Saat Sayyidina Ali Zainal Abidin Dicaci-maki
Dalam kitab al-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah
al-Mulûk, Imam al-Ghazali memasukkan kisah Sayyidina Ali Zainal Abidin yang
dicaci-maki oleh seseorang. Berikut kisahnya:
خرج
زين العابدين علي بن الحسين رضي الله عنه إلي المسجد فسبّه رجل فقصده غلمانه
ليضربوه ويؤذوه, فناهم زين العابدين وقال: كفوا أيديكم عنه! ثم التفت إلي ذلك
الرجل وقال: يا هذا أنا اكثر مما تقول وما لا تعرفه مني أكثر مما قد عرفته, فإن
كان لك حاجة في ذكره ذكرته لك. فخجل الرجل واستحي فخلع عليه زين العابدين قميصه
وأمر له بألف درهم, فمضي الرجل وهو يقول: أشهد أن هذا الشاب ولد رسول الله صلي
الله عليه وسلم.
Sayyidina Zainal Abidin Ali bin Husain
radliyallahu ‘anhu keluar (rumah) menuju masjid. Tiba-tiba seseorang
mencaci-makinya. Para pengawalnya hendak memukul dan menyakiti orang tersebut.
Sayyidina Ali Zainal Abidin melarangnya dan berkata: “Tahanlah tangan kalian
darinya!”
Kemudian ia berpaling kepada orang yang
mencacinya itu dan berkata: “Wahai tuan, aku memiliki keburukan lebih banyak
dari yang tuan katakan. Apa yang tuan tidak ketahui (tentang keburukanku) lebih
banyak dari yang tuan ketahui. Jika tuan membutuhkannya, aku akan menceritakan
(semua)nya pada tuan.” Orang itu pun menjadi malu.
Lalu Sayyidina Ali Zainal Abidin merogoh
kantong bajunya dan memberinya uang seribu dirham. Orang itu pun berlalu sambil
berkata: “Aku bersaksi bahwa pemuda ini (Sayyidina Ali Zainal Abidin) adalah
keturunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” (Imam Abû Hâmid al-Ghazali,
al-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulûk, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1988,
hlm. 25)
****
Mencela adalah perbuatan yang dilarang agama,
apalagi jika celaan itu tidak sesuai dengan kenyataan, maka tingkatannya bisa
naik menjadi fitnah. Rasulullah bersabda (H.R. Imam al-Bukhari):
لَا
يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالْفُسُوقِ وَلَا يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ إِلَّا
ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
“Tidaklah seseorang yang melemparkan tuduhan
kefasikan pada orang lain, dan tidaklah pula seseorang yang melemparkan
(tuduhan) kekufuran melainkan (tuduhan itu) akan kembali kepadanya, jika
saudaranya tidak seperti itu.”
Di zaman bertabur fitnah ini, pencegahan dan
respon sama pentingnya. Pencegahan dalam arti mengamalkan sunnah Rasul yang
melarang mencela dan mencaci, dan di waktu yang sama menampilkan respon yang
penuh adab seperti yang ditunjukkan Sayyidina Ali Zainal Abidin.
Untuk bisa merespon fitnah dan celaan dengan
bijak, seseorang harus menumbuhkan sikap tawadhu' dalam hatinya. Kenapa ini
penting, silahkan perhatikan ucapan Imam Abû ‘Utsmân al-Hirri:
أصل
التواضع ثلاثة: أن يذكر العبد جهله ويعترف في الحال بتقصيره ولا ينظر إلي تقصير
غيره
“Akar tawadhu' ada tiga: (1) mengingatkan
seorang hamba akan kebodohannya, (2) mengakui kekurangannya di (setiap)
keadaan, dan (3) jangan memperhatikan (menilai) kekurangan orang lain.” (Imam
Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad
al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i [836 H], Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm
480)
Ucapan Imam al-Hirri perlu kita renungi
dalam-dalam, bahwa manusia adalah makhluk terbatas, bukan makhluk yang “segala
tahu” atau “maha tahu”. Sepintar-pintarnya manusia, jika menggunakan ukuran
ruang, lebih banyak ruang kebodohannya. Sebaik-baiknya manusia, lebih banyak
kebaikan yang belum diamalkannya, dan sejahat-jahatnya manusia, ia masih
memiliki ruang waktu yang cukup luas untuk memperbaikinya.
Karena itu, kita harus menahan diri. Jangan
menuduh sembarangan, apalagi jika tuduhan itu berkaitan dengan
karakter-karakter negatif yang ada dalam agama, seperti munafik, fasik, zindik,
kafir dan lain sebagainya. Selain tuduhan semacam itu diharamkan agama, juga
dapat menimbulkan ketidak-nyamanan sosial. Lagipula, siapa yang bisa menjamin
jika orang yang kita fasikkan, kita munafikkan dan kita kafirkan tidak akan
berubah sampai akhir hayatnya. Siapa kita yang berani memastikkan kezindikan,
kemunafikan atau kekafiran seseorang. Serahkan itu kepada Allah saja.
Kembali ke kisah di atas, Imam Ali Zainal Abidin
seakan-akan menganggap cacian sebagai kasih sayang Tuhan yang mengingatkan
dosa-dosanya. Bagi orang yang selalu ingat akan dosa-dosanya, ia tak akan mudah
terhina oleh cacian dan makian. Cacian adalah cambuk pengingat bahwa, “aku
lebih buruk dari itu,” dan “dosaku lebih banyak dari itu.” Maka, seberapa kasar
dan bejatnya sebuah cacian, tak akan berarti apa-apa karena ia merasa jauh
lebih buruk dari itu. Bahkan, Imam Ali Zainal Abidin menawari pencacinya semua
informasi tentang keburukannya.
Sebagai gantinya, Imam Ali Zainal Abidin
berterima kasih pada pencacinya karena telah diingatkan kembali. Seumpama ia
hendak berujar, “Cacian yang mengingatkanku atas segala keburukan lebih
kunikmati daripada pujian yang melalaikanku.” Karenanya ia tanpa ragu memberi
pencacinya uang cukup banyak, karena caciannya membangkitkan penyesalannya
kembali atas dosa-dosanya.
Sisi lain kisah di atas adalah teladan akhlak
yang baik. Meski dicaci sedemikian rupa, Imam Ali Zainal Abidin membalasnya
dengan kebaikan. Ia melarang pengikutnya menyakiti orang tersebut dan
menghampirinya dengan penuh keramah-tamahan. Sikapnya ini membuat sang pencaci
malu. Belum hilang rasa malunya, Imam Ali Zainal Abidin memberinya uang seribu
dirham. Akhlak mulia inilah yang membuatnya bersaksi bahwa ia benar-benar
keturunan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
Jadi, sudilah kiranya kita berhenti mencaci
dan menampilkan adab yang baik ketika dicaci-maki. Pertanyaannya, sudahkah?
Semoga bermanfaat.... []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen dan Pondok Pesantren al-Islah,
Kaliketing, Doro, Pekalongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar