Rabu, 28 Agustus 2019

NU dan Upaya Kesehatan Sejak 1934


NU dan Upaya Kesehatan Sejak 1934

Pada tahun 1947, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dipanggil Allah. Ia wafat setelah mendengar daerah Malang, yang merupakan markas Sabilillah direbut tentara Sekutu. Ia mengetahui hal itu setelah mendapat laporan salah seorang utusan Jenderal Sudirman yang diantar Kiai Ghufron. 

“Masyaallah, masyaallah,” seru Hadratussyekh ketika mendengar kabar yang diterimanya pada 7 Ramadhan tahun itu, sebagaiaman diceritakan oleh KH Saifuddin Zuhri pada dua buku populernya, Berangkat dari Pesantren dan Guruku Orang-orang dari Pesantren. 

Hadratussyekh kemudian pingsan. Oleh para muridnya, dengan segera, ia dilarikan ke dokter Angka. Siapa dokter itu? Dialah dokter dari Musytasfa (klinik) NU Jombang yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU pada tahun 1937. Peresmiannya dihadiri Hadratussyekh, KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri dan warga NU Jombang. 

Setelah dibuka, para tokoh NU menunjuk dr. Angka sebagai dokternya. Namun, hingga saat ini, belum ditemukan asal-usul lengkap dokter itu. 

Perhatian NU terhadap kesehatan

Pada Muktamar NU ke-33 di Jombang, para muktamirin mengamanatkan agar pengurus di berbagai tingkatan untuk berikhtiar dalam bidang hal penting, selain penguatan keagaaman Ahlusuunah wal Jamaah dan kebangsaan berdasarkan Pancasila. Tiga hal itu adalah, pendidikan, perekonomian, dan kesehatan. 

Pada Rapat Pleno PBNU 2018, akhir pekan lalu, Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini, dari amanat muktamar itu, yang paling kentara kemajuannya adalah bidang pendidikan. Sementara dua yang terakhir masih terus diupayakan dan dikembangkan. Meski demikian, bukan berarti tidak ada kemajuan sama sekali. Beberapa klinik dan rumah sakit NU telah mulai dibuka untuk melakukan pelayanan. 

Berkaca pada masa NU awal berdiri, di dalam statuten (AD/ART) NU pada tahun 1930 disebutkan, organisasi para ulama tersebut mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan perusahaan yang tiada dilarang oleh syara Islam. 

Di statuten pasal 3 huruf F itu memang tidak menyebutkan secara khusus terkait upaya kesehatan. Tapi nyatanya, 6 tahun kemudian, yaitu pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin pada 1936, telah ada upaya dari Cabang NU yang mendirikan klinik, yaitu Cabang NU Serang, Banten (waktu itu masuk ke dalam Jawa Barat). 

Pada Muktamar itu, Cabang NU Serang melaporkan bahwa kepengurusannya telah mengupayakan melayani kesehatan kepada publik. Mereka menyebutkan bahwa pendirian klinik itu sudah berjalan dua tahun, berarti didirikan sekitar 1934. Dengan demikian, empat tahun setelah NU diresmikan sebagai organisasi berbadan hukum menurut pemerintahan Hindia Belanda, sudah ada upaya melayani kesehatan. 

Itu data yang baru kita ketahui, bisa jadi, cabang NU di daerah juga melakukan hal yang sama, tapi belum ditemukan datanya. 

Menurut Cabang NU Serang pada laporannya, sangat disayangkan klinik harus berakhir karena NU tidak memupanya dokter sendiri. Selama ini, mereka hanya menyediakan fasilitas, sementara dokternya sendiri milik pemerintah. 

Karena dokter itu kemudian dipindahtugaskan oleh pemerintah ke daerah Kalimantan dua klinik itu berhenti. 

Pada tahun 1941, NU Kabupaten Bandung juga mengupayakan pelayanan kesehatan di daerah Ciparaya dengan nama Poliklinik NU Ciparay. Klinik itu diresmikan oleh salah saeorang Rais Syuriyah Hoopdbestuur Nahdlatoel Oelama (sekarang PBNU) asal Cirebon, yaitu Kiai Abbas Buntet. []

(Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar