah. Setelah kerja sama yang kongkret dengan Iran, Turki, dan Arab
Saudi, teranyar China melakukan kesepakatan dengan Uni Emirat Arab dalam sektor
perbankan, minyak, pariwisata, dan sains.
Putera Mahkota Abu Dhabi, Mohammed bin Zayed melakukan kunjungan kenegaraan ke Beijing dan berjumpa langsung Xi Jinping. Total kerja sama yang disepakati kedua belah pihak mencapai 70 miliar dolar Amerika Serikat. Jumlah kerja sama yang sangat fantastis, menggiurkan, dan membuktikan betapa seriusnya Uni Emirat Arab menjadikan China sebagai mitra strategis di kawasan.
Dimulai sejak 1984, investasi China di Uni Emirat Arab terus bertambah. China memandang Uni Emirat Arab sebagai bagian dari destinasi jalur sutera yang akan menjadikan visi China bisa dibumikan di kawasan Timur-Tengah. Di samping itu, Uni Emirat Arab juga memandang China sebagai mitra strategis yang akan memperkuat posisinya di kawasan, termasuk juga Afrika Utara.
Maka tidak diayalkan lagi, kedua negara mempunyai kepentingan yang sama dalam memproyeksikan pengaruhnya di kawasan Timur-Tengah. Beberapa negara lainnya, seperti Arab Saudi, Iran, dan Turki sudah terlebih dahulu melakukan kerja sama dengan China untuk memastikan adanya dukungan penuh sebagai salah satu aktor penting dalam ekonomi, politik, dan keamanan global.
Uni Emirat Arab tidak mau ketinggalan dari negara-negara tetangganya dalam mendapatkan dukungan dari China, sehingga posisinya tidak diganggu oleh negara-negara yang memainkan peran strategis. Di antaranya perang di Yaman yang hingga saat ini menemukan kebuntuan dan tidak ada solusi terbaik. Uni Emirat Arab menjadi pihak yang terlibat langsung dalam perang tersebut, sehingga turut berdosa terhadap kemelut konflik yang berkepanjangan itu.
Dalam konflik Yaman, Uni Emirat Arab sudah memutuskan untuk menarik para pasukannya karena menganggap keterlibatannya menimbulkan dampak-dampak yang sangat tidak menguntungkan, bahkan sangat merugikan. Maka aliansi strategis dengan China dapat dipahami untuk mendapatkan dukungan agar Uni Emirat Arab tidak mendapatkan sanksi dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
China secara tegas sudah menyatakan bahwa Uni Emirat Arab sebagai aktor penting dalam stabilitas dan perdamaian di kawasan Timur-Tengah. Ini artinya China juga terlihat mempunyai kepentingan yang sama terhadap negara-negara Timur-Tengah yang mempunyai aset ekonomi lumayan besar.
Uni Emirat Arab menangkap peluang tersebut untuk menggunakan China sebagai mitra strategis di kawasan. Apalagi China juga sedang gencar-gencarnya ingin terlibat dalam normalisasi Suriah pasca-jatuhnya ISIS dan tumbangnya kelompok oposisi. Bersama Iran dan Rusia, China dikabarkan akan bekerja sama untuk membangun Suriah. Dalam hal ini pula dapat dipahami jika Uni Emirat Arab baru-baru ini sudah membuka kembali kedutaan besar mereka di Damaskus.
Kehadiran China di kawasan Timur-Tengah semakin hari semakin kuat dengan adanya kesepakatan dan kerja sama bisnis yang menggiurkan itu. Melemahnya ekonomi dan peran geopolitik Amerika Serikat yang semakin tidak jelas menyebabkan China leluasa untuk memainkan perannya di Timur-Tengah.
Bahkan, negara-negara Timur-Tengah seperti Arab Saudi, Turki, dan terakhir Uni Emirat Arab menegaskan dukungannya terhadap China. Kasus diskriminasi Uighur yang banyak mendapatkan perhatian dunia, pun tidak luput dari dukungan negara-negara Arab itu kepada China. Mereka dapat memaklumi apa yang dilakukan China terhadap Uighur, karena mereka dianggap sebagai kaum teroris dan ekstremis yang dapat mengganggu stabilitas negara. Bahkan, Presiden Turki Erdogan menyatakan siap pasang badan jika ada pihak-pihak yang mengganggu dan mengalahkan China.
Maka dari itu, jangan disalahkan jika negara-negara Timur-Tengah saat ini berlomba-lomba mendekati dan bekerja sama dengan China. Bahkan Arab Saudi akan memasukkan bahasa Mandarin dalam kurikulum pendidikan mereka. Negara-Negara Timur-Tengah membuka mata dan menyadari terhadap peran global dan geopolitik China yang sudah tidak terhindarkan lagi.
China mempunyai sumber daya ekonomi, sumber daya militer, dan sumber daya manusia yang sudah teruji, karena mereka sudah membuktikannya. Dunia luar, khususnya negara-negara Timur-Tengah memandang aliansi dengan China akan membawa dampak yang luar biasa. Apalagi salah satu kelebihan China biasanya tidak ingin terlalu masuk dalam persoalan politik domestik dan kawasan, sebagaimana dilakukan oleh Amerika Serikat yang sudah terbukti menjadikan Timur-Tengah berkeping-keping akibat konflik politik.
Isu komunisme yang biasanya selalu menjadi ganjalan dalam membangun kerja sama dengan China sama sekali tidak terdengar. Arab Saudi adalah pihak yang selama ini mengecam komunisme tidak lagi mempersoalkan isu komunisme tersebut.
Dengan demikian, tidak ada lagi hambatan bagi China untuk mengukuhkan kehadiran dan pengaruhnya di Timur-Tengah. Istimewanya, hampir tidak ada penolakan dari negara-negara Timur-Tengah terhadap China. Iran dan Arab Saudi yang selama ini berseteru tidak mempersoalkan kehadiran China dalam memperluas pengaruhnya di Timur-Tengah.
Harus diakui, China berhasil membangun eksistensinya dari dulu hingga sekarang ini. Di saat China berada di puncak keunggulan ekonomi seperti sekarang ini, China tinggal memetik buahnya. Dan harus diakui, mendekatnya negara-negara Timur-Tengah ke China juga akan membawa dampak bagi dunia Islam, termasuk Indonesia yang selama ini kerap melihat China dengan sebelah mata. Harapannya, kita juga berhasil membangun masa depan yang lebih baik dengan melihat masa lalu sebagai pengalaman dan pelajaran. Masa depan akan membawa kita pada realitas sejarah yang penuh optimisme dan kerja sama yang akan menjadikan dunia membawa pada kemajuan dan kesejahteraan. []
DETIK, 15 Agustus 2019
Zuhairi Misrawi | Intelektual Nahdlatul Ulama, analis
pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar