Konservatisme Agama (4)
Oleh: Azyumardi Azra
Santrinisasi atau 'Islamisasi' berskala luas yang terjadi di
Indonesia sejak awal 1980- an tidak homogen. Meski 'santrinisasi' itu umumnya
tetap menampilkan mayoritas Muslim Wasatiyah, terdapat juga perbedaan tingkat
'new attachment to Islam' (kedekatan baru pada Islam) yang sedikit banyak
menampilkan corak atau bentuk tertentu konservatisme agama.
Karena itu, untuk memahami fenomena kebangkitan dan pertumbuhan
konservatisme agama di kalangan kaum Muslimin Indonesia, perlu adanya
kategorisasi atau pengelompokan sederhana. Hal ini penting, karena pertumbuhan
konservatisme Islam tidak seragam sama sekali, baik dalam ekspresi keislaman,
maupun sosial, budaya, dan politik.
Pertama, adalah peningkatan amal ibadah atau ritual sejak dari
yang wajib sampai sunah yang merupakan gejala yang diekspresikan mayoritas kaum
Muslimin Indonesia. Gejala ini terlihat dalam peningkatan jumlah jamaah masjid
(dengan jumlah masjid yang juga terus bertambah), jamaah haji dengan masa
tunggu yang makin lama dan umrah serta berbagai bentuk ibadah lain, misalnya
shalat Dhuha di tempat kerja dan sebagainya.
Fenomena ini disertai dengan adopsi gaya hidup yang diyakini lebih
Islami, seperti pemakaian jilbab di kalangan kaum perempuan. Fenomena ini
memunculkan homogenisasi gaya hidup banyak Muslim di Indonesia; kini perempuan
berjilbab dapat ditemukan di manamana; tidak lagi terbatas di tempat, suku,
atau kelompok tertentu yang sebelum dianggap lebih Islami—lebih menampilkan
gaya hidup Islami.
Kaum mayoritas yang mengalami 'increased attachment to Islam'
terlihat semakin santri, mungkin juga dalam batas tertentu kadangkadang
terlihat sedikit ketat. Tetapi, umumnya mereka tetap berpegang pada paradigma
pemahaman dan praksis Islam wasathiyah yang telah dominan di Indonesia selama
berabad-abad. Sedangkan dalam sikap sosial-budaya dan politik, kaum Muslim
mayoritas ini tetap fleksibel.
Berbagai penelitian dan kajian akademik-ilmiah menemukan, tidak
adanya hubungan atau korelasi positif antara 'increased attachment to Islam'
atau bahkan 'religious piety' (kesalehan keagamaan) dengan politik. Gejala ini
terlihat dalam pemilu dari waktu ke waktu sejak 1999 sampai 2019, di mana
parpol yang berhasil mendapatkan suara terbanyak adalah parpol-parpol berasas
Pancasila, bukan partai berasas Islam. Karena itu kebangkitan konservatisme
Islam di kalangan mayoritas Muslim tidak mendorong bangkitnya politik identitas
Islam.
Kedua, kebangkitan konservatisme di kalang an kaum Muslim
Indonesia secara lebih ketat. Kelompok ini juga sebenarnya memiliki subke lom
pok yang sedikit berbeda satu sama lain dalam tingkat keketatan pada apa yang
dipandang seba gai pemahaman dan praktik Islam yang lebih benar.
Umumnya, terdapat kecenderungan kuat kelompok ini untuk
mengorientasikan kehidupan keislaman mereka pada tradisi pada masa pasca-Nabi
Muhammad atau pada sahabat atau thabi'in. Bagi mereka, Islam yang dipahami dan
dipraktikkan mereka inilah yang paling sempurna dan paling murni—dan oleh
karena itu menjadi sumber rujukan dan ikutan. Oleh sebab itu, mereka
'hijrah'—pindah dari kehidupan sekarang kepada pemahaman dan praktik Islam
lebih ketat.
Namun, rujukan pada pemahaman dan praktik Islam generasi awal ini
juga berbeda di antara sub-sub kelompok yang ada. Ada yang merujuk secara
sedikit lebih longgar, tapi juga ada yang mengacu secara sangat literal dalam
berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
Karena itu, kelompok konservatif ini menolak realitas dan gejala
modern atau modernisme tertentu, seperti gaya hidup, sosialbudaya, sampai
politik. Bagi mereka, tema-tema modern, seperti kesetaraan gender, HAM,
demokrasi, dan semacamnya tidak kompatibel, dan karena itu harus ditolak.
Pada tahap ini, dalam bidang politik kelompok konservatif ketat
ini berorientasi pada pembentukan sistem dan institusi politik yang mereka
pandang sebagai paling Islam. Mereka berusaha membangun dawlah Islamiyah yang
merupakan satu negara-bangsa tunggal, atau khilafah yang merupakan entitas
politik universal bagi semua umat Islam sedunia.
Dengan adanya kedua kelompok umat Islam yang mengalami proses
santrinisasi atau konser vatisasi berbeda-beda tingkat keketatannya, bisa
dipastikan pergumulan dan tarik tambang di antara keduanya bakal terus terjadi.
Dalam pergumulan itu, peran negara—tegasnya pemerintah—juga ormas Islam dan
masyarakat madani sangat krusial dan menentukan. []
REPUBLIKA, 27 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar