Hukum Jual Beli Sistem
Dropship dan Reseller
Jual beli online telah menjadi menjadi
primadona sistem jual beli di tengah perkembangan teknologi internet dewasa
ini. Dropshipping mengacu pada istilah jual beli yang dilakukan tanpa
modal. Penjual tidak perlu menyediakan stok barang atau melakukan proses pengiriman
barang pada pembeli. Ia hanya berperan sebagai perantara yang menghubungkan
antara penjual dan pembeli. Sementara itu, supplier berperan menyediakan
stok dan melakukan pengiriman barang atas nama dropshipper.
Sistem ini berbeda sekali dengan sistem jual
beli reseller, yaitu sistem jual beli yang dilakukan dengan jalan menjual
kembali barang yang dikulak oleh pedagang dari pedagang stok. Dalam sistem ini,
penjual harus menyediakan stok barang terlebih dahulu sebelum bergerak selaku
penjual. Tanggung jawab pengiriman barang melekat pada dirinya sendiri.
Dengan membedakan kedua sistem antara
dropshipping dan reseller ini, maka bisa diketahui bahwa dropshipping merupakan
sistem jual beli tanpa modal (urudlu al-tijârah). Pedagang hanya
bergerak selaku makelar (samsarah) atau selaku orang yang diberi hak
kuasa menjualkan barang (wakil) oleh pedagang stok (supplier). Barang
yang diperjualbelikan mengikuti klasifikasi barang yang disediakan oleh
penyedia stok-nya. Adapun harga barang, maka ada dua kemungkinan, yaitu:
pertama, pedagang memberikan harga sendiri atas barang yang dijual, yang
berbeda dengan harga pokok pemilik stok. Kedua, pedagang hanya berperan selaku
orang yang mendapatkan izin menjualkan barang milik supplier (seharga
yang sudah ditetapkan pemilik stok, dengan tetap mendapat keuntungan sesuai
kesepakatan, red).
Untuk hukum seputar jual beli reseller, para
ulama sepakat membolehkan disebabkan karena barang sudah menjadi milik dari supplier.
Sistem jual beli reseller masuk kategori bai’u maushufin fi al-dzimmah,
yaitu jual beli barang yang sudah menjadi milik dari pedagang. Akad yang
berlaku adalah akad salam, yaitu sistem jual akad pesan. Cirinya adalah:
- Barang sudah berada dalam kuasa pedagang
- Diketahui ra’sul maal-nya (modal
pokoknya)
Ikhtilaf terjadi pada sistem perdagangan dropshipping.
Ada beberapa pangkal ikhtilaf mengingat sistem jual beli dropshipping ini
ada dua, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dropshipping dengan barang yang
belum mendapatkan izin dari supplier
Biasanya sistem ini dilakukan dengan jalan,
penjual membuat akun sendiri. Ia mencantumkan banyak ragam barang yang
ditawarkan, sementara barangnya masih berada di tangan orang lain yang menjadi
pedagang aslinya. Ia hanya berperan mencarikan barang, tanpa kesepakatan
imbalan (ujrah) dengan pedagang pertama. Sebagai gambaran mudahnya adalah
perdagangan ala makelaran. Barang yang ditawarkan belum menjadi milik makelar,
dan belum mendapat izin atau meminta izin kepada pedagang aslinya, tapi dia
sudah menawarkan barang.
Jual beli sistem dropship model
makelaran seperti ini disepakati oleh mayoritas ulama sebagai haram, kecuali
mazhab Hanafi yang masih membolehkan, asalkan ia mengetahui ciri-ciri umum dari
barang. Sebagian dari kalangan Syafi’iyah juga masih ada yang menyatakan boleh,
namun sifatnya hanya terbatas pada barang tertentu yang mudah dikenali dan
tidak gampang berubah ciri khasnya. Contoh makelar sepeda motor dengan merek
Jupiter Z1, atau makelar mobil dengan merek Avanza. Baik sepeda motor maupun
mobil Avanza adalah merupakan jenis barang yang tidak gampang berubah dan mudah
dikenali oleh pembelinya, meskipun barangnya itu tidak ada di tempat
penjualnya. Untuk jual beli barang seperti ini termasuk jual beli ainun
ghaibah, yaitu jual beli barang yang belum ada di tempat.
Pangkal hukum yang memperlemah status
kebolehan dropshipping sistem pertama ini adalah masalah izin yang belum
didapatkan oleh dropshipper dari supplier. Itulah sebabnya ia dikelompokkan
dalam sistem samsarah (makelar) yang hanya di mazhab Hanafi saja yang
membolehkannya. Salah satu ulama dari kalangan Malikiyyah, yakni Syekh Wahbah
Zuhaily juga menyatakan kebolehan dari akad samsarah ini. Dalam Al-Fiqhu
al-Islam wa Adillatuhu, beliau menyampaikan:
ﻭاﻟﺴﻤﺴﺮﺓ
ﺟﺎﺋﺰﺓ، ﻭاﻷﺟﺮ اﻟﺬﻱ ﻳﺄﺧﺬﻩ اﻟﺴﻤﺴﺎﺭ ﺣﻼﻝ؛ ﻷﻧﻪ ﺃﺟﺮ ﻋﻠﻰ ﻋﻤﻞ ﻭﺟﻬﺪ ﻣﻌﻘﻮﻝ
Artinya: “Jual beli makelaran adalah boleh.
Dan upah yang diambil oleh makelar adalah halal karena ia didapat karena adanya
amal dan jerih payah yang masuk akal.” (Lihat: Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqhu
al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tt.,: 5/21!).
Namun, sayangnya dalam mazhab Maliki tetap
mensyaratkan adanya al-ajru, yaitu upah bagi makelar, yang berarti harus ada
izin langsung dari pihak supplier. Jadi, satu-satunya mazhab yang
membolehkan dalam masalah ini adalah mazhab Hanafi saja.
Dropshipping dengan barang yang
mendapat izin dari supplier
Untuk sistem kedua ini, biasanya dilakukan
dengan jalan pihak dropshipper meminta izin kepada supplier untuk
ikut menjualkan barangnya. Dengan demikian pedagang berperan selaku orang yang
diizinkan atau mendapatkan kuasa menjualkan. Selaku orang yang mendapatkan hak
kuasa, maka kedudukannya hampir sama dengan pedagang reseller. Hanya saja,
kondisi barang yang dijual belum ada di tangan pedagang.
Selaku orang yang diberi izin menjualkan
barang, maka dropshipping sistem kedua ini masuk kategori bai’u ainin
ghaibah maushufatin bi al-yad, yaitu jual beli barang yang belum ada di
tempat namun bisa diketahui sifat dan ciri khas barangnya dan diperbolehkan
sebab pemberian kuasa. Kalangan ulama mazhab Syafi’i ada yang memandang
hukumnya sebagai boleh sebagaimana pendapat berikut ini:
وقوله
لم تشاهد يؤخذ منه أنه إذا شوهدت ولكنها كانت وقت العقد غائبة أنه يجوز
Artinya: “Maksud dari pernyataan Abi Syujja’
“belum pernah disaksikan”, difahami sebagai “apabila barang yang dijual pernah
disaksikan, hanya saja saat akad dilaksanakan barang tersebut masih ghaib
(tidak ada)”, maka hukumnya adalah boleh.” (Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad
Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya:
Al-Hidayah, 1993: 1/240)
Namun kebolehan ini disertai dengan syarat
mutlak yaitu apabila contoh barang tersebut pernah disaksikan oleh pembeli,
mudah dikenali dan tidak gampang berubah modelnya, sebagaimana pendapat ini
tercermin dari pernyataan berikut ini:
إن
كانت العين مما لا تتغير غالبا كالأواني ونحوها أو كانت لا تتغير في المدة
المتخللة بين الرؤية والشراء صح العقد لحصول العلم المقصود
Artinya: “Jika barang “‘ain ghaibah” adalah
berupa barang yang umumnya tidak mudah berubah, misalnya seperti wadah
(tembikar) dan sejenisnya, atau barang tersebut tidak mudah berubah oleh waktu
ketika mulai dilihat (oleh yang dipesani) dan dilanjutkan dengan membeli (oleh
yang `memesan), maka akad (jual beli ‘ain ghaibah) tersebut adalah sah
disebabkan tercapainya pengetahuan barang yang dimaksud.” (Lihat: Taqiyuddin
Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati
al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/241).
Adapun akad jual beli untuk dropshipping model
kedua ini adalah akad salam, yaitu jual beli dengan sistem pemesanan. Hukumnya
adalah boleh (jaiz).
Kesimpulan
Dropshipping adalah jual beli
online tanpa modal dengan barang yang masih belum menjadi milik pihak penjual.
Ada dua sistem dropshipping berdasarkan keberadaan izin yang dipegang
oleh penjual. Pertama, dropshipping tanpa izin menjualkan barang oleh supplier.
Hukumnya adalah haram menurut mayoritas ulama. Hanya mazhab Hanafi saja yang
memperbolehkan sistem jual beli ini. Akad yang dibangun dalam sistem pertama
ini adalah akad makelaran (samsarah).
Kedua, dropshipping dengan izin
menjualkan barang oleh supplier. Akad yang dibangun dalam model kedua
ini adalah akad salam. Ulama empat mazhab menyatakan status kebolehan hukumnya.
Khusus untuk mazhab Syafi’i, ada catatan khusus terkait dengan barang yang
dijual, yaitu apabila barang terdiri atas barang yang tidak mudah berubah baik
model maupun sifat barangnya. Untuk barang yang mudah berubah model dan sifat
barangnya, maka hukumnya sepakat tidak boleh. Wallahu a’lam bi al-shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian
Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, JATIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar