Kopi Tubruk di Tengah
Perjuangan Melawan Kolonialisme
Perjuangan tak kenal
lelah untuk mencapai kemerdekaan lahir dan batin terus ditempuh oleh para
aktivis, santri, dan ulama pesantren. Berbagai langkah telah dilakukan, baik
melalui diplomasi damai, perlawanan kultural hingga bentrokan fisik. Namun,
kondisi melelahkan tersebut tidak ingin terlalu dirasakan oleh para pejuang.
Mereka tetap sesekali melepas penat dan bersantai dengan menghirup kopi.
Hal itu seperti yang
dilakukan oleh KH Saifuddin Zuhri. Ia mengungkapkan bahwa antara 1940-1942
merupakan waktu di mana perjuangan mengalami pasang surut gejolaknya. Sebagai
salah satu pimpinan Gerakan Pemuda Ansor kala itu, Zuhri hendak sowan ke salah
seorang ulama di Purbalingga, Kiai Hisyam, pimpinan Pesantren Kalijaran,
Purbalingga.
Sebuah pesantren
dengan lebih kurang 700 orang santri yang datang dari berbagai pelosok Jawa
Tengah dan sebagian dari Jawa Timur. Pesantren ini terletak di derah
pegunungan, jauh dari kota. Tidak ada kendaraan yang dapat digunakan untuk
mencapai pesantren tersebut. Memakai sepeda pun amat susah karena harus
berkali-kali menyeberangi sungai yang deras airnya dan penuh dengan batu-batu
kali di tebing-tebingnya.
Setelah bersusah
payah menempuh perjalanan ke Pesantren Kalijaran, Zuhri tiba di waktu ashar dan
langsung diterima oleh Kiai Hisyam. Saat itu Kiai Hisyam juga sedang menerima
tamu yaitu Kiai Raden Iskandar dari Karangmoncol. Ketika sejumlah kiai yang
duduk bersama, tidak lain untuk membicarakan konsolidasi perjuangan melawan
kolonialisme. Kesadaran untuk mengusir penjajah sudah melekat pada diri kiai
karena saking dekatnya dengan masyarakat, kelompok yang kerap menjadi korban
kekejaman penjajah.
Baik Kiai Hisyam dan
Kiai Raden Iskandar menanyakan hal yang sama, Zuhri menempuh perjalanan dengan
mamakai apa dan dengan siapa? Pertanyaan ini muncul karena memang susahnya
akses untuk mencapai Pesantren Kalijaran. Letak pesantren seperti ini secara
otomatis sulit juga dijangkau oleh penjajah yang pergerakannya tidak luput
untuk menelusuri jejak tokoh-tokoh penting untuk diperangi.
Di tengah obrolan
mengenai pergerakan nasional, Kiai Hisyam memanggil santrinya untuk membuat
kopi untuk Saifuddin Zuhri. “Santri, bikinkan kopi tubruk yang kental, pakai
cangkir besar, cangkir tutup,” ucap Kiai Hisyam menyuruh khadamnya untuk
membuat kopi istimewa. (Guruku Orang-orang dari Pesantren, 2001)
Zuhri tahu betul
kebiasaan para kiai. Kopi tubruk yang kental dan manis dengan cangkir tutup
yang besar adalah suatu hidangan kehormatan dan hanya disuguhkan kepada orang
yang dipandang harus dihormati. Kalau seseorang itu disuguhi kopi, baik siang
atau malam, pertanda kehormatan besar. Apalagi jika dengan cangkir besar yang
bertutup. Ini suatu kehormatan istimewa. Minum teh, apalagi memakai gelas
dianggap bukan suguhan, Cuma sekadar pembasah tenggorokan.
Di tengah menyeruput
kopi, tiga tokoh pesantren tersebut membicarakan perihal Ratu Wilhelmina, Ratu
Belanda yang mengungsi ke London karena Hitler dengan pasukan Nazi-nya telah
menduduki Belanda. Tentu saja ‘hijrah’-nya Wilhelmina agar dapat meneruskan pemerintahan
terhadap negara-negara jajahannya, termasuk tetap memegang kendali penuh Hindia
Belanda di Indonesia. Informasi tersebut di antaranya didapat oleh Kiai Hisyam
dengan membaca koran.
Perbincangan ini
tentu saja terkait dengan strategi geopolitik internasional untuk kepentingan
diplomasi dan perjuangan rakyat Indonesia. Penguasan Nazi Jerman di Belanda
turut mempengaruhi eksistensi Hindia Belanda yang kemungkinan harus berhadapan
dengan Jepan (Nippon), sekutu Hitler. Langkah ini penting untuk menentukan
perjuangan selanjutnya. Dalam hal ini, kopi tubruk membuat obrolan menjadi
terang benderang di tengah lelahnya berjuang melawan kolonialisme. Selain
dilakukan dengan santai, obrolan kiai juga tidak pernah luput dari guyon
(humor).
Meskipun meminum kopi
dianggap oleh sebagian orang merupakan aktivitas yang menghabiskan banyak
waktu, tetapi tidak dengan para kiai yang tetap menyeduh kopi ketika
membicarakan hal-hal genting. Artinya, pembahasan genting harus dikemas dengan
suasana santai dengan menyeduh kopi.
Bahkan, pada sekitar
tahun 1650-an, Mark Pendergrast dalam bukunya Sejarah Kopi mengungukapkan,
kedai-kedai kopi di Eropa dipenuhi oleh banyak orang. Kedai kopi menjadi tempat
bukan hanya untuk menikmati secangkir kopi, tetapi juga sebagai ruang bertukar
gagasan. Revolusi Perancis dirancang di kedai-kedai kopi. Sementara itu, kopi
yang mereka sesap berasal dari perbudakan orang-orang Afrika di Koloni Perancis
di Karibia. Budak-budak yang menggarap perkebunan kopi ini nantinya melakukan
revolusi kulit hitam pertama yang sukses.
Itu pentingnya kopi
sebagai media melakukan revolusi. Dalam konteks perjuangan Indonesia, diplomasi
kopi memerankan hal penting, di mana semua pihak bisa duduk bersama menyesap
kopi dan menemukan jalan keluar bagi kemerdekaan Indonesia. Kopi merupakan satu
hal dari banyak hal yang dilakukan oleh para pejuang. Salah satunya para
pejuang kopi, yang kerap dan tetap menyediakan serta menyeduh kopi di tengah
pertempuran. Wallahu’alam. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar