Jumat, 30 Agustus 2019

Zuhairi: Fundamentalisme Israel


Fundamentalisme Israel
Oleh: Zuhairi Misrawi

Selama ini berlaku sebuah tesis bahwa Israel adalah satu-satunya negara di kawasan Timur-Tengah yang paling demokratis dan modern. Pasalnya, sejak berdiri pada 1948, Israel berhasil melaksanakan pemilu secara reguler dan pergantian kekuasaan berlangsung secara damai dan demokratis. Tidak seperti negara-negara tetangganya yang kerap berlumuran darah akibat kudeta dan konflik politik yang berkepanjangan, Israel mampu melangsungkan pemilu yang secara umum berlangsung damai.

Pemandangan tersebut seolah-olah menghilangkan aneka ragam kritik dan antitesis terhadap Israel. Benarkah Israel benar-benar sebagai negara demokratis, menjunjung kesetaraan, dan hak asasi manusia?

Jika melihat Israel dari kulit luarnya, kita akan mudah berpandangan bahwa Israel telah berhasil menggelar pemilu yang demokratis. Adu argumen dalam setiap pemilihan umum dan pemilihan umum yang berlangsung secara demokratis di Israel memang menarik untuk dicermati. Apa yang terjadi di Israel sulit rasanya ditemukan di negara-negara Timur-Tengah yang sebagian besar masih mempertahankan otoritarianisme.

Meskipun demikian, demokrasi Israel bukan tanpa cacat. Bahkan, cacatnya demokrasi Israel dapat menjadi perhatian kita semua, sehingga kita dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga. Betapa demokrasi secara prosedural saja tidak cukup sebagai prasyarat untuk membangun sebuah negara-bangsa yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan kedamaian.

Fareed Zakaria (2007) memberikan distingsi antara dua model demokrasi, yaitu demokrasi liberal dan demokrasi iliberal. Demokrasi liberal adalah demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai luhur dalam demokrasi, yaitu keadilan, kesetaraan, dan kedamaian. Sedangkan demokrasi iliberal adalah demokrasi tuna-nilai. Demokrasi yang hanya berhenti pada tataran prosedur dan secara terang-terangan memberangus nilai-nilai demokrasi.

Dilema Israel adalah dilema yang menyejarah, bahkan berakar kuat dalam ideologi zionisme. Mimpi Israel untuk mendirikan negara-agama, Negara Yahudi, menjadi batu sandungan yang serius dalam mengharmonikan antara demokrasi dan hak asasi manusia. Mimpi tersebut telah menyebabkan solusi politik yang kerap digunakan Israel cenderung identik dengan diskriminasi dan kekerasan.

Penindasan dan pendudukan yang dilakukan Israel, baik di Jalur Gaza maupun Tepi Barat pada hakikatnya berasal dari nalar Zionisme yang ingin membangun Negara Yahudi dan tidak mengakui adanya Negara Palestina. Bukan hanya itu, nalar tersebut juga menghalalkan pembunuh dan pembantaian. Maka jangan aneh, jika hampir hari kita melihat pembantaian yang dilakukan Israel terhadap Palestina.

Asal muasalnya adalah nalar fundamentalistik yang selalu dibangun oleh tokoh-tokoh agama Yahudi yang bersekongkol dengan para politisi. Setidaknya ada 3 kelompok fundamentalis Yahudi yang selama ini menguasai ruang publik dan ruang politik. Pertama, kaum militan Zionis. Kedua, kaum ultra ortodoks Ashkenazim (Yahudi yang berasal dari Eropa Barat), dan kaum ultra ortodoks Sephardim (Yahudi yang berasal dari Timur-Tengah) yang diwakili oleh Partai Shas.

Ketiga kelompok tersebut menghendaki lahirnya hukum-hukum Yahudi yang ketat dan meniscayakan pengamalan moralitas yang tertuang dalam teks-teks suci Yahudi, seperti Taurat dan Talmud. Mereka bersepakat untuk mendirikan Negara Yahudi, entah kapan.

Kini, mimpi tersebut berhasil diwujudkan oleh Netanyahu setelah amandemen konstitusi yang terakhir. Israel yang dulunya menganut secara negara modern yang menjunjung tinggi kesetaraan dan kebhinnekaan, lalu berubah menjadi Negara Agama. Di dalam konstitusi terbaru pasca-amandemen, Israel resmi mengubah konstitusinya menjadi "Negara Yahudi".

Maknanya, fundamentalisme Yahudi berhasil menjadi fundamentalisme Israel. Agama resmi masuk ke negara dalam wajahnya yang fundamentalistik. Kelompok minoritas yang selama ini mendapatkan kebebasan dan bangga menjadi bagian dari Israel harus menerima kenyataan sebagai warga kelas kedua.

Meskipun Israel selama ini relatif baik terhadap kelompok minoritas, tetapi tidak menutup kemungkinan akan menghidupkan kembali diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Yang paling menderita sebenarnya warga Arab Israel. Mereka mulai kehilangan harapan dan menyoal masa depan mereka di Israel.

Fundamentalisme Israel tidak hanya mengancam keragaman di dalam negeri mereka, tetapi juga dapat mengancam masa depan Palestina. Karena bagaimanapun Israel semakin kukuh untuk tidak mengakui Palestina. Di mata Israel yang saat ini dikuasai oleh kelompok sayap kanan, mimpi Palestina yang merdeka dan berdaulat sepertinya akan pudar ditelan badai fundamentalisme.

Hampir tidak mungkin Palestina mendapatkan haknya untuk merdeka jika Israel tidak mau mengakui kemerdekaan Palestina. Kaum fundamentalis Yahudi yang sekarang berkuasa di Israel merupakan batu sandungan yang sesungguhnya, karena mereka menganut nalar monolitik-monistik. Yang benar dan berkuasa hanya Yahudi, sedangkan kelompok yang lain tidak benar dan tidak boleh berkuasa.

Memang ada beberapa kelompok Yahudi Ortodoks yang mengkritik dan mengecam ideologi zionisme tersebut. Menurut mereka, Negara Yahudi bukanlah sebuah gagasan yang dapat dibenarkan karena realitas sosial-politik adalah beragam dan majemuk.

Namun suara-suara mereka mulai tidak terdengar, dan justru suara-suara kaum fundamentalis yang makin menguasai ruang publik. Bahkan, kelompok fundamentalisme Yahudi kian menekan Netanyahu, sehingga partainya gagal membangun koalisi pemerintahan yang menyebabkan Israel harus menggelar pemilu pada September yang akan datang.

Kita patut mengambil pelajaran berharga dari fundamentalisme Israel ini. Ketika fundamentalisme agama menjadi fundamentalisme negara, maka pada saat itu sebenarnya nilai-nilai luhur demokrasi dan hak asasi manusia sedang dipertaruhkan. Demokrasi sedang menuju kebangkrutan, yang pada akhirnya negara hanya menjadi alat bagi kaum fundamentalis.

Sebelum terlambat, mari terus kita gaungkan nilai-nilai substansial demokrasi yang akan memperkuat kebhinnekaan dan kesetaraan dalam bingkai kebangsaan dan kemanusiaan. Kita tidak ingin fundamentalisme agama menguasai ruang publik dan politik, sehingga menjelma sebagai fundamentalisme negara. []

DETIK, 29 Agustus 2019
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar