Kembali ke Khittah
Rohaniah
Judul
: Menjadi Manusia Rohani: Meditasi-meditasi Ibnu Athaillah dalam Kitab Al-Hikam
Penulis
: Ulil Abshar Abdalla
Penerbit
: alif.id dan el-Bukhori Institute
Cetakan
: I, Januari 2019
Tebal
: xxi + 292 halaman
ISBN
: 978-602-53634-2-9
Sisi rohani merupakan
ruang di mana manusia bisa memperkuat karakter religiusitas yang transenden
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan vertikal manusia kepada Tuhannya
tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, tetapi juga harus berdampak pada
kehidupan sosial dan kemanusiaan secara umum. Ini yang dinamakan keseimbangan
antara nalar dan naluri, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual.
Secara hakikat, agama
ada sebagai jalan hidup bagi manusia. Kedalaman rohani membantu manusia
menyeimbangkan perilaku terhadap kehidupan sehari-hari sehingga tercipta
kesejahateraan lahir dan batin. Lebih dari itu, penguatan rohani yang bermuara
pada akhlak luhur menjadikan kebahagiaan masyarakat semakin mantap.
Quraish Shihab dalam
bukunya Yang Hilang dari Kita: Akhlak (2017) menyebut, akhlak dan budi pekerti
yang luhur sangat dibutuhkan untuk mengisi kehidupan masyarakat. Akhlak luhur
merupakan keniscayaan dari kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Semakin
luhur akhlak seseorang, maka semakin mantap kebahagiaannya. Demikian juga
dengan masyarakat, semakin kompak anggota-anggotanya secara bersama-sama
melaksanakan nilai-nilai akhlak yang disepakati bersama, maka semakin bahagia
masyarakat tersebut.
Tujuan-tujuan
kemanusiaan dan peradaban itu tidak terlepas dari penyucian batin melalui
perbuatan-perbuatan baik dan penguatan rohani lewat asupan-asupan kalam hikmah
yang bisa dipelajari setiap Muslim. Dalam hal ini, Menjadi Manusia Rohani:
Meditasi-meditasi Ibnu Athaillah dalam Kitab Al-Hikam yang ditulis Ulil Abshar
Abdalla menjadi salah satu rujukan penting untuk mengisi relung-relung hati dan
ruang-ruang rohani manusia.
Buku yang diterbitkan
alif.id ini berupaya menerjemahkan kalam-kalam hikmah Syekh Ibnu Athaillah
As-Sakandari dalam kitab Al-Hikam. Ulil Abshar Abdalla memberikan syarah 50
kalam hikmah Ibnu Athaillah melalui metode ‘am (umum) dan khos (khusus).
Integrasi dua metode syarah kitab tersebut semakin memudahkan dan memperluas
perspektif pembaca dalam memahami makna aforisma-aforisma sufistik abad ke-13
itu.
Upaya
kontekstualisasi juga dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla dalam menerjemahkan
setiap kalam hikmah Ibnu Athaillah. Hal itu terlihat terhadap judul yang
diberikan dalam setiap kalam hikmah. Dengan kata lain, pembaca bisa langsung
memahami makna kalam Ibnu Athaillah dari setiap judul yang disajikan penulis.
Misalnya di halaman
14, penulis buku menyajikan judul Manusia Kamar atau Manusia Sosial? Judul
tersebut untuk menerjemahkan kalam: “Kehendakmu untuk tajrid (mengisolir diri,
tidak melakukan usaha), sementara Tuhan menempatkanmu pada maqam seorang yang
harus berusaha, itu adalah sebentuk syahwat atau kesenangan nafsu yang
tersembunyi. Sebaliknya, kehendakmu untuk ikut-ikutan berusaha, padahal Tuhan
memberimu maqam sebagai orang yang seharusnya tajrid, itu adalah sebentuk
kemerosotan kelas.”
Dari upaya kontekstualisasi
dan penerjemahan atas kalam ke dalam judul yang lebih mudah dipahami pembaca,
Ulil Abshar Abdalla lalu men-syarahi ke dalam makna dan pengertian umum dan
pengertian khusus. Pemahaman yang luas terhadap berbagai literatur klasik dan
penguasaan bahasa Arab penulis membuat Al-Hikam mudah dipahami dalam buku ini.
Proses men-syarahi merupakan aktivitas intelektual para ulama terdahulu.
Tradisi akademik ini merupakan salah satu proses penting terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan.
Sajian tasawuf dalam
buku ini memberikan peranan penting untuk menjadi manusia rohani seutuhnya di
tengah krisis kemanusiaan dan kemerosotan akhlak. Hal ini menunjukan bahwa
keseimbangan syariat dan hakikat penting sehingga adab tetap terjaga di tengah
kehidupan. Sebab, tak sedikit orang yang berpengetahuan tetapi kurang berakhlak
dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Inilah pentingnya
memahami tasawuf akhlaqi yang dicetuskan oleh hujajatul Islam Imam Al-Ghazali,
penulis kitab masyhur Ihya’ Ulumiddin. Di zamannya, Al-Ghazali juga mengkritik
para sufi, ahli hikmah (hukama) yang menjauhkan diri dari syariat. Begitu juga
para fuqaha (ahli fiqih) yang menafikan ilmu-ilmu hakikat. Hal ini tidak
terlepas dari pemisahan satu sama lain sehingga Al-Ghazali melakukan integrasi
antara syariat dan hakikat.
Syariat tanpa hakikat
kehilangan ruh. Manusia tidak akan mudah terhubung dengan Tuhannya dalam
memperkuat rohani yang terdapat dalam ilmu-ilmu tasawuf. Begitu pula hakikat
tanpa syariat akan kehilangan jalan karena walau bagaimana pun, memahamkan
agama kepada orang lain memerlukan jalan keilmuan yang kokoh. Dua entitas
syariat dan hakikat saling melengkapi sehingga dakwah Islam di Nusantara pada
masa-masa awal berhasil dilakukan oleh para Wali Songo.
Pada masa-masa awal
perjuangan NU, para kiai dihadapkan pada potensi perpecahan umat Islam karena
perbedaan pandangan keagamaan yang memunculkan khilafiyah. Bahkan, perbedaan
tersebut kerap memunculkan perdebatan yang hebat di beberapa daerah antar
masing-masing organisasi Islam. Padahal, saat ini bangsa Indonesia sedang
terjajah sehingga konflik antarumat Islam tentu tidak ideal. Ini baru perbedaan
pandangan keagamaan, belum lagi jika menilik keragaman atau kemajemukan bangsa
Indonesia.
Dalam pandangan KH
Achmad Siddiq, Rais ‘Aam PBNU yang hidup dalam kurun waktu 1926-1991,
pendekatan kesufian atau rohani bisa menjadi solusi canggih dalam menyelesaikan
konflik tersebut. Sebab, kesufian bisa merangkul semua umat manusia tanpa
melihat dan membeda-bedakan asal-usul, suku, ras, warna kulit, golongan, atau
bahkan agamanya. (Menghidupkan Ruh Pemikiran KH Achmad Siddiq, 1999)
Dalam tasawuf atau
dunia kesufian, semua makhluk dipandang sama. Manusia dalam diskursus tasawuf
merupakan makhluk baik tanpa ada prasangka yang sifatnya ideologis, teologis,
atau pandangan diskriminatif. Perbedaan agama, suku, bangsa, warna kulit
hanyalah perbedaan artifisial yang tidak boleh menghambat persaudaraan manusia.
Hadirnya buku ini
bukan hanya memperkuat pemberadaban (civilizing) bangsa seperti yang dikatakan
penulisnya, Ulil Abshar Abdalla, tetapi juga mengembalikan sisi-sisi
kemanusiaan manusia. Kembali pada ‘Khittah Rohaniah’ menjadi jalan strategis
manusia, bukan hanya untuk mempertegas dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan,
tetapi juga memanusiakan diri Anda sebagai manusia. Selamat membaca! (Fathoni
Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar