Senin, 26 Agustus 2019

Zuhairi: Israel Melawan Amerika Serikat


Israel Melawan Amerika Serikat
Oleh: Zuhairi Misrawi

Isu Palestina kembali menghangat menyusul larangan Netanyahu bagi dua perempuan anggota Kongres Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Rashida Tlaib dan Ilhan Omar untuk menjejakkan kaki mereka ke Palestina. Khususnya Rashida Tlaib, Palestina merupakan negeri yang selalu mempunyai kenangan bagi keluarganya. Meski ia lahir di Detroit, Michigan tapi dalam dirinya mengalir darah Palestina, karena orangtuanya warga Palestina, dan neneknya masih tinggal di Tepi Barat.

Kunjungannya ke Palestina bukan hanya sekadar bermakna politik, melainkan juga bermakna nostalgia, mudik. Ia ingin mudik dan berjumpa dengan neneknya. Sedangkan bagi Ilhan Omar, kunjungan ke Palestina adalah menunjukkan keberpihakan pada mereka yang tertindas.

Namun keinginan kedua anggota Kongres AS tersebut tidak bisa diwujudkan, karena Netanyahu mengeluarkan surat larangan berkunjung ke Palestina. Maklum, seluruh pintu masuk ke Palestina sekarang berada di bawah kendali Israel.

Masalahnya menjadi lebih runyam, karena langkah yang diambil Netanyahu hakikatnya memenuhi sikap Presiden Donald Trump yang juga mempunyai kebijakan melarang kedua anggota Kongres tersebut. Menurut Trump, jika Israel memperbolehkan Rasihad Tlaib dan Ilhan Omar mengunjungi Palestina, maka hal tersebut dapat membuktikan kelemahan Israel. Pasalnya, kedua anggota Kongres AS tersebut ditengarai membenci Israel dan seluruh umat Yahudi.

Rashida Tlaib langsung merenspons tuduhan Trump tersebut dengan menyatakan bahwa larangan Israel bagi dirinya sebagai anggota Kongres AS justru membuktikan apa yang terjadi sesungguhnya di Palestina saat ini. Situasi yang sangat memilukan.

Ilhan Omar secara eksplisit menyatakan langkah yang diambil Netanyahu sesungguhnya karena berada di bawah tekanan Trump. Dan harus dicermati bahwa Netanyahu menghambat upaya perdamaian, memberangus kebebasan, dan mendukung penjajahan. Bahkan, seperti Donald Trump, Netanyahu memupuk Islamophobia.

Omar menambahkan, sebagai anggota Kongres AS, ia berhak untuk memastikan bahwa hak asasi manusia dapat diimplementasikan di seantero dunia. Ironisnya, Israel yang selama ini mengklaim sebagai negara paling demokratis di Timur-Tengah justru mengambil tindakan yang tidak demokratis, karena melarang anggota Kongres AS untuk berkunjung ke Palestina.

Sontak, sikap Netanyahu yang didukung sepenuhnya oleh Trump tersebut mendapatkan reaksi keras di AS. Tidak hanya anggota Partai Demokrat yang mengecam sikap Netanyahu, tetapi juga dari kalangan Partai Republik yang menjadi penyokong Trump.

Sikap Netanyahu tersebut menjadi preseden buruk dalam diplomasi AS. Pasalnya selama ini AS sangat berbaik hati dengan Israel. Lobi Yahudi mendapatkan keistimewaan dari seluruh Presiden AS, baik dari Partai Demokrat maupun Partai Republik. Belum lagi besarnya dana yang digelontorkan oleh AS ke Israel dalam rangka mensuplai persenjataan tercanggih dan teranyar bagi tentara Israel.

Intinya, Netanyahu dianggap menentang AS, yang selama ini merupakan mitra strategis. Ketika anggota Kongres AS dihambat memasuki Palestina dapat disimbolisasikan sebagai penistaan terhadap hubungan kemitraan strategis antara AS dan Israel. Netanyahu dianggap melakukan sebuah tindakan yang tidak etis dalam hubungan diplomasi kedua negara yang mempunyai hubungan intim tersebut.

Kendati demikian, sikap Netanyahu sebenarnya tidak secara serta merta bukan tanpa alasan. Di dalam negeri, Netanyahu memerlukan dukungan dari sayap kanan dalam pemilu untuk memastikan posisinya karena ia tidak bisa membentuk koalisi pemerintahan dari hasil yang mengecewakan. Ia harus mendapatkan kartu politik dari sayap kanan yang selama ini belum mendapatkan mempercayainya akan memperjuangkan kepentingan kaum Zionis di Israel. Kaum Zionis ingin menghapus Palestina dari peta Israel.

Di sisi lain, Donald Trump juga mempunyai kepentingan dalam politik dalam negeri AS yang tahun depan akan menyongsong Pemilu Presiden. Trump ingin memastikan pada sayap-kanan yang selama ini menyokong Israel bahwa sikapnya tidak pernah berubah terkait Palestina. Ia akan memperjuangkan kepentingan Israel hingga titik darah penghabisan, meski harus melarang dua anggota Kongres masuk ke Palestina. Bahkan, Trump juga ditengarai sedang memainkan kartu identitas dan kartu Islamophobia di AS.

Maka dari itu, sikap yang diambil Netanyahu tersebut menimbulkan dampak yang tidak sederhana. Sikap politik Netanyahu dianggap telah mencederai nilai-nilai AS yang sangat adiluhung terkait hak asasi manusia dan demokrasi. Netanyahu dianggap tidak mampu memenuhi hak asasi bagi anggota Kongres AS yang mempunyai hak istimewa, karena mewakili warga AS yang telah memilih melalui proses demokratis.

Bagaimana Netanyahu akan memenuhi hak asasi warga Palestina, sedangkan kepada anggota Kongres AS pun ia tak mampu memenuhi hak asasi yang sama. Jadi apa yang dilakukan Netanyahu merupakan tragedi kemanusiaan yang mencoreng kesucian norma suci dalam hak asasi manusia.

Hal yang sama juga berlaku bagi Donald Trump sebagai Presiden AS yang selama ini sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia. Trump telah terbukti bersekongkol dengan Netanyahu untuk mengais popularitas untuk tujuan elektoral dari tindakan yang melanggar hak asasi manusia itu.

Mungkin saja Netanyahu akan mendapatkan keuntungan elektoral untuk memastikan posisinya sebagai orang nomor satu di Israel. Tapi berbeda dengan Trump, karena AS masih mempedomani prinsip-prinsip luhur yang termaktub di dalam konstitusi AS. Adanya kritik dari Partai Republik menandakan bahwa AS masih berpijak pada nilai-nilai luhur hak asasi manusia.

Langkah Trump untuk mempermalukan anggota Kongres merupakan tindakan yang melanggar konstitusi AS. Terdengar suara-suara agar dilakukan impeachment. Yang dilakukan Trump terhadap kedua anggota Kongres AS bukan perbuatan biasa, melainkan perbuatan yang melanggar norma-norma konstitusi. Sebab itu, baik Netanyahu maupun Trump sebenarnya sedang sama-sama melawan nilai-nilai luhur AS. []

DETIK, 22 Agustus 2019
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar