Meluruskan Pandangan
Keagamaan Kaum Jihadis
Judul
: Meluruskan Pandangan Keagamaan Kaum Jihadis
Penulis
: Khamami Zada, dkk
Penerbit
: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI
Cetakan
: Pertama, 2018
Tebal
: viii+248 halaman
Terminologi ‘Kaum
Jihadis’ di sini merupakan kelompok kecil umat Islam yang keliru dalam memahami
arti jihad. Jihad yang secara makna dipahami sebagai berjuang di jalan Allah
justru diartikan secara tekstual, bukan substansial. Mereka juga memahami jihad
secara parsial, bukan integral. Memahami jihad secara tekstual akan memunculkan
pemahaman dangkal dan simbolik. Ujungnya, orang akan mudah terpengaruh dan
percaya begitu saja dengan segala sesuatu yang menyimbolkan Islam. Padahal
simbol-simbol tersebut kerap hanya digunakan untuk melegalkan kekerasan,
terorisme, dan ekstremisme serta misi politik kekuasaan.
Bagi kelompok
tersebut, menggunakan simbol-simbol Islam merupakan salah satu strategi menarik
minat dan perhatian umat Islam. Kaum jihadis ekstrem melakukan berbagai macam
cara untuk menafsirkan dalil-dalil agama sesuai dengan selera dan tujuan
‘jihad’ mereka. Bukan berdasarkan ilmu agama dan nilai-nilai kemanusiaan
universal. Karena berangkat dari pemahaman dan pandangan keagamaan yang keliru,
maka perlu diluruskan sehingga setidaknya bisa memberikan pemahaman secara
menyeluruh kepada umat Islam dalam memahami jihad yang sesungguhnya.
Buku Meluruskan
Pandangan Keagamaan Kaum Jihadis terbitan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama (2018) merupakan salah satu upaya pemerintah dalam membendung
gerakan-gerakan garis keras Islam. Kelompok yang selama ini telah mengubah Islam
dari wajah sejuk dan ramah menjadi wajah yang keras, penuh amarah, dan
menakutkan. Tentu hal ini jauh dari nilai-nilai agama Islam yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW.
Di dalam buku setebal
248 halaman tersebut dicontohkan kelompok teroris ISIS yang memanfaatkan term
jihad dan menggunakan simbol-simbol agama untuk melegalkan aksi kekerasan dan
terorisme mereka. Gayung bersambut, tidak sedikit umat Islam di beberapa negara
termasuk di Indonesia yang termakan ajakan jihad semu berimbal surga yang
ditawarkan ISIS. Sebagian perempuan dan anak-anak. Mereka rela menjadi
kombatan.
Setelah sampai di
sana (Irak dan Suriah), para perempuan hanya dimanfaatkan menjadi budak seks,
anak-anak terlantar dan dicampakkan. Taman surga dan pendapatan materi yang
ditawarkan ISIS hanya berbuah neraka. Atas kenyataan tersebut, banyak yang
meminta pulang. Mereka memberikan pengakuan bahwa yang ditawarkan oleh ISIS
hanya kepalsuan dan menipu. Sayangnya, keinginan mereka kembali ke tanah air di
mana mereka berasal ditolak. Seperti seorang perempuan bernama Shamima Begum,
eks keluarga ISIS yang emoh diterima Inggris.
Buku ini dapat
memberikan pemahaman komprehensif terkait term-term keagamaan yang kerap
dinarasikan oleh kelompok-kelompok Islam garis keras, seperti jihad, khilafah,
jihad, hijrah, thogut, dan lain-lain. Mestinya, istilah-istilah tersebut bisa
dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan yang dapat menjadi pelajaran bagi umat
Islam saat ini dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Sebab itu, buku ini juga memberikan pemahaman terkait dengan negara
dan sistem pemerintahan. Karena yang kerap dikampanyekan mereka ialah negara
Islam, daulah Islamiyah, dan khilafah Islamiyah.
Bukan hanya
dikembalikan dengan pendekatan nash, Al-Qur’an dan Hadits, buku ini juga
menerangkan dengan pendekatan historis atau sejarah sehingga pembaca bisa
memahami konteks pemahaman dan pandangan keagamaan yang selama ini disempitkan
dan diselewengkan oleh kaum-kaum jihadis ekstrem. Daulah Islamiyah memang
pernah berkembang setelah era Khulafaur Rasyidin. Namun hal itu sebatas
pengembangan sistem pemerintahan umat Islam kala itu. Sedangkan Nabi Muhammad
sendiri tidak pernah mendirikan negara Islam, daulah Islamiyah, kekhalifahan
Islam. Nabi SAW mendirikan negara setelah hijrah ke Yatsrib (Madinah). Dengan
kata lain, Nabi mendirikan negara Madinah berdasarkan kesepakatan-kesepakatan
yang termaktub dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).
Kesepakatan tersebut
dijalin oleh Nabi Muhammad dengan agama, kabilah, dan suku-suku lain yang berkembang
di Madinah. Madinah kala itu memang berkembang menjadi kawasan yang majemuk
atau pluralistik. Konsensus atau kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Madinah
berdasarkan asas keadilan untuk semua bangsa, baik Muslim, Yahudi, Nasrani,
kabilah, dan suku-suku yang hidup di Madinah. Karena dalam halaman 7 disebutkan
bahwa faktor penyusunan Piagam Madinah ialah pertama faktor universal, yaitu
mengokohkan kemuliaan kemanusiaan (karomah insaniyyah). Kedua, faktor-faktor
lokal, yaitu kemajemukan, kecenderungan bertanah air, dan semangat toleransi
keagamaan dan kemanusiaan.
Piagam Madinah berisi
47 pasal. Ia merupakan supremasi perjanjian negara pertama dalam sejarah Islam
yang didirikan oleh Nabi Muhammad. Dengan kata lain, Nabi SAW mendirikan Darul
Mistaq, negara kesepakatan antarkelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-beda
di Madinah. Jadi jika dihubungkan dengan pembentukan dasar negara di Indonesia,
para ulama seperti KH Wahid Hasyim, dan lain-lain sudah tepat dalam meneladani
Nabi karena melahirkan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan. Selengkapnya,
selamat membaca! (Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar