Kapan Boleh Menerima Barang
dari Orang Berpenghasilan Haram?
Ada beberapa kemungkinan cara orang
mendapatkan harta dari orang lain, antara lain: sebab diberi (hibah),
sebab bekerja, menyewa, tukar menukar (jual beli), sebab pengambilan paksa
lewat putusan hakim, sebab menggashab, sebab mencuri atau merampok dan sebab
lain yang diharamkan, seperti judi, dan lain sebagainya. Sebab-sebab tersebut
selanjutnya dikelompokkan menjadi sebab pengambilan yang halal (sah), dan sebab
pengambilan yang haram (bathil/tidak sah). Syariat Islam mensyaratkan
adanya cara pengambilan dengan jalan yang sah dan mencela serta melaknati cara
pengambilan yang bathil.
Efek yang timbul adalah pada saat diterapkan
dalam muamalah, seperti dalam jual beli, membayar pajak, dan lain sebagainya.
Efek berantai hukum pengambilan barang yang sah dan tidak sah secara syara’
menjadikan kajian ini biasanya lebih banyak diminati oleh kalangan yang
menempuh jalan tasawuf, seperti Imam Al-Ghazali.
Sebuah contoh persoalan misalnya orang yang
bekerja di tempat riba, apakah gajinya juga halal? Ataukah hanya pihak
manajemennya yang wajib menanggung dosa riba? Ambil contoh misalnya pekerjaan
Satpam. Atau pekerjaan yang paling rendah sekalipun misalnya orang membuka
warung di tempat lokasi pelacuran. Jika yang membeli adalah seorang pelacur
yang notabene mendapatkan uang dari hasil haram, apakah uang pedagang warung
tersebut juga termasuk yang haram? Inilah yang menjadi pangkal perhatian utama
dari kajian ini.
Ada sebuah nukilan menarik dari Syekh
Zainuddin al-Malaybary dalam kitab Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain.
Beliau menyampaikan sebuah maqalah berikut:
فائدة
لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله وهو حرام باطنا فإن كان ظاهر المأخوذ منه
الخير لم يطالب في الآخرة وإلا طولب قاله البغوي.
Artinya: "Sebuah faidah: Seandainya ada
seseorang mengambil dari orang lain dengan jalan yang jaiz sesuatu yang diduga
halalnya, padahal adalah haram secara bathin, maka bila dhahir barang tersebut
adalah baik, maka ia tidak akan dituntut di akhirat. Namun, bila dhahir barang
tersebut tidak baik, maka sebagaimana pendapat al Baghawy, maka ia kelak akan
dituntut di akhirat." (Syekh Zainuddin al-Malaibary, Fathul Muin bi
Syarhi Qurrati al-'ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67).
Beliau Syekh Zainuddin al-Malaibary menyebut
ada tiga batasan menerima barang dari orang lain sehingga tetap halal bagi
penerimanya, yaitu:
1. Barang diberikan dengan cara yang jaiz (dibolehkan
oleh syariat), misalnya hadiah, gaji atau hasil jual beli
2. Barang yang diterima diduga halalnya,
meskipun pada kenyataannya ia berasal dari jalan haram
3. Wujud luar barang yang diberi (dhahir
al-ma’khudz) adalah baik
Catatan yang diberikan oleh beliau:
- Apabila suatu barang diberi oleh orang lain
dengan cara yang tidak keluar dari tiga batasan tersebut maka barang tersebut
adalah halal dan kelak ia tidak dituntut di akhirat
- Namun, apabila suatu barang diberi oleh
orang lain dengan cara yang keluar dari tiga ketentuan di atas, maka barang
tersebut adalah haram dan kelak ia akan dituntut di akhirat.
Syarat ketiga merupakan syarat mutlak. Sebab
bila ternyata wujud lahir barang adalah tidak baik (jelas haramnya) karena
diperoleh dari cara bathil, maka orang yang menerima pemberian tetap akan
mendapatkan tuntutan di akhirat.
Contoh praktis misalnya adalah pekerjaan
penadah barang curian atau barang rampokan. Karena wujud barang adalah jelas
diperoleh dari cara haram, maka orang yang berprofesi sebagai penadah tersebut
tetap akan mendapatkan tuntutan di akhirat, karena ia membeli barang hasil
curian dari pencuri yang menjadi anak buahnya. Meskipun akad dasar dari jual
beli ini adalah hukumnya jaiz (dibolehkan).
Berbeda kondisinya bila orang yang menerima
tidak mengetahui. Kita ambil contoh, seorang rentenir menyantuni anak yatim
dengan jalan memberikan hibah. Santunannya hukumnya adalah jaiz. Barang yang
diberikan juga baik. Namun, status kehalalan barang masih dalam “dugaan”
disebabkan profesi rentenir sang penyantun. Inilah yang dimaksudkan sebagai
pernyataan Syekh Zainuddin al-Malaibary di atas sebagai أخذ شيأ يظن أنه حلال (menerima
sesuatu yang diduga kehalalannya). Syekh Salim Bakri bin Syatha' dalam I'anah
al-Thalibin, lebih jauh menjelaskan maksud dari “sesuatu yang diduga
halalnya”, sebagai berikut:
أي
أخذ شيئا يظن أنه حلال، وهو في الواقع ونفس الأمر حرام، كأن يكون مغصوبا أو مسروقا.
Artinya: "Mengambil sesuatu yang diduga
bahwa ia adalah halal, padahal dalam kenyataannya, barang tersebut adalah
haram, seperti misalnya barang hasil menggashab dan barang hasil mencuri."
(Syekh Salim bin Syatha', Hasyiyah I'anatu al-thalibin 'ala Fathi al-Mu'in,
Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 3/12)
Dengan kata lain, Syekh Salim Bakri bin
Syatha’ di sini menegaskan bahwa mendapatkan barang dari orang lain yang diduga
kehalalannya padahal dalam kenyataannya ia diperoleh dari cara menggashab dan
hasil mencuri, atau karena hasil pekerjaan seorang rentenir, asalkan dhahir
barang tersebut adalah baik, dan ia tidak mengetahui sisi apakah barang
tersebut merupakan bagian yang diperoleh dari cara haram, maka ia kelak tidak
akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat. Namun, bila wujud dhahir barang
tersebut adalah tidak baik, maka ia akan dituntut di akhirat, sebagaimana hal
ini dijelaskan oleh al-Baghawi. Walhasil, ternyata ada risiko menerima barang
dari orang lain. Risiko ini tidak hanya ditanggung oleh yang menerima saja,
melainkan juga sang pemberi.
Lebih lanjut Syekh Zainuddin al Malaibary
dalam Fathul Mu’in lebih lanjut menjelaskan sebagai berikut:
ولو
اشترى طعامه في الذمة وقضى من حرام فإن أقبضه له البائع برضاه قبل توفية الثمن حل
له أكله أو بعدها مع علمه أنه حرام حل أيضا وإلا حرم إلى أن يبرئه أو يوفيه من حل
قاله شيخنا
Artinya:
1. Seandainya ada seseorang membeli makanan
milik seorang pedagang, sementara penjual tahu bahwa uang pembeli tersebut
berasal dari perkara haram, maka apabila penjual menyerahkan makanan tersebut
kepada pembeli sebelum si pembeli menunaikan harganya, maka halal bagi si
pembeli memakan makanan itu.
2. Apabila penjual menyerahkan makanan
setelah ditunaikan harganya oleh si pembeli, bersama tahunya penjual bahwa uang
yang diserahkan pembeli diperoleh dari jalan haram, maka halal bagi pembeli
tersebut memakannya.
3. Namun, apabila pembeli tidak tahu bahwa
uang tersebut didapat dari jalan haram, maka haram pula bagi pembeli memakannya
sampai ia meminta kerelaan penjual untuk merelakan atau membayarnya dengan
harta halal. Pendapat ini disampaikan oleh Syekhuna Ibnu Hajar
al-Haitamy." (Syekh Zainuddin al Malaibary, Fathul Muin bi Syarhi
Qurrati al-'ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67).
Ada tiga statemen yang disampaikan oleh Syekh
Zainuddin al-Malaibary. Dari ketiga statemen ini, beliau Syekh tidak menyebut
batalnya akad transaksi muamalah. Beliau hanya menyebut status halal atau
haramnya barang. Statemen ini rupanya senada dengan pernyataan Imam Al Ghazali
sebagaimana dikutip oleh Syekh Salim bin Syatha', sebagai berikut:
بين
هذه المسألة الغزالي فقال: وأما المعصية التي تشتد الكراهة فيها: أن يشتري شيئا في
الذمة ويقضي ثمنه من غصب أو مال حرام، فينظر، فإن سلم إليه البائع الطعام قبل قبض
الثمن بطيب قلبه، وأكله قبل قضاء الثمن، فهو حلال. فإن قضى الثمن بعد الأكل من
الحرام فكأنه لم يقبض، فإن قضى الثمن من الحرام وأبرأه البائع مع العلم بأنه حرام
فقد برئت ذمته، فإن أبرأه على ظن أنه حلال فلا تحصل به البراءة.
Artinya: "Imam al-Ghazali menjelaskan:
Termasuk perbuatan ma'shiyat yang sangat dibenci adalah: membeli sesuatu yang
menjadi milik orang lain, kemudian membayarnya dengan uang hasil ghasab atau
harta haram lainnya. Dalam hal ini hukum muamalahnya perlu diperinci:
1. Jika si penjual menyerahkan barang dengan
kerelaan hatinya kepada pembeli sebelum dibayar harganya, kemudian pembeli
tersebut memakannya, maka makanan tersebut adalah halal (bagi pembeli).
2. Jika pembeli membayarnya setelah makan
dengan harta yang diperoleh dari harta haram, maka ia dianggap seolah belum
membayar (ia punya utang).
3. Namun, bila pembeli membayar harganya dari
harta haram, sementara penjual rela dengan harta tersebut, padahal ia tahu
bahwa uang tersebut dari harta haram, maka bebaslah tanggungannya (tidak punya
utang).
4. Dan bila kerelaan penjual didasarkan atas
dugaanya bahwa harta tersebut adalah halal, maka ia (pembeli) belum dianggap
bebas dari tanggungan (masih punya utang)." (Syekh Salim bin Syatha', Hasyiyah
I'anatu al-thalibin 'ala Fathi al-Mu'in, Surabaya: Al-Hidayah, tt.: 3/12).
Penjelasan di atas merupakan penjelasan yang
paling rinci yang ditemui oleh penulis dan semakin menguatkan hubungan sebab
akibat antara penjual dan pembeli, antara pemberi dan yang diberi, antara penggaji
dan yang digaji, manakala hal itu dikaitkan dengan muamalah jaizah seperti jual
beli, hibah dan lain sebagainya.
Hukum dasarnya menerima gaji, pemberian, dan
menjual barang, adalah boleh dan akadnya sah. Hanya saja, terjadi perubahan
hukum yang secara tidak langsung terhadap akad yang dibangun, baik sadar
ataupun tidak sadar. Secara ringkas, digambarkan sebagai berikut:
1. Bilamana seorang yang digaji, diberi, atau
penjual adalah mengetahui bahwasannya pihak pemberi, penggaji atau pembeli
mendapatkan hartanya dari cara haram, maka status gaji, pemberian dan harga
yang ditunaikan pada dasarnya bukan untuk wafa’i al-maqshud (menepati
maksud akad), melainkan berubah statusnya menjadi pemberian semua dari
penggaji, pemberi dan pembeli. Karena hak dasar penggaji dan pembeli belum
ditunaikan, maka jadilah ia akad utang-piutang. Itulah sebabnya ia wajib
meminta istibra’ (meminta kehalalan/kegratisan) dari penjual, orang yang
diberi dan orang yang digaji. Karena bila tanpa istibra’, maka ia kelak
akan mendapatkan tuntutan di akhirat sebagai orang yang berutang. Pemberian,
gaji dan harga yang diberikan, statusnya adalah halal bagi ketiga pihak yang
diberi, digaji atau pedagang.
2. Bilamana orang yang diberi, digaji dan
penjual mengetahui asal-usul harta orang yang memberi, menggaji dan membeli,
dan ia ridla dengan apa yang diberikan oleh penggaji, pemberi dan pembeli
tersebut, padahal nyata bahwa hal itu adalah haram, maka ketiga pihak yang
memberi, menggaji dan membeli tidak memiliki tanggungan utang. Penjual,
penerima pemberian, dan penggaji kelak akan mendapatkan tuntutan di akhirat
sebab disamakan kedudukannya dengan penadah. Uang yang diterima adalah haram
sehingga haram pula mendayagunakan harta itu.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar