Lagi Ngaji, Santri
Mbah Hasyim Dijemput karena Istri Melahirkan
Semasa hidup Hadratus
Syech KH Hasyim Asy'ari, banyak santri yang kemudian menjadi ulama dan terlebih
dahulu belajar ke Kiai Hasyim di Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Salah
satu santri yang rajin mengaji ke Kiai Hasyim adalah KH Nur Salim.
Kiai Nur Salim
berasal dari Desa Tritunggal, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Bahkan saat putra kandungnya lahir, Kiai Nur masih sedang mengikuti pengajian
Kiai Hasyim Asy'ari. Peristiwa itu terjadi pada hari Jumat Legi tanggal 18
Syawal 1355 H atau bertepatan pada tanggal 1 Januari 1937 M. Saat itu KH Nur
Salim masih meneruskan mondok di Pesantren Tebuireng Jombang setelah menikah.
"Sehingga
terpaksa harus disusul ke Tebuireng untuk memberitahukan kelahiran
anaknya," jelas cicit KH Nur Salim kepada NU Online, Muhammad Fajrul Falah
Afandi, Kamis (20/6).
Setelah sampai di
rumah, istrinya melahirkan seorang putra dan langsung diberi nama Abdul Kholiq.
Nama tersebut diberikan karena tafa'ulan dan tabarukan dengan nama putra
Hadratus Syech KH Hasyim Asy'ari. Sosok Kiai Hasyim Asy'ari bagi keluarga KH
Nur Salim begitu berarti. Pendiri Nahdlatul Ulama tersebut menjadi rujukan
setiap problem yang dihadapi.
Kiai Nur Salim
aslinya bernama Soko, ia menikah dengan Kasiyat putri H Siroj atau Kamso.
Cerita pernikahan ini berawal saat ia pulang dari nyantri di Pesantren
Tebuireng Jombang dan Pesantren Sidogiri Pasuruan. Saat itu H Siroj sangat
terkesan dengan sosok santri yang sudah dikenal sifat bagus dan kealimannya,
sehingga kemudian dinikahkan dengan anaknya.
H Siroj juga sangat
mendukung menantunya, baik secara mental maupun material dalam langkah
perjuangan KH Nur Salim. KH Nur Salim memiliki 11 putra-putri, yaitu Ghozi
(meninggal waktu kecil), Ashari (meninggal waktu kecil), Abdul Kholiq, Abdul
Wahid (meninggal waktu kecil), Hasyim Bisyri, Hasan Bisyri, Siti Aminah,
Masda'i, Ni'mah, Muhsin, dan Abdullah Munif.
Salah satu putranya
yang bernama KH Abdul Kholiq kemudian hari kelak menjadi tokoh ulama yang
mendedikasikan dirinya untuk Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Kholiq tercatat
pernah menjadi Wakil Rais Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Babat tahun
1980 dan Rais MWC NU Babat tahun 1985.
Kemudian menjadi
Wakil Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Lamongan. Hingga akhirnya
menjadi Rais PCNU Lamongan, menggantikan KH Abdullah Iskandar. Pernah juga
menjadi Ketua Pengurus Cabang Rabithah Ma'ahidil Islamiyah (RMI) NU Lamongan.
Akan tetapi beliau KH
Nur Salim tidak berkehendak mendirikan pesantren secara institusi seperti
umumnya santri KH Hasyim Asy'ari saat itu. Ia cukup mendirikan mushala untuk
berjamaah dan mengajar ngaji bagi masyarakat yang membutuhkannya. Itupun masih
sangat sederhana, ngaji sorogan, bandongan sampai ia wafat pada tanggal 09
Ramadhan 1386 H atau 22 Desember 1966 M.
Dalam berdakwah, Kiai
Nur Salim banyak dibantu oleh putranya KH Abdul Kholiq. Suatu hari KH Abdul
Kholiq berkeinginan mendirikan madrasah akan tetapi masih kurang direspon oleh
ayahnya. Saat itu sang ayah mengatakan "Liq, gawe madrasah opo maneh
ngopeni teruse iku abot, wis sing penting kapan ono sing njalok wulang ngaji yo
diulang (kalau buat madrasah apa lagi mengurusinya itu berat, yang penting kapan
ada yang minta diajar ngaji ya diajar)".
"Begitulah
karakter KH Nur Salim yang tidak ingin neko-neko (ambil resiko)," ujar
pria yang akrab disapa Gus Falah ini.
Seiring dengan
perjalanan waktu dan perubahan keadaan masyarakat, banyak yang mendesak KH
Abdul Kholiq untuk mendirikan pesantren, di antaranya KH Ahmad Marzuqi Zahid
dan KH Abdulloh Faqih pengasuh Pesantren Langitan. Waktu sowan ke KH Ahmad
Marzuqi Zahid dan KH Abdullah Faqih oleh KH A Marzuqi Zahid, Kiai Kholiq
dikatakan kiai yang tidak pantas.
Kemudian ia
memberanikan diri bertanya kepada Kiai Marzuqi "Apa maksud kiai yang tidak
pantas, yai? ". Jawab Kiai Marzuqi "Kamu itu alim, kamu tidak pantas
kalau tidak punya pondok" lalu Kiai Marzuqi menyuruh untuk mendiriikan
pesantren. Hal ini kemudian dihaturkan ke romo KH Abdullah Faqih, oleh KH
Abdullah Faqih, rencana tersebut didukung bahkan diberi modal uang untuk segera
membangunnya.
Namun baru setelah
benar-benar yakin dan mantap, tepat pada tanggal 1 Rabiul Awwal 1406 H atau 14
November 1985 M dibentuklah panitia pembangunan pondok yang diberi nama 'Nurus
Siroj'.
Nurus Siroj diambil
dari gabungan dua kata yaitu Nur nama dari ayahnya yaitu KH Nur Salim dan Siroj
nama dari kakeknya yaitu H Siroj. Dengan tujuan mengenang keduanya telah
berjasa atas keberadaan dirinya secara material, mental, dan spiritual.
Putra KH Nur Salim
bernama KH Abdul Kholiq ini memang sudah kelihatan memiliki keunggulan sejak
usia remaja. Seperti ketekunan, kerja keras, kepemimpinan dan kemauan yang
keras untuk mencapai cita-cita. KH Abdul Kholiq meninggalkan rumah untuk
menimba ilmu pada awal tahun 1950-an, ia berangkat menuju rumah Kiai Abdul Hadi
Zahid, saat itu menjadi Pengasuh Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.
Belum puas dengan
keilmuan yang telah dimiliki, pada tahun 1954 ia melanjutkan perjalanan menimba
ilmu kepada Syech Masduqi Lasem Rembang, Jawa tengah. Di pesantren asuhan KH
Masduqi inilah ia mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman, yang di kemudian hari
sangat mempengaruhi kehidupan KH Abdul Kholiq. Ia juga berhasil menguasai
dengan baik kitab-kitab besar seperti Jamul Jawami, Uqudul Juman, Asybah Wan
Nadloir, Fathul Wahhab, dan Ad-Dasuqi.
"Dalam menambah
pengetahuan dan pengalaman, ia menyempatkan berguru thoriqot ke KH Romli
At-Tamimi asal Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang," tambah Gus Falah.
Setelah banyak
menghabiskan waktunya dari pesantren satu ke pasantren yang lain. Akhirnya KH
Abdul Kholiq melangsungkan pernikahan dengan gadis dari Desa Mulyo Agung
Singgahan Tuban, bernama Siti Masruroh.
Dalam pengabdianya
dan menyebarkan ilmunya, KH Kholiq tetap berusaha menata ekonomi keluarga, di
antaranya mendirikan usaha-usaha seperti membuka toko di pasar Moropelang
(1966), membuat penggilingan padi/selep (1980) di beberapa daerah, membuat
setrum aki (1981), dan mendirikan pabrik tahu (1983).
KH Abdul Kholiq
termasuk seorang yang mempunyai kecintaan yang sangat dalam kepada tanah
kelahiranya, seorang tokoh masyarakat yang mengabdikan hidupanya untuk desa tempat
kelahirannya. Banyak kemajuan-kemajuan Desa Tritunggal berkat langkah-langkah
strategisnya.
Ia juga sangat dekat
dengan masyarakat dan suka membantu. Maka tak heran keluarga KH Nur Salim dan
KH Abdul Kholiq sangat disegani, dihormati, dan dicintai warga masyarakat
Tritunggal dan sekitarnya.
Pada tahun 1966 KH
Kholiq berangkat haji dengan transportasi kapal laut, selama kurang lebih 3
bulan. Dalam perjalanan ia bertemu dengan seorang perempuan tua (Syehoh
Abbasiyyah) yang ia anggap sebagai guru dan orang tua sendiri. Karena kebaikan
budi pekerti KH Abdul Kholiq, perempuan itu memberi hadiah yaitu tambahan
nama Afandi yang berarti As-Sayyid (Tuan) sehingga menjadi KH Abdul Kholiq
Afandi.
Kamis legi 5 shafar
1425 H atau 25 Maret 2004 M ba'da Ashar KH Abdul kholiq Afandi wafat di rumah
sakit Islam Nasrul Ummah Lamongan. Dan dimakamkan setelah shalat Jumat di
sebelah timur Pondok Putra Nurus Siroj. Hingga kini masih sangat banyak
masyarakat dari berbagai kalangan berdatangan untuk ziarah dan memberikan
penghormatan kepadanya.
"Semoga santri
Pesantren Nurus Siroj bisa meneruskan perjuangan KH Nur Salim dan KH Abdul
Kholiq Afandi," tandas alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum Jombang ini. []
Syarif Abdurrahman,
Kontributor NU Online Jombang, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar