Memaknai Hadiah sebagai
Amanah untuk Berbagi
Status sosial adalah sesuatu yang nyata dalam
masyarakat. Orang-orang dari kalangan tertentu ditempatkan dalam status sosial
tinggi karena memiliki kriteria yang berlaku dalam masyarakat. Mereka kemudian
disebut orang-orang terhormat. Di Jawa khususnya, ada kebiasan yang disebut
“punjungan”, atau dalam istilah fiqih disebut hadiah, yakni suatu pemberian
bisa berupa apa saja seperti parsel lebaran, bingkisan, atau lainnya,
dalam rangka memberikan penghormatan kepada orang-orang yang dihormati.
Tidak jarang parsel atau bingkisan itu berupa
buah atau makanan basah seperti kue dan sebagainya. Ketika barang-barang
tersebut telah sampai di tangan orang-orang yang dimaksud, barang-barang itu
bisa dimaknai sebagai simbol keterhormatan mereka. Jika makna ini dipegang
kuat-kuat oleh mereka, mereka akan cenderung enggan membagikannya kepada orang
lain. Mereka bahkan mempertahankannya hingga barang itu busuk sekalipun. Hal
ini berpotensi menjadikan mereka orang mubadzir(in).
Namun ketika kemudian mereka sudah tak tahan
lagi dengan keadaannya yang sudah tak layak dan baunya cukup mengganggu, mereka
baru berpikir bagaimana membagikan kepada orang lain. Pikiran ini
terlambat sebab para penerima tentu akan merasa tersinggung dan bahkan bisa
marah jika barang itu benar-benar dikirim kepada mereka. Akhirnya mereka
harus memutuskan untuk membuangnya ke tempat sampah karena sudah tak layak lagi
menjadi simbol keterhormatan mereka.
Memang amat naif ketika keterhormatan kita
simbolkan dengan hal-hal duniawi yang fana seperti parsel atau bingkisan
lainnya yang bisa membusuk. Ketika keadaannya telah rusak karena tidak segera
dimanfaatkan, kita sesungguhnya telah melakukan pemborosan yang sia-sia. Hal
ini biasa disebut tabdzir, yakni pemborosan atau penghamburan. Pelakunya disebut
mubadzir(in). Disebutkan di dalam Al-Qurán bahwa mubadzirin (rang-orang
yang menyia-nyiakan sesuatu, red) memiliki kedekatan dengan setan sebagaimana
disinggung dalam Surat Al-Isra, Ayat 27:
إن
المبذرين كانوا إخوان الشياطين
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang
pemboros itu adalah suadara setan dan setan sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Jadi ayat di atas memang dimaksudkan untuk
mengingatkan orang-orang yang suka berbuat pemborosan agar berhenti dari
kebiasaannya yang sia-sia. Jika tak mau berhenti, Allah subhanahu wataála
menyebut mereka berkawan atau bersaudara dengan setan yang dilabeli-Nya
“ar-aajim” – terkutuk.
Oleh karena itu ada baiknya pemberian yang
bersifat hadiah seperti parsel atau bingkisan lainnya sebagaimana dicontohkan
di atas, kita maknai sejak awal sebagai amanah untuk berbagi dengan yang lain.
Jika ini bisa kita lakukan, tentu kita akan segera membagikannya kepada
orang lain dalam keadaan barang masih baik hingga penerimanya pun senang
menerimanya. Di sinilah sejatinya keterhormatan kita
yang lebih kekal sifatnya karena berupa amal kebaikan yang akan mengantarkan
kita menjadi orang mulia dalam arti yang sebenarnya. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar