Cara Imam Bakr al-Muzani Menilai Orang Lain
Dalam kitab Shifat al-Shafwah, Imam Ibnu
Jauzi mencatat sebuah riwayat tentang Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani. Berikut
riwayatnya:
عن
كنانة بن جبلة السلمي قال: قال بكر بن عبد الله: إذا رأيت من هو أكبر منك فقل: هذا
سبقني بالإيمان والعملي الصالح فهو خير منّي, وإذا رأيت من هو أصغر منك فقل:
سبقتُه إلي الذنوب والمعاصي فهو خير منّي, وإذا رأيت إخوانك يكرمونك ويعظّمونك
فقل: هذا فضل أخذوا به, وإذا رأيت منهم تقصيرا فقل: هذا ذنب أحدثتُه
Dari Kinanah bin Jablah al-Sulami, ia
berkata: Imam Bakr bin Abdullah berkata: “Ketika kau melihat orang yang lebih
tua darimu, katakanlah (pada dirimu sendiri): ‘Orang ini telah mendahuluiku
dengan iman dan amal shalih, maka dia lebih baik dariku.’ Ketika kau melihat
orang yang lebih muda darimu, katakanlah: ‘Aku telah mendahuluinya melakukan
dosa dan maksiat, maka dia lebih baik dariku.’ Ketika kau melihat teman-temanmu
memuliakan dan menghormatimu, katakanlah: ‘Ini (karena) kualitas kebajikan yang
mereka miliki.’ Ketika kau melihat mereka kurang (memuliakanmu), katakan: ‘Ini
(karena) dosa yang telah kulakukan.” (Imam Ibnu Jauzi, Shifat al-Shafwah,
Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1985, juz 3, h. 248)
****
Sebagai pintu masuk memahami ungkapan di
atas, kita harus membaca terlebih dahulu hadits nabi yang menjelaskan tentang
dosa. Beliau Saw bersabda (HR Imam Muslim):
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ
بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
“Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam
kekuasaan-Nya. Andai kalian tidak berbuat dosa, sungguh Allah akan melenyapkan
kalian dan mendatangkan suatu kaum yang mereka akan berbuat dosa, kemudian
mereka memohon ampun kepada Allah, maka Allah mengampuni mereka.”
Hadits di atas perlu dipahami dengan cermat,
karena bisa dianggap seolah-olah berdosa itu tidak masalah. Padahal titik
beratnya bukan di situ. Dari kandungan maknanya, kita bisa temukan dua titik
penting; pertama, pentingnya memohon ampunan kepada Allah, dan kedua, pengingat
bahwa tidak ada manusia yang suci dari dosa, siapa pun orangnya kecuali para
nabi.
Artinya, hadits tersebut adalah pengingat
bagi manusia untuk tidak merasa “sok suci” dan “sok tidak memiliki dosa.” Di
sinilah hikmah adanya dosa, sebagai penyeimbang dari pahala. Menurut para
ulama, merasa berdosa lebih utama daripada merasa berpahala. Imam Ibnu Rajab
al-Hanbali (w. 795 H) mengomentari hadits di atas dengan mengatakan:
وهذا
أحبّ إلى الله من فعل كثيرٍ من الطاعات فإنّ دوام الطاعات قد توجب لصاحبها العجب
“Ini (merasa berdosa) lebih disukai Allah
daripada melakukan banyak ketaatan, karena tetapnya ketaatan terkadang membuat
ujub pelakunya.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ
li-Mawâsim al-‘Âm min al-Wadhâ’if, Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1999, h. 57)
Apalagi jika ujubnya sudah sampai membuatnya
menilai orang lain dengan buruk. Sebab, penilaian buruk terhadap orang lain,
baik disadari atau tidak, berasal dari anggapan bahwa dirinya sudah baik,
sehingga itu dijadikan ukuran dalam menilai orang lain. Karenanya sebagian
ulama mengatakan: “Dzanbun aftaqiru bihi ilaihi ahabbu ilayya min thâ’atin
adillu bihâ ‘alaihi—dosa yang membuatku butuh akan (ampunan)Nya lebih kusukai
daripada ketaatan yang membuatku memamerkannya.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali,
Lathâ’if al-Ma’ârif fî mâ li-Mawâsim al-‘Âm min al-Wadhâ’if, 1999, h. 57-58)
Prasangka baik harus kita dahulukan dalam
menilai seseorang, sejahat apapun orang tersebut. Andai kita melihat ada
hal-hal yang perlu diperbaiki dari orang tersebut, lakukanlah dengan ma’ruf.
Apalagi jika orang yang kita nilai adalah orang yang kita kenal atau dikenal
berilmu. Kita harus lebih berhati-hati. Maka, penting bagi kita untuk menjadikan
nasihat Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani (w. 108 H) sebagai pegangan sekaligus
pengingat diri.
Imam Bakr al-Muzani menghendaki manusia untuk
melihat dirinya sendiri sebelum menilai orang lain. Bisa jadi yang menilai
tidak lebih baik dari yang dinilai. Ia memahami betul bahwa tidak mungkin
manusia mengenal sepenuhnya orang yang hendak dinilainya. Mereka tidak selalu
bersama-sama selama 24 jam, hanya melihat sebagiannya saja. Karena itu, sangat
penting menilai diri sendiri sebelum menilai orang lain. Lagi pula menilai diri
sendiri adalah perbuatan terpuji.
Persoalan lain yang ditimbulkan dari
kegemaran menilai orang lain adalah lupa untuk menilai diri sendiri, padahal
itu sangat penting. Kenapa penting? Karena untuk mengembalikan kesadaran kita
sebagai manusia yang penuh dosa. Dengan menilai diri sendiri (muhasabah) kita
bisa meraba-raba semua dosa kita, lalu memohon ampun kepada Allah. Kebanyakan
manusia membaca istighfar tanpa merasakan dosanya, atau tanpa menyadari bahwa
ia sedang memohon ampunan. Ia hanya tahu bahwa istighfar adalah penghapus dosa,
tapi lupa akan ingatan dosa-dosanya. Hal ini terjadi, salah satunya, karena
kelalaian manusia dalam membaca dirinya, apalagi jika sudah disibukkan dengan
membaca yang lainnya.
Dengan mengikuti nasihat Imam Bakr al-Muzani,
kita bisa memperoleh dua hal sekaligus; intropeksi diri (muhasabah) dan berbaik
sangka (husnudhan). Keduanya merupakan jalan pembuka pendewasaan spiritual, dan
di waktu yang sama menghadiai kita dengan pahala. Intinya, jangan anggap pahala
sebagai tabungan, karena bisa membuat kita merasa lebih kaya dari yang lainnya.
Anggaplah pahala sebagai bahan bakar yang membuat kita selalu berusaha berada
di jalan-Nya.
Sebagai penutup, ada satu nasihat luar biasa
dari seorang tabi’in, murid Sayyidina Anas bin Malik (10-93 H), Imam Abû
Qilâbah (w. 104 H) yang mengatakan:
إذا
بلغك عن أخيك شيء تكرهه فالتمس له العذر جهدك, فإن لم تجد له عذرا فقل في نفسك لعل
لأخي عذرا لا أعلمه
“Jika sampai kepadamu informasi tentang
perbuatan saudaramu yang kau benci, carikan alasan (berbaik sangka) untuknya
semampumu. Jika kau tidak menemukannya, maka katakan pada dirimu sendiri:
“Mungkin saudaraku mempunyai alasan yang tidak aku ketahui.” (al-Hafidz Abu
Nu’aim al-Asfahani, Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Asyfiyâ’, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988, juz 3, hlm 285)
Maka, berhati-hatilah menilai sesamamu, siapa
tahu ia memiliki amal yang lebih banyak darimu. Allâhumma sallimnâ min fitnati
hâdzihiz zaman. Amin.
Wallahu a’lam. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen dan Pondok Pesantren al-Islah,
Kaliketing, Doro, Pekalongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar