Jual Beli yang Dilarang
Syariat (2): Sebab Kecurangan dan Dampak Kerugian
Syariat Islam mensyaratkan bahwa syarat sah
jual beli adalah bila barang yang dijual tidak mengandung unsur bahaya atau
dampak kerugian (dlarar). Tidak berhenti sampai di sini, syariat juga
mengatur bahwa cara melakukan jual beli harus bebas dari unsur kecurangan (ghabn).
Ada beberapa model jual beli yang dilarang
oleh syariat sebab adanya dampak kerugian dan unsur kecurangan ini.
Pertama, jual beli barang yang masih ditawar
oleh orang lain. Rasulullah ﷺ bersabda:
لابيع
بعضكم على بيع بعض
Artinya: “Tidak ada jual beli di atas jual
beli sebagian di atas sebagian dari kalian.” (Lihat: Ahmad Yusuf, Uqûdu
al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,
Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah, tt.: 53!). Hadits riwayat
Bukhari-Muslim dari jalur Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu.
Menurut Syekh Ahmad Yusuf, hadits ini berisi
larangan Rasulullah ﷺ atas jual belinya
seseorang terhadap barang yang masih ditawar oleh orang lain. Para fuqaha’
amshar sepakat menyatakan status kemakruhan hukum tawar-menawar model ini.
Namun menurut Ibnu Rusyd, statusnya masih khilaf. Ada kemungkinan model tawar
menawar ini diperbolehkan seperti dalam kasus pelelangan barang.
Kedua, jual beli dengan provokasi harga (bai’
najasy). Ibnu Rusyd mendefinisikan jual beli provokasi harga ini sebagai
berikut:
أن
النجش هو أن يزيد أحد في سلعة ، وليس في نفسه شراؤها، يريد بذلك أن ينفع البائع
ويضر المشتري
Artinya: “Jual beli najasy adalah
(jual beli) dengan jalan seseorang menawar lebih harga dasar barang, sementara
dirinya tidak bermaksud membelinya. Ia menghendaki cara ini untuk mendapatkan
upah dari pedagang dan memberi tekanan kepada pembeli.” (Abu Al Walîd Muhammad
bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthuby, Bidayatu al-Mujtahid
wa Nihayatu al-Muqtashid, Beirut : Darul Kutub Ilmiyyah, tt.: 1/531)
Misalnya, seorang pedagang memiliki empat
orang anak buah. Keempat anak buahnya diminta pura-pura menawar barang yang
juga hendak ditawar oleh calon pembeli yang mendatangi tempatnya berjualan.
Keberadaan empat anak buah yang pura-pura menawar ini masuk unsur kecurangan
karena bertujuan untuk memprovokasi harga agar pembeli mau membeli barang
dagangan lebih tinggi dari yang ditawar secara pura-pura oleh empat orang
tersebut. Menurut Imam Syafi’i, jual beli semacam ini hukumnya adalah sah,
namun pelakunya berdosa. Berdosanya pelaku disebabkan adanya unsur dlarar (kerugian)
dan sekaligus kecurangan terhadap calon pembeli. Penjelasan lebih lanjut
mengenai dialektika fiqih di dalamnya akan diuraikan dalam kesempatan tulisan
mendatang.
Ketiga, jual beli talaqqy rukban,
yaitu jual beli yang dilakukan dengan jalan menyongsong seorang pedagang yang
berasal dari desa di tengah jalan sebelum sampainya ia ke pasar (kota).
Model jual beli seperti ini dilarang
disebabkan unsur ketidaktahuan pedagang terhadap harga barang yang sebenarnya
di pasaran. Tujuan dari pelarangan ini adalah menjaga hak pedagang untuk
mendapatkan harga pasar yang sebenarnya sehingga ia tidak merugi. Dengan
demikian, maka unsur dlarar yang dijaga adalah haknya pedagang
desa.
Catatan yang perlu diperhatikan adalah bahwa
bentuk pelarangan sistem jual beli ini adalah tidak bersifat mutlak. Ada sisi
yang menyebabkan kebolehannya, yaitu:
1. Apabila pedagang dari desa mengetahui
informasi dan seluk beluk harga barang di pasar.
2. Ada masa khiyar (menentukan pilihan) bagi
pedagang, bahwa apabila ia telah sampai pasar dan mengetahui harga sebenarnya
terhadap barang yang dijual, maka ia boleh membatalkan transaksi yang telah
dilakukan atau sebaliknya melanjutkan akad transaksi yang telah terjadi.
Alasan dasar pelarangan dan sekaligus alasan
kebolehan jual beli talaqqy rukban adalah sebagaimana disampaikan dalam
hadits riwayat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
لاتلقوا
الجلب فمن تلقى منه شيئا فاشتراه فصاحبه بالخيار إذا أتى السوق, أخرجه مسلم وغيره
Artinya: “Jangan menyongsong pedagang luar
(di tengah jalan). Barangsiapa menyongsongnya, kemudian membeli barang darinya,
maka berikanlah ia masa khiyar ketika ia telah sampai pasar.” Hadits riwayat
Muslim dan lainnya.” Artinya: “Tidak ada jual beli di atas jual beli sebagian
di atas sebagian dari kalian” (Lihat: Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’awadlat
al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru
al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah, tt.: 55!).
Keempat, jual beli lewat makelar, yaitu
seorang yang menjadi perantara jual beli yang dilakukan oleh penduduk setempat
terhadap barang orang yang baru datang dari luar daerah (بيع الحاضر للبادي).
Dasar utama pelarangan jual beli ini adalah hadits Rasulullah ﷺ:
حديث
ابن عباس، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تلقوا الركبان ولا يبيع حاضر
لباد (قال الراوي) فقلت لابن عباس: ما قوله لا يبيع حاضر لباد قال: لا يكون له
سمسارا
Artinya: “Ibnu Abbas r.a. berkata: Rasulullah
ﷺ bersabda: Kalian
tidak boleh menyongsong pedagang yang baru datang, dan juga seorang penduduk
jangan menjualkan barangnya orang yang baru datang dari luar daerah. Perawi
bertanya kepada Ibnu Abbas: Apa maksud dari “seorang penduduk jangan menjualkan
barang orang yang baru datang dari luar daerah”? Jawabnya: Jangan menjadi
makelar!” (Ismail Al-Bukhary, Shahih al-Bukhary: Kitabu al-Buyu’,
Beirut: Daru al-Kutub Ilmiyyah, 1997)
Dalam hadits ini dimuat larangan menjadi
makelar (samsarah). Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad Ibni Hanbal
menyatakan larangan menjadi makelar. Namun Imam Abu Hanifah dan para ashab Abu
Hanifah menyatakan kebolehannya, dengan catatan:
لابأس
أن يبيع الحاضر للبادي ويخبره بالسعر
Artinya: “Tidak apa-apa penduduk setempat
menjualkan dagangannya penduduk yang baru datang asal memberitahukan harganya.”
(Lihat: Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi
al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah,
tt.: 55!).
Keberadaan larangan menjadi makelar jual beli
ini, menurut pendapat kalangan Syafi’iyah adalah karena adanya alasan, yaitu:
أن
الهدف من منعه الرفق بأهل الحضر لأن الأشياء عند أهل البادية رخيصة
Artinya: “Tujuan dari pelarangan profesi
makelar ini adalah sayang dengan penduduk setempat, karena semua barang dari
penduduk luar daerah umumnya adalah murah.” (Lihat: Ahmad Yusuf, Uqûdu
al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,
Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah, tt.: 55!)
Maksud dari pernyataan Syekh Ahmad Yusuf
terhadap pendapat kalangan Syafiiyah ini adalah dengan adanya makelar (calo)
jual beli, umumnya barang menjadi gampang naik, sehingga justru menambahkan
kebutuhan masyarakat setempat yang seharusnya mendapatkan hak membeli barang
yang murah. Menurut madzhab Imam Syafi’i, hukum akad jual beli lewat jasa
makelar ini adalah sah, namun si makelar berdosa. Wallahul muwaffiq ila
aqwath tharîq. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian
Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar