Rabu, 28 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Jual Beli Bersyarat yang Diperbolehkan Syariat


Jual Beli Bersyarat yang Diperbolehkan Syariat

Mencari orang yang mahu membeli suatu aset kadang sulit dan kadang mudah. Banyak orang sampai menaruh papan pengumuman di tempat umum atau bahkan mengambil kolom iklan di harian surat kabar besar, hanya gara-gara ingin menjual barang yang dimilikinya. Karena harga aset yang hendak dijual adalah mahal, maka kadang membutuhkan waktu yang lama untuk menunggu. Ditunggu-tunggu tak kunjung datang.

Karena tidak sabar, aset itu disewakan ke orang lain selama satu tahun. Maksud hati sambil menunggu dan biar rumah tidak rusak karena tanpa penghuni, Eh... lima bulan jalan masa sewa, calon pembeli pun datang. Setelah dijelaskan kronologis rumahnya, kemudian penjual bilang kepada calon pembelinya: “Mas, rumah ini terlanjur saya sewakan selama satu tahun. Dan penyewanya sudah 5 bulan jalan menempati rumah itu. Kurang lebih 7 bulan ke depan, rumah itu bisa Anda tempati. Apakah saudara mau menunggu selama jangka waktu itu?” Dan ternyata pembelinya menyatakan bersedia menunggu. Akhirnya, terjadilah transaksi jual beli dengan syarat menunggu tersebut.

Persoalan di atas adalah contoh jual beli dengan syarat. Pembeli punya dua pilihan, antara bersedia menunggu dan dilanjutkan transaksi jual belinya, atau tidak bersedia menunggu, dalam arti bila ada calon pembeli berikutnya yang bersedia menunggu, maka rumah itu akan dijual oleh pemilik ke pihak tersebut. Di satu sisi, sang calon pembeli butuh memiliki rumah. Persoalannya adalah apakah syarat yang demikian ini termasuk diperbolehkan dalam fiqih?

Kupasan kita kali ini adalah berkaitan dengan syarat yang diperbolehkan untuk diturutsertakan dalam jual beli mengingat kebutuhan yang terpaksa tidak bisa dihindari. Karena, betapa sulitnya hidup ini bila tidak saling bertoleransi dalam jual beli semacam ini. Pembeli membutuhkan aset yang bisa dimiliki dan dibeli, sementara penjual membutuhkan orang yang bisa membeli rumahnya. Menetapkan syarat dalam jual beli, hampir sama pengertiannya dengan riba. Itulah sebabnya kasus ini juga disebut kasus syubhat riba, yaitu kasus yang mirip-mirip riba.

Ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’ amshar terkait dengan jual beli dengan syarat. Sebagian fuqaha’ menyatakan kebolehannya dan sebagian yang lain menyampaikan tidak sahnya akad. 

Ulama Hanabilah menyatakan sahnya akad jual beli dengan syarat, dengan catatan syarat yang diberlakukan hanya satu saja. Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah menyatakan syaratnya boleh dan sah, namun jual belinya termasuk fasid (rusak). Salah satu ulama’ madzhab Hanafi, Syeikh Alauddin Al-Samarqandy dalam Tuhfatu al-Fuqaha’ li al-Samarqandi menjelaskan:

لأن اشتراط المنفعة لأحد المتعاقدين من باب الربا أو شبهة الربا

Artinya: “Karena sesungguhnya penetapan syarat kemanfaatan bagi salah satu pihak yang bertransaksi adalah termasuk pasal riba atau merupakan bagian dari syubhatnya riba.” (‘Alauddin Al-Samarqandy, Tuhfatu al-Fuqaha’ li al-Samarqandy, juz 2, Beirut: Daru al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1984: 52-52).

Adapun pendapat dari kalangan Syafi’iyyah, adalah sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, sebagai berikut:

إن بين المدة فطريقان: أصحها فساد البيع والثاني فيه وجهان أصحها الفساد والآخر الصحة, وإن لم يبين المدة فالبيع باطل

Artinya: “Ada dua metode istinbath hukum terkait dengan syarat penetapan jangka waktu (dalam jual beli). Metode yang paling shohih menyatakan rusaknya akad jual beli. Metode kedua menghasilkan dua pendapat, yaitu: pendapat yang paling shahih adalah rusaknya akad jual beli, dan pendapat yang kedua (shahih) adalah sahnya akad jual beli, namun jika tidak dijelaskan maksud dari masa, maka jual-belinya bathil.” (Lihat: Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawy, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Mesir: Maktabah al- Mathba’ah al-Munîrah, tt.,: 6/364)

Mendasarkan diri pada pendapat Imam Nawawi, ternyata kalangan fuqaha’ Syafi’iyyah tidak satu pendapat terkait dengan bolehnya menyertakan syarat sebagaimana sudah disebutkan di atas. Hasil kesepakatan yang paling shahih (qaul ashah) menyatakan “rusaknya akad” sehingga jual beli dipandang sebagai tidak sah. Namun, pendapat lain yang lebih rinci di kalangan Syafiiyah menyatakan (shahih), jual beli yang demikian ini adalah “sah jika ada penjelasan lebih lanjut mengenai waktu yang dimaksud.” Merujuk pada pendapat yang terakhir ini, maka para fuqaha’ menyampaikan pandangannya mengenai batasan-batasan kebolehan syarat yang bisa diikutsertakan dalam jual beli. 

Ada tiga batasan syarat yang bisa diikutsertakan dalam jual beli, antara lain:

1. Syarat merupakan bagian dari tujuan akad (muqtadla al-aqdi), seperti untuk bisanya saling menerima barang, kontannya harga, dan semisal. Semua bentuk persyaratan ini, baik disampaikan ke konsumen ataupun tidak disampaikan ke konsumen, adalah sama saja dan tidak mempengaruhi sahnya akad. 

2. Syarat berada di luar ketentuan akad, dan tidak bertentangan dengan tujuan akad. Syarat ini umumnya disampaikan agar tercapai kemaslahatan syar’i dalam objek transaksi. Misalnya, membeli mobil dengan syarat belum pernah dipergunakan, atau membeli ternak namun dengan syarat mampu memproduksi susu yang banyak. Syarat-syarat sebagaimana disebutkan ini adalah sah bila disertakan dalam transaksi. Jika syarat tersebut tidak dijumpai dalam barang yang dibeli, pembeli boleh melakukan khiyar (memilih) yaitu, antara melanjutkan akad, membatalkannya, mengambil kompensasi (arsyun) perbedaan antara barang yang disyaratkan dengan barang yang dihadirkan. Batasan dari diperbolehkannya menyertakan syarat semacam dalam jual beli adalah bilamana syarat tersebut memungkinkan untuk ditepati dan masuk akal, serta tidak bertentangan dengan syara’. Apabila syarat bersifat tidak masuk akal dan bertentangan dengan syara’ maka jual beli bisa dibatalkan. 

3. Apabila syarat disertai dengan menyebutkan pengecualian manfaat tertentu yang bersifat mubah terhadap objek transaksi. Contoh: akan menjual mobil namun setelah pemakaiannya satu bulan ke depan, atau akan menjual rumah setelah usai masa satu tahun ia tinggali, atau akan menjual tanah tegal setelah habisnya masa tanam di musim kemarau dengan ketentuan paling lambat bulan Agustus, sudah bisa diterimakan kepada pembeli.

Ketiga gambaran di atas, merupakan model-model syarat yang disepakati oleh sebagian fuqaha’ akan kebolehannya. Pembaca bisa merujuk pada keterangan yang disampaikan oleh Syeikh Ahmad Yusuf dalam ‘Uqûdu al-Muâwadlât al-Mâliyyah fî Dlaui Ahkâmi Al-Syar’iyyah al-Islâmiyyah, halaman 42-43 yang diterbitkan oleh Daru al-Ulum, Jâmi’ah al-Azhar. 

Dengan demikian, kesimpulan hukum dari jual beli sebagaimana dicontohkan dalam kasus di atas adalah boleh, manakala ada kejelasan waktu kapan berakhirnya syarat tersebut sehingga pembeli bisa menerima barang yang dibelinya. Syarat mutlak harus diterapkan menimbang tidak mungkin membatalkan akad sewa-menyewa yang telah terlebih dahulu terjadi antara penyewa dan orang yang menyewa. Syarat menunggu sampai habisnya waktu sewa merupakan bagian yang ada di luar akad transaksi jual beli sehingga tidak bersifat membatalkan jual beli. Pembeli tetap bisa melakukan khiyar, apakah dia memutuskan menunggu atau membatalkan akad. Wallahu a’lam bish shawab. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar