Hukum Bertaqiyah menurut
Kelompok Aswaja
Pertanyaan:
Assalamu 'alaikum, semoga keberkahan Allah
senantiasa menyertai rubrik ini dalam perjuangannya berdakwah lewat medsos.
Pertanyaan saya, bagaimana bertaqiyah menurut Aswaja Nahdlatul Ulama (NU)?
Terima kasih atas perhatiannya. Wassalamu 'alaikum.
Enang Suwarman
Jawaban:
Wa alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas
apresiasinya terhadap rubrik Bahtsul Masail ini. Penanya dan pembaca yang
budiman. Istilah taqiyyah adalah istilah yang populer dan merupakan rukun dalam
Syi’ah Itsna ’Asyariyah (Syiah Dua Belas Imam/Rafidhah), yang berbeda dengan
aqidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).
Dalam Syiah, taqiyyah adalah menyembunyikan
kebenaran (kitmânul haqq), menutupi keyakinan (satrul i‘tiqâd fîh), dan
merahasiakan dari para lawan (mukâtamatul mukhâlifîn), serta tidak menerima
bantuan lawan yang bisa merugikan agama atau urusan dunia.
Singkatnya taqiyyah menurut Syiah, seseorang
menampakkan sesuatu perkataan atau perbuatan keagamaan yang bertentangan dengan
kebenaran dan keyakinan Syiahnya, yang berbeda dengan keyakinanlawannya,
termasuk di sini Aswaja (Sunni).
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fathul
Bari Syarh Shahîhil Bukhârî menjelaskan pengertian dan kebolehan ber-taqiyyah:
ومعنى
التقية الحذر من إظهار ما في النفس من معتقد وغيره للغير، وأصله وقية بوزن حمزة
فعلة من الوقاية.... قال ابن بطال تبعالابن المنذر: "أجمعوا على أن من أكره
على الكفر حتى خشي على نفسه القتل، فكفر وقلبه مطمئن بالإيمان: أنه لا يحكم عليه
بالكفر"....قال ابن بطال: "أجمعوا على أن من أكره على الكفر واختار
القتل: أنه أعظم أجرًا عند الله ممن اختار الرخصة".
Artinya, “Makna taqiyyah adalah menghindari
dari menampakkan kepada orang lain mengenai sesuatu yang ada dalam hati, berupa
keyakinan dan selainnya. Kata taqiyyah berasal dari kata waqyah sepadan dengan
kata hamzahfa‘lah bermakna al-wiqâyah (memelihara diri)....Ibnu Bathâl
mengikuti Ibnu Mundzir menuturkan, bahwa para ulama sepakat bahwa orang yang
dipaksa untuk kafir, ketika ia khawatir terhadap keselamatan jiwanya, kemudian
ia mengucapkan kata-kata kafir dengan hati yang tetap teguh dalam keimanannya,
maka ia tidak dihukumi sebagai kafir... Ibnu Bathal berkata, ‘Ulama sepakat
bahwa orang yang dipaksa untuk kafir, akan tetapi ia rela memilih untuk
dibunuh, maka baginya pahala yang besar di sisi Allah, daripada memilih
rukhshah/ dispensasi,” (Lihat Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bârî bi Syarhi
Shahîhil Bukhârî [Riyad, Dârut Thaibah: 2005], juz XVI, halaman 216 dan 221).
Jadi, pengertian taqiyyah dalam Islam, dalam
pandangan Aswaja, biasanya diberlakukan terhadap orang-orang kafir, berdasarkan
firman Allah SWT:
لَايَتَّخِذِ
الْمُؤْمِنُوْنَ الْكَافِرِيْنَ أَوْلِيَاۧء مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَمَنْ
يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِيْ شَيْءٍ اِلَّا اَنْ تَتَّقُوْا
مِنْهُمْ تُقَاةً وَّيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَاِلَى اللهِ الْمَصِيْرُ.
Artinya, “Janganlah orang-orang beriman
menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang
siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah,
kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.
Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah
tempat kembali,” (Surat Ali Imran ayat 28).
Ibnu Jarir At-Thabari menafsirkan bahwa
taqiyyah yang disebutkan Allah dalam ayat ini adalah taqiyyah terhadap
orang-orang kafir, bukan selain orang kafir. Oleh karena itu, ada ulama salaf
yang berpendapat tidak ada taqiyyah setelah Allah memuliakan dan memberikan
kemenangan bagi Islam.
Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa Mu’ad bin
Jabal dan Mujahid menuturkan, “Taqiyyah berlaku pada masa awal-awal Islam,
sebelum umat Islam kuat. Sedangkan sekarang, Allah telah memberikan kemenangan
kepada umat Islam sehingga hendaknya mereka tidak perlu lagi merasa takut”.
Pandangan ini jelas berbeda dengan taqiyyah
menurut Syiah karena mereka ber-taqiyyah terhadap kaum Muslimin (Ahlussunnah),
dan terus berlangsung.
Dalam Aswaja, ber-taqiyyah adalah dispensasi
(rukhshah) atau keringanan yang diberikan kepada seseorang pada saat keadaan
darurat. Sebab itu, Allah SWT dalam Surat Ali Imran ayat 28 mengecualikan
taqiyyah dari dasar larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai
wali/pemimpin, yang bila larangan ini dilakukan akan diancam tidak mendapat
pertolongan-Nya, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka.
Orang yang berada di suatu daerah atau pada
suatu waktu ketika ia cemas terhadap perbuatan suatu hukum, maka ia boleh
melakukan taqiyyah secara lahir saja, bukan secara batin/niat.
Dengan demikian, taqiyyah menurut Aswaja
(Sunni) berbeda dengan taqiyyah menurut Syiah. Menurut Syiah, sebagaimana
disebutkan oleh syekh mereka, Al-Mufid dalam Tashhîhul I‘tiqâd, taqiyyah
bukanlah dispensasi, melainkan salah satu rukun agama mereka, yang hukumnya
wajib sebagaimana shalat fardhu. Padahal, taqiyyah dalam Islam, tidak mencerminkan
aturan umum dalam perilaku seorang Muslim, dan bukan karakteristik masyarakat
Islami, melainkan taqiyyah --biasanya-- adalah kondisi individual yang bersifat
temporer, disertai keadaan darurat terkait dengan ketidakmampuan berhijrah.
Taqiyyah akan hilang bersamaan hilangnya
kondisi darurat atau keterpaksaan itu. Sedangkan taqiyyah menurut Syiah
dianggap sebagai karakteristik pribadi dalam landasan dasar bermazhab; sebagai
suatu kondisi yang bersifat kontinu; dan merupakan perilaku kolektif (jamaah) yang
langgeng hingga munculnya Imam Mahdi (al-Qâ’im). Oleh karena itu, dalam
pandangan Aswaja, taqiyyah yang dilakukan Syiah tidak lain merupakan kebohongan
(al-kidzb) dan bentuk kemunafikan (nifaq). Padahal, sangat ditekankan hukum
yang berlandaskan pada prinsip kejujuran (as-shiqd) dan keadilan (al-‘adl),
bukan berpijak pada kedustaan (al-kidzbu) dan kemunafikan.
Hanya saja, ada perbedaan konteks: bila dalam
taqiyyah Syiah, seseorang menampakkan sesuatu secara lahir yang sejatinya batil
(salah), berbeda dengan keyakinannya yang dipandangnya benar; sementara
perbuatan munafik justru menampakkan sesuatu yang benar menurut Islam, tetapi
diingkari oleh hatinya.
Jadi bagi Aswaja NU: Taqiyyah hukumnya boleh,
karena untuk menjaga diri, tetapi merupakan bentuk perkecualian dan dispensasi
(rukhshah), sifatnya temporer (tidak langgeng), yang hakikatnya berlawanan
dengan hukum asalnya (tidak boleh taqiyyah); kebolehan ber-taqiyyahpun berakhir
saat faktor yang mendorong untuk taqiyyah telah hilang; dan taqiyyah biasanya
diberlakukan terhadap orang-orang kafir, tetapi bisa pula terhadap selain orang
kafir.
Demikian penjelasan ini semoga dapat dipahami
dengan baik. Kami terbuka dalam menerima masukan dari pembaca yang budiman.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu ’alaikum wr.wb.
[]
Ustadz Ahmad Ali MD, pengurus Lembaga Dakwah
PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar