Rabu, 28 Agustus 2019

(Buku of the Day) Meluruskan Pandangan Keagamaan Kaum Jihadis


Meluruskan Pandangan Keagamaan Kaum Jihadis


Judul                : Meluruskan Pandangan Keagamaan Kaum Jihadis
Penulis             : Khamami Zada, dkk
Penerbit            : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI
Cetakan            : Pertama, 2018 
Tebal                : viii+248 halaman

Terminologi ‘Kaum Jihadis’ di sini merupakan kelompok kecil umat Islam yang keliru dalam memahami arti jihad. Jihad yang secara makna dipahami sebagai berjuang di jalan Allah justru diartikan secara tekstual, bukan substansial. Mereka juga memahami jihad secara parsial, bukan integral. Memahami jihad secara tekstual akan memunculkan pemahaman dangkal dan simbolik. Ujungnya, orang akan mudah terpengaruh dan percaya begitu saja dengan segala sesuatu yang menyimbolkan Islam. Padahal simbol-simbol tersebut kerap hanya digunakan untuk melegalkan kekerasan, terorisme, dan ekstremisme serta misi politik kekuasaan.

Bagi kelompok tersebut, menggunakan simbol-simbol Islam merupakan salah satu strategi menarik minat dan perhatian umat Islam. Kaum jihadis ekstrem melakukan berbagai macam cara untuk menafsirkan dalil-dalil agama sesuai dengan selera dan tujuan ‘jihad’ mereka. Bukan berdasarkan ilmu agama dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Karena berangkat dari pemahaman dan pandangan keagamaan yang keliru, maka perlu diluruskan sehingga setidaknya bisa memberikan pemahaman secara menyeluruh kepada umat Islam dalam memahami jihad yang sesungguhnya.

Buku Meluruskan Pandangan Keagamaan Kaum Jihadis terbitan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (2018) merupakan salah satu upaya pemerintah dalam membendung gerakan-gerakan garis keras Islam. Kelompok yang selama ini telah mengubah Islam dari wajah sejuk dan ramah menjadi wajah yang keras, penuh amarah, dan menakutkan. Tentu hal ini jauh dari nilai-nilai agama Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Di dalam buku setebal 248 halaman tersebut dicontohkan kelompok teroris ISIS yang memanfaatkan term jihad dan menggunakan simbol-simbol agama untuk melegalkan aksi kekerasan dan terorisme mereka. Gayung bersambut, tidak sedikit umat Islam di beberapa negara termasuk di Indonesia yang termakan ajakan jihad semu berimbal surga yang ditawarkan ISIS. Sebagian perempuan dan anak-anak. Mereka rela menjadi kombatan.

Setelah sampai di sana (Irak dan Suriah), para perempuan hanya dimanfaatkan menjadi budak seks, anak-anak terlantar dan dicampakkan. Taman surga dan pendapatan materi yang ditawarkan ISIS hanya berbuah neraka. Atas kenyataan tersebut, banyak yang meminta pulang. Mereka memberikan pengakuan bahwa yang ditawarkan oleh ISIS hanya kepalsuan dan menipu. Sayangnya, keinginan mereka kembali ke tanah air di mana mereka berasal ditolak. Seperti seorang perempuan bernama Shamima Begum, eks keluarga ISIS yang emoh diterima Inggris.

Buku ini dapat memberikan pemahaman komprehensif terkait term-term keagamaan yang kerap dinarasikan oleh kelompok-kelompok Islam garis keras, seperti jihad, khilafah, jihad, hijrah, thogut, dan lain-lain. Mestinya, istilah-istilah tersebut bisa dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan yang dapat menjadi pelajaran bagi umat Islam saat ini dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebab itu, buku ini juga memberikan pemahaman terkait dengan negara dan sistem pemerintahan. Karena yang kerap dikampanyekan mereka ialah negara Islam, daulah Islamiyah, dan khilafah Islamiyah.

Bukan hanya dikembalikan dengan pendekatan nash, Al-Qur’an dan Hadits, buku ini juga menerangkan dengan pendekatan historis atau sejarah sehingga pembaca bisa memahami konteks pemahaman dan pandangan keagamaan yang selama ini disempitkan dan diselewengkan oleh kaum-kaum jihadis ekstrem. Daulah Islamiyah memang pernah berkembang setelah era Khulafaur Rasyidin. Namun hal itu sebatas pengembangan sistem pemerintahan umat Islam kala itu. Sedangkan Nabi Muhammad sendiri tidak pernah mendirikan negara Islam, daulah Islamiyah, kekhalifahan Islam. Nabi SAW mendirikan negara setelah hijrah ke Yatsrib (Madinah). Dengan kata lain, Nabi mendirikan negara Madinah berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang termaktub dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).

Kesepakatan tersebut dijalin oleh Nabi Muhammad dengan agama, kabilah, dan suku-suku lain yang berkembang di Madinah. Madinah kala itu memang berkembang menjadi kawasan yang majemuk atau pluralistik. Konsensus atau kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Madinah berdasarkan asas keadilan untuk semua bangsa, baik Muslim, Yahudi, Nasrani, kabilah, dan suku-suku yang hidup di Madinah. Karena dalam halaman 7 disebutkan bahwa faktor penyusunan Piagam Madinah ialah pertama faktor universal, yaitu mengokohkan kemuliaan kemanusiaan (karomah insaniyyah). Kedua, faktor-faktor lokal, yaitu kemajemukan, kecenderungan bertanah air, dan semangat toleransi keagamaan dan kemanusiaan.

Piagam Madinah berisi 47 pasal. Ia merupakan supremasi perjanjian negara pertama dalam sejarah Islam yang didirikan oleh Nabi Muhammad. Dengan kata lain, Nabi SAW mendirikan Darul Mistaq, negara kesepakatan antarkelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-beda di Madinah. Jadi jika dihubungkan dengan pembentukan dasar negara di Indonesia, para ulama seperti KH Wahid Hasyim, dan lain-lain sudah tepat dalam meneladani Nabi karena melahirkan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan. Selengkapnya, selamat membaca! (Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar